Walaupun berusahan keras ingin menekan laju deforestasi dan dampak negatif lain dari penanaman kelapa sawit, Uni Eropa juga menyadari bahwa tanaman ini memainkan peran penting dalam ekonomi negara produsen dan usaha mereka memerangi kemiskinan. Oleh karenanya, organisasi regional ini terbuka untuk berdialog dengan negara produsen demi memastikan keberlanjutan produksi komoditas ini.
“Uni Eropa menekankan pentingnya dialog dan kerja sama internasional dengan negara konsumen maupun produsen, serta kebutuhan untuk menjajaki solusi bersama atas masalah deforestasi dan degradasi hutan tropis, dengan melihat berbagai unsur pendorongnya, termasuk perluasan agrikultur terkait dengan beragam komoditas,” Delegasi Uni Eropa di Indonesia, mengatakan dalam jawaban tertulisnya atas pertanyaan the Palm Scribe.
Dalam jawabannya, delegasi mengatakan bahwa Komisi Eropa, yang merupakan badan pelaksana dalam Uni Eropa, menganggap bahwa masalah produksi kelapa sawit ini harus dilihat secara imbang, karena ia tidak saja menghadirkan tantangan, namun juga kesempatan.
Pada tingkat produksi sekarang ini, industri kelapa sawit Indonesia menghasilkan sekitar $20 miliar setahun dari ekspor, demikian menurut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Dengan luas perkebunan hampir 12 juta hektare, industri ini tidak hanya memperkerjakan secara langsung sekitar empat juta orang, tetapi juga menyediakan sekitar 12 juta pekerjaan di sektor hilir dan industri sampingnya.
Delegasi mengatakan, Komisi Eropa percaya bahwa untuk bekerja sama serta mendukung usaha-usaha negara produsen dalam menekan deforestasi dan dampak negatif lain akibat penanaman kelapa sawit merupakan hal mendasar, sehingga produksi dan konsumsi komoditas yang berkelanjutan ini dapat tercapai.
“Dalam konteks ini, Uni Eropa tertarik pada usaha-usaha yang dilakukan negara-negara, seperti Indonesia misalnya, untuk menguatkan keberlanjutan produksi kelapa sawitnya, dan berharap untuk dapat terus bertukar pikiran dan bekerja bersama dalam permasalahan ini,” imbuhnya.
Delegasi mengakui bahwa sumber-sumber minyak nabati lainnya memiliki tingkat produktivitas yang lebih rendah dari kelapa sawit dan karenanya akan membutuhkan lebih banyak lahan tanam serta masukan lainnya.
Delegasi menyebutkan bahwa kebijakan maupun ketentuan Uni Eropa mengenai pembangunan berkelanjutan tidak spesifik terfokus bagi produk tertentu, tetapi mungkin relevan bagi kelapa sawit.
“Kebijakan dan ketentuan yang ada ini tidak bersifat diskriminatif: mereka berlaku bagi minyak nabati yang ditanam di Eropa maupun yang diimpor,” ujarnya, dengan menekankan bahwa Uni Eropa tidak memiliki kriteria keberlanjutan yang spesifik bagi kelapa sawit.
Sebuah laporan dari Oil World tahun 2013 memperlihatkan bahwa dalam hal produktivitas per hektare per tahunnya, kelapa sawit jauh berada di atas tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Kelapa sawit dapat menghasilkan sekitar empat ton minyak dari tiap ha dalam satu tahun. Sementara tanaman lainnya, seperti rapeseed, bunga matahari, dan kedelai, masing-masing hanya dapat menghasilkan kurang dari satu ton per ha/tahun.
Laporan ini juga mengatakan bahwa walaupun luas lahan yang ditanami oleh kelapa sawit hanya merupakan 5,5 persen dari total luas lahan tanaman di dunia, ia mampu menghasilkan 32 persen dari produksi minyak dan lemak dunia di tahun 2012.
Pada April tahun ini, Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi mengenai kelapa sawit dan deforestasi yang mengusulkan beberapa call to action, atau ajakan untuk melakukan sesuatu tindakan, kepada Komisi Eropa dan negara anggota, termasuk usulan komitmen untuk “pengadaan kelapa sawit yang 100 persen tersertifikasi berkelanjutan pada tahun 2020.”
Namun, delegasi menekankan bahwa resolusi ini tidak mengikat dan tidak merupakan bagian dari proses legislasi.
