The Palm Scribe

Walhi Menolak Dua RUU Omnibus Law, Minta Pemerintah Menaati TAP MPR IX/2001

Artikel ini pertama kali terbit di The Forest Scribe, yang juga termasuk kelompok laman the Scribe.
Keberlanjutan lingkungan hidup dan RUU Omnibus Law
Ilustrasi: Bela Geletneky, Pixabay

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada hari Rabu (29/1) mengatakan pemerintah tidak perlu meneruskan rencananya menerbitkan dua omnibus law yang hanya akan menguntungkan korporasi dan sebaiknya menaati perintah TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang sampai sekarang belum diwujudkan.

“Presiden dan DPR agar melaksanakan perintah TAP MPR IX/2001, menghentikan penerbitan omnibus law pro-investasi dan produk hukum pro-investasi lainnya, termasuk penerbitan izin industri ekstraktif,” demikan Khalisah Khalid dari Desk Politik WALHI

Khalisah Khalid dari desk politik Wali berbicara pada peluncuran laporan :”Tinjauan Lingkungan Hidup 2020: Menebar Investasi, Menuai Krisis multidimensional’ di Jakarta Rabu (29/1)

Berbicara pada peluncuran laporan WALHI berjudul “Tinjauan Lingkungan Hidup 2020: Menebar investasi, menuai krisis multidimensi,” di Jakarta hari Rabu, Khalisah mengatakan bahwa TAP MPR merupakan dasar hukum yang jelas tetapi sampai sekarang tidak diindahkan pemerintah.

“Pelaksanaan TAP MPR ini menjadi titik kunci untuk melepaskan rakyat dari kondisi krisis agraria dan kerusakan lingkungan hidup,” demikian laporan tersebut mengatakan dalam merekomendasikan penaatan produk hukum Majelis Permusyawaratan Rakyat itu.

TAP MPR tersebut pada dasarnya mencakup peninjauan ulang perizinan, peraturan dan penghentian praktik pembangunan yang bertentangan dengan semangat pembaruan agraria.

Pemerintah merencanakan dua Omnibus Law, undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang, dan keduanya kini termasuk di dalam Prolegnas Super Prioritas tahun 2020, yaitu RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan.

Pemerintah berargumentasi bahwa omnibus law akan dapat mengurangi bahkan menghilangkan tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan yang ada, membuat proses perubahan dan atau pencabutan perundang-undangan lebih efisien.

Namun Wahyu Pradana, Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial WALHI mengatakan bahwa UU nomor 12/2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak mengenal adanya Omnibus Law.

Wahyu yang berbicara pada kesempatan yang sama juga mengatakan bahwa kedua omnibus law sangat “pro-investasi dan menguntungkan korporasi” dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.

Baca lebih banyak tulisan oleh Bhimanto Suwastoyo.
Industri Perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This