Mungkin anda tidak melihat ada hubungan antara keduanya, tetapi sebenarnya, kedua hal ini jauh lebih memiliki hubungan dari apa yang ada duga. Dan mungkin akan mengejutkan ketika anda menyadari yang mana sebenarnya dari keduanya yang jauh lebih berbahaya.
Marilah kita membicarakan hubungan yang ada diantara keduanya, dan baru nanti kita akan lihat kejutannya.
Mungkin tidak terlalu salah bila saya mengatakan bahwa virus Corona, atau yang lebih dikenal dengan nama Covid-19, kini merupakan hal yang paling menakutkan di benak semua orang. Sudah lebih dari 120.000 kasus penularan yang sudah terkonfirmasi sementara 3.500 jiwa sudah melayang. Virus ini kini sudah menyebar luas melewati batas batas negara dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah menyatakan penyebaran virus ini sudah mencapai tahap pandemi. Virus ini juga telah memaksa sejumlah negara untuk mengumumkan status darurat dan menutup kota, daerah maupun negerinya sama sekali. Pelancong atau pengunjung juga sudah dilarang mengunjungi sejumlah negara dengan tingkat penularan yang tinggi dan beberapa negara lainnya juga menutup pintu mereka dari pendatang dari negara-negara dengan penyebaran virus ini yang luas.
Menyebarnya virus ini yang berlangsung sangat cepat juga telah menimbulkan kelakuan kelakuan yang berlebihan di beberapa kalangan. Maksud saya, kapankah terakhir kalinya anda mati-matian memperebutkan kertas toilet? Sampai sekarang saya masih belum dapat memahami bagaimana ini bisa terjadi. Berpelukan atau berjabat tangan juga sudah semacam diharamkan sekarang ini sementara tangan saya sudah mulai menderita dari seringnya saya harus mencuci tangan atau membasuhnya dengan alcohol. Sementara itu, walaupun peringatan datang bertubi-tubi dari setiap penjuru, tetap saja saya sulit mencegah menyentuh muka saya sendiri.
Virus ini juga telah menyebabkan hancurnya beberapa permintaan pasar. Kecuali tentu saja, permintaan untuk masker, hand sanitizer, kertas toilet dan emas…..
Kini, nampaknya barang-barang mewah, pariwisata, iPhone, perjalanan, penerbangan, pesta maupun pengumpulan masa, sudah menjadi tidak penting lagi bagi kebanyakan orang, Perdagangan juga sudah terjerembab dan disinilah sebenarnya hubungan antara virus dan BBM murah ini terletak.
Dengan enggannya orang bergerak keluar rumah, dan dengan melambatnya bisnis, permintaan akan transportasi melemah dan karenanya juga, permintaan akan BBM turut pula melemah. Bukankah tidak perlu banyak BBM bila pesawat terbang, kapal, truk dan mobil banyak tidak digunakan. Dan bila permintaan melemah, maka harga pun biasanya akan ikut melemah. Apalagi mengingat kedua produsen bensin terbesar di dunia kini sedang sibuk cakar-cakaran.
Jadi, pandemi ini sebenarnya telah berakibat kepada harga BBM yang murah. Dan disinilah hal yang mengejutkan itu dimulai,
Saya sangat ketakutan menghadapi prospek bahwa BBM murah menjadi sesuatu yang normal untuk rentang masa yang panjang. Dampaknya kepada planet ini akan jauh lebih dahsyat daripada dampak pandemi virus Covid-19. BBM yang murah itu membuat tingkat ketergantungan orang kepadanya menjadi tinggi dan sekaligus mematikan. BBM murah tidak mendorong inovasi maupun peningkatan produktivitas. Buat apa susah-susah menggunakan energy hijau terbarukan atau biofuel berkadar sulfur rendah, kalau orang dapat menggunakan bahan bakar hidrokarbon yang murah?
Dan sekarang bagian yang mengerikan. Polusi udara dari emisi bahan bakar fosil membunuh sekitar 10.000 orang dalam sehari. Ya, benar, anda tidak salah membaca. Sepuluh ribu orang meninggal dalam sehari karena polusi dari bahan bakar fosil. Laju kematian yang jauh lebih tinggi daripada laju kematian yang diakibatkan gabungan dari Covid-19, SARS, Aids, dan Flu Babi. Sebuah penelitian yang diterbitkan minggu yang lalu dalam Jurnal Cardiovascular Research memperkirakan bahwa di tahun 2015, kematian lebih dari 3,6 juta orang di seantero dunia sebenarnya dapat dicegah bila saja polusi dari bahan bakar fosil bisa ditekan menjadi nol.
