The Palm Scribe

UE Berusaha Ingkari Komitmennya dalam Kemitraan Strategisnya dengan ASEAN: Diplomat Indonesia

kelapa sawit

Seorang diplomat senior Indonesia memperingatkan bahwa walaupun Uni Eropa dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara  (ASEAN) telah bersepakat untuk membentuk kemitraan strategis, para pejabat Eropa nampaknya masih berusaha untuk mengingkari komitmen yang telah mereka berikan untuk memenuhi prasyarat yang diajukan ASEAN bagi terwujudnya kemitraan tersebut.

Para menteri kedua organisasi kawasan tersebut pada bulan Desember lalu sepakat membentuk kemitraan strategis antara organisasi mereka. Kesepakatan yang sempat terhambat lama karena isu minyak sawit yang mempertentangkan Uni Eropa dan kedua negara ASEAN yang juga kedua produsen terbesar minyak sawit dunia, yaitu Indonesia dan Malaysia.  

Kedua pihak akhirnya dapat mencapai kesepakatan untuk menerapkan kriteria keberlanjutan bagi semua minyak nabati dan tidak hanya pada minyak sawit saja, dan mendasarkan kriteria tersebut pada kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa.

Namun, Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Mahendra Siregar memperingatkan bahwa permasalahan mungkin akan timbul kembali dengan mengatakan “”pada saat dari negara-negara ASEAN ingin betul-betul konsisten dengan prinsip, format dan kesepakatan yang sudah dicapai di tingkat menteri, yaitu mendorong sustainable vegetable oils berdasarkan SDGs. Delegasi EU justru kembali lagi mendorong dan memojokkan dan mengarahkan bahwa itu bukan bicara tentang sustainable vegetable oils tetapi hanya palm oil .”

“Dan ujung-ujungnya bukan bicara mengenai SDGs tapi bagaimana palm oil bisa masuk dalam kaitan Renewable Energy Directive, dalam kaitan dengan ILUC yang seperti saya sampaikan tadi, diluar EU tidak ada yang mengakui,” imbuhnya dalam pidato kuncinya pada sebuah talk show daring mengenai implikasi kemitraan strategis UE-ASEAN itu.

Mahendra mengatakan bahwa ke sepuluh negara anggota ASEAN bersatu dan “solid” dalam mengambil posisi bahwa pembicaraan mengenai  kemitraan strategis dengan UE tidak akan dapat berlangsung sebelum langkah dan kemauan baik dari UE untuk menyelesaikan masalah sawit itu dilaksanakan.

Vincent Piket, Ketua Delegasi UE untuk Indonesia dan Brunei, yang juga berbicara pada kesempatan yang sama, tidak langsung mengomentari pernyataan Mahendra, namun mengatakan bahwa UE dan ASEAN telah mengambil langkah maju yang sangat penting dengan kesepakatan mereka untuk membentuk kelompok kerja untuk membicarakan minyak sawit dan minyak nabati lainnya.

“Kami memandang ini sebagai gerak maju yang penting sekali dan kami bertekad untuk meneruskan hal ini,” ujarnya.

Mahendra juga merangkum pendirian ASEAN terkait dengan kemitraan strategis ini. Poin pertama adalah bahwa ASEAN tidak akan menerima bila minyak sawit, atau minyak kelapa, dibedakan tetapi keduanya harus diperlakukan seperti halnya minyak nabati lainnya.

Poin kedua adalah bahwa ASEAN menginginkan pendekatan berimbang antara pembangunan ekonomi, kemajuan sosial dan lingkungan, serta bahwa semuanya harus didasarkan pada kerangka yang telah disetujui semua negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa , yaitu SDG.

Poin ketiga adalah bahwa pendekatan lingkungan seharusnya tidak hanya terkait dengan deforestasi saja tetapi seharusnya dilihat secara holistik dan menyeluruh. Ia mengutip hasil sebuah studi yang dilakukan dua lembaga perguruan tinggi Indonesia dan satu dari Jerman yang telah memperlihatkan bahwa dampak dari minyak nabati lainnya pada lingkungan jauh lebih buruk dari yang disebabkan oleh sawit.

“Mari kita dorong momentum ini, supaya cepat bergerak,” ujarnya.

Baca lebih banyak tulisan oleh Bhimanto Suwastoyo.
Industri perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This