Direktif Energi Terbarukan dari Uni Eropa, yang banyak dikritik sebagai pelaku pelanggaran norma perdagangan internasional, menyatakan terbuka dan transparan dalam persiapannya dan juga mengikutsertakan konsultasi dengan pemangku kepentingan lainnya dari luar Uni Eropa, termasuk dari negara produsen minyak nabati seperti Indonesia, seorang pejabat perwakilan Uni Eropa mengatakan pada hari Kamis (01/11)

Direktif yang lebih dikenal sebagai RED dan kini sedang dimodifikasi menjadi RED 2, banyak dikritik terutama oleh negara produsen minyak nabati yang mengatakan ia bersifat deskriminatif terhadap minyak sawit dan didasarkan atas dalil ilmiah yang belum sepenuhnya diterima oleh dunia internasional.
“Proses pengambilan keputusannya terbuka dan transparan. Komisi (Eropa) telah berkonsultasi dan akan terus berkonsultasi dengan pakar Indonesia dan pemangku kepentingan lainnya dan kami menyambut baik dan akan mempertimbangkan informasi kuantitatif apa pun yang ingin dikemukakan Indonesia,” Vincent Guerend Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Bangladesh mengatakan ketika berbicara di depan Konferensi Kelapa Sawit Indonesian (IPOC) yang ke-14. Ia juga menambahkan bawa kontribusi warganegara maupun pemangku kepentingan lainnya dapat dilakukan melalui kontribusi dalam proses pembuatan kebijakan dan peraturan.
“Tujuannya di sini adalah bekerja sama menuju keberlanjutan dan Uni Eropa ingin bekerja bersama Indonesia dalam usaha ini,” imbuhnya.
Namun Guerend juga mengatakan bahwa pada akhirnya, keputusan final terkait RED 2 ini berada di tangan Uni Eropa.
“Tujuan akhir dari Uni Eropa adalah untuk mencapai ekonomi yang bebas karbon pada tahun 2050,” ujarnya dengan menambahkan bahwa secara lebih spesifik Uni Eropa ingin bahwa sektor transportasinya berusaha lebih keras untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya.
Guerend mengatakan bahwa kegiatan Uni Eropa yang terkait RED didasarkan atas “bukti ilmiah dan pemahaman atas dampaknya”. Dalam RED 2 ini, minyak nabati akan digolongkan menjadi dua, minyak nabati yang berpotensi tinggi yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (ILUC) dan yang potensinya rendah. MInyak dari bahan yang juga merupakan bahan makanan, seperti minyak sawit, dikategorikan sebagai minyak dengan potensi tinggi dan karenanya akan menghadapi pembatasan-pembatasan dalam memasuki pasar Uni Eropa.
Mahendra Siregar, Direktur Eksekutif Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) menantang sisi “ilmiah” yang diklaim digunakan Uni Eropa dalam memformulasikan RED 2.
“Direktif ini, kebijakan ini, didasarkan atas modul yang kontroversial, ILUC. Pertama, ia tidak diterima secara internasional dan hanya digunakan di Amerika Serikat dan Eropa dan dua, ia memiliki paling tidak tujuh hasil metodologis yang menghasilkan tujuh hasil. Ini berarti secara ilmiah, secara metodologi, ia meragukan,” ujarnya.
Mahendra juga menunjukkan bahwa prioritas Uni Eropa tentu berbeda dengan prioritas negara negara penghasil minyak nabati yang umumnya negara berkembang. Perbedaaan latar belakang antara Uni Eropa dan negara berkembang akan berakibat adanya kesimpulan yang berbeda diantara mereka, katanya.
“Adalah penting untuk menggarisbawahi bahwa negara-negara berkembang memiliki prioritas, trayek yang berbeda dari apa yang dikatakan Duta Besar,” Mahendra berkata.
Menanggapi ini, Guerend menekankan bahwa Uni Eropa tidak anti sawit. Ia juga menekankan bahwa Uni Eropa kini adalah pasar ekspor kedua terbesar bagi minyak sawit Indonesia dan produk turunannya dan perdagangan ini terus menanjak.
“Pasar Uni Eropa luas dan sangat terbuka dan kami bermaksud akan tetap demikian,”ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa 22 persen dari minyak sawit Indonesia yang masuk Uni Eropa dikenakan tarif masuk nol, sementara 64 persen masuk dengan tarif dibawah lima persen. Sisanya dikenai tarif antara lima dan sepuluh persen.
Guerend juga mengatakan bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) telah diadopsi tidak saja oleh negara berkembang tetapi oleh seluruh komunitas global.
“Ada perbedaan prioritas, tetapi nilai-nilai yang melandasinya seharusnya tidak berbeda dan saya sangat percaya bahwa kita semua dapat bekerja sama,” ujarnya.