“Komisi menganggap resolusi ini sebagai suatu kontribusi yang berguna bagi perdebatan yang lebih luas mengenai permasalahan ini, yang dipercaya Komisi seharusnya juga mengikutsertakan secara penuh, negara-negara produsen,” demikian kata delegasi.
Dalam jawabannya terhadap resolusi Parlemen Eropa ini, Komisi juga mencatat adanya berbagai skema sertifikasi yang berbeda dan mereka ini mungkin lebih baik dalam menangani kekhasan nasional yang ada maupun preferensi konsumennya.
Karenanya, Komisi menganggap bahwa dalam mempersiapkan sertifikasi, mereka harus dibangun diatas dasar inisiatif yang sudah ada, dan Komisi juga tertarik untuk meneruskan kerja sama dengan negara produsen sawit dalam melihat bagaimana skema-skema sertifikasi yang ada, seperti Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Indonesia Sustainable Palm Oil yang kini diwajibkan di Indonesia, dapat diperkuat.
“Institusi-institusi dan para pemangku kepentingan Uni Eropa menyambut baik dialog yang terbuka dan transparan dengan negara-negara produsen serta inisiatif sektor swasta, juga dengan tujuan berbagi komitmen seperti dalam Persetujuan Paris maupun Tujuan Keberlanjutan Pembangunan 2030,” kata delegasi.
Delegasi menambahkan bahwa Uni Eropa juga terbuka untuk mempertimbangkan kerangka kerja yang baik untuk menghadapi penyebab mendasar di balik kekhawatiran akan dampak keberlanjutan dari produksi sawit, dalam perundingan yang sedang berjalan mengenai Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Uni Eropa dan Indonesia.
“Uni Eropa tetap tertarik untuk bertukar pikiran dengan Indonesia mengenai bagaimana sebaiknya menangangi isu ini di dalam perundingan FTA/CEPA, dan juga mengenai langkah Indonesia selanjutnya dalam mencapai tujuan 100 persen keberlanjuan dalam mata rantai nilai kelapa sawit pada tahun 2020,” ujarnya.
Ia menyebutkan bahwa pengalaman dengan persetujuan kemitraan sukarela di bawah inisiatif Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) dan Ketentuan Kayu Uni Eropa akan dapat memberikan pelajaran yang berguna bagi negara produsen maupun Uni Eropa. Namun, delegasi juga menambahkan bahwa kemungkinan digunakannya pendekatan yang serupa untuk kelapa sawit dan komoditas lainnya harus dipertimbangkan dan dipelajari dengan hati-hati.
Komisi Eropa juga menunjukkan bahwa di bawah skema dan sistem yang ada, seperti RSPO dan ISPO, keikutsertaan petani kecil swadaya dalam perkelapasawitan masih sangat kecil. Hal ini berarti bahwa bagi petani kecil –yang menurut data resmi memiliki atau mengelola 40 persen dari luas tanam kelapa sawit di Indonesia–tidak memiliki akses sama sekali atau sangat terbatas kepada pasaran internasional produk tersertifikasi.
“Uni Eropa terbuka untuk komunikasi mengenai cara-cara yang paling efektif dan efisien untuk memperlihatkan dan menghargai keberlanjutan, dan mengenai bagaimana pemerintah, pembeli, pedagang dan berbagai jenis produsen harus memikul biaya (keuangan maupun liabilitas), namun isu-isu ini sebenarnya merupakan isu pasar dan tata kelola pemerintahan,” kata delegasi.
Delegasi kembali menunjuk kepada pengalaman dengan proses FLEDGT bagi kayu, yang didasarkan kepada kebutuhan untuk konsultasi yang interaktif dan transparan antara keragaman kelompok minat yang luas di sepanjang mata rantai pengadaan. Konsultasi demikian membicarakan hal dari solusi-solusi yang pragmatis dan murah pada tingkat kebun, sampai kepada cara pembuktian untuk mendapatkan penerimaan pasar di sisi permintaannya.
Pemerintah Indonesia menyadari meningkatnya peran dan pentingnya petani kecil dalam pengadaan kelapa sawit nasional dan karenanya dengan kemampuan keuangannya yang terbatas berusaha meningkatkan produktivitas mereka dengan cara penanaman kembali kebun mereka dengan bibit unggul. Pemerintah selebihnya menggantungkan usaha untuk meningkatkan produktivitas petani kecil ini melalui kemitraan dengan perusahaan perkebunan besar.
Di lain pihak, RSPO dan ISPO juga mencari cara-cara agar para petani kecil ini juga dapat memperoleh akses kepada sertifikasi keberlanjutan.