Penelitian itu juga memperlihatkan bahwa orang orang di Asia Timur jauh lebih rentan terhadap polusi udara, dengan tingkat kematian mencapai 35 persen. Angkanya untuk Eropa, misalnya, hanya sembilan persen saja.
Beberapa kalangan mengatakan bahwa massa bahan bakar murah ini hanya akan berlangsung sementara waktu saja dan harga bahan bakar ini akan segera naik kembali. Saya tidak yakin ini akan terjadi. Pemerintahan, atau juga politisi dalam negara-negara demokratis, sangat senang menyenangkan pemilihnya. Dan salah satu jalan yang dapat memastikan kepopuleran yang tinggi dan pemilihan kembali yang cepat, adalah dengan menjamin harga bahan bakar tetap murah bagi konstituen mereka. Semua orang menyukai bahan bakar yang murah, bukankah begitu? Harga bahan bakar yang rendah dengan sendirinya juga mengakibatkan harga barang dan jasa yang lebih murah dan ini kemudian lebih lanjut akan mendorong naik permintaan.
Apakah yang akan terjadi bila harga BBM fosil naik kembali. Dan mereka pasti naik kembali karena ketersediaannya yang terbatas dan tidak semua negara diberkati dengan cadangan minyak mentah yang besar.
Masyarakat akan mulai mengeluh lagi, para pemilik suara juga tidak lagi akan merasa senang. Jadi, apakah yang akan terjadi? Bukankah memberikan subsidi untuk menjaga agar harga bahan bakar fosil tetap rendah merupakan jalan termudah? Nah, disinilah letak ketergantungan tinggi pada BBM tersebut.
Tetapi, saya tetap saja seorang yang optimis. Saya percaya bahwa kita semua, dalam diri kita masing masing, memiliki intelek dan kecerdasan untuk dapat mengetahui apa yang tidak baik bagi kita dalam jangka panjangnya. Kita semua kan sangat memikirkan nasib anak-cucu kita. Kita menginginkan agar mereka dapat hidup lebih lama dan juga agar kita dapat menghindari mereka dari kematian dini yang menyakitkan yang diakibatkan oleh polusi udara.
Para pemerintah juga memiliki alat yang diperlukan, dalam undang undang yang berasal dari konstitusi mereka, untuk menerapkan kebijakan yang tepat mengenai penggunaan bahan bakar fosil. Banyak negara juga memiliki mekanisme penetapan harga bagi komoditas penting, bagi bahan pokok seperti beras, gula, dan biji-bijian. Dan mekanisme itu sebaiknya juga ada untuk bahan bakar. Pemerintah harus dapat bertanggung jawab untuk menetapkan harga bahan bakar fosil pada tingkat yang masih memberikan insentif bagi industri untuk berinovasi dan meningkatkan produktivitas disaat harga minyak dunia melemah. Pemerintah harus dapat mencari jalan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mendorong atau memberikan subsidinya kepada energi hijau seperti dari angin, matahari dan air, atau biofuel seperti yang dihasilkan dari tanaman, sampah dan sebagainya, sehingga emisi gas rumah kaca akan dapat dikurangi.
Bahkan bukanlah merupakan sesuatu yang luar biasa bila pemerintah memajaki penggunaan bahan bakar fosil untuk dapat memberikan pemasukan yang tinggi bagi negara. Pemasukan yang akan dapat mendanai pendidikan, pelayanan kesehatan, infrastruktur, listrik pedesaan dan bahkan mungkin juga untuk mensubsidi sumber-sumber energi alternatif, biodiesel dan sebagainya. Beberapa kalangan bahkan mengatakan bahwa dengan giatnya industri bensin dalam bekerja, pajak atas bahan bakar fosil merupakan salah satu bentuk pengumpulan pajak yang paling efisien bagi pemerintah.
Jadi, jangan sampai kita terjebak kembali oleh kebiasaan memberikan subsidi kepada bahan bakar fosil. Saya benar benar berharap bahwa pemerintah sekarang ini akan dapat menemukan keberanian untuk berbuat yang terbaik dan bukan yang termudah. Ada yang mengatakan bahwa keberanian itu bukan berarti hidup dengan tidak takut kepada apapun, tetapi sebenarnya lebih berarti hidup dengan ketakutan besar tetapi tetap mampu berbuat yang terbaik.