The Palm Scribe

The Final Countdown: Apakah ini Bagi yang Anti-Sawit?

Greenpeace baru saja meluncurkan laporan terakhirnya mengenai kelapa sawit, yang diberi judul “The Final Countdown” Seperti yang sudah diduga, laporan tersebut sarat berisi berbagai kejahatan industri sawit, bagaimana ia berpengaruh negatif terhadap planet ini dan bagaimana waktu semakin sedikit menuju tengat no-deforestation yang jatuh pada tahun 2020.  Namun, bila kita menelitinya lebih lanjut, akan terlihat bahwa hitungan mundur final ini sebenarnya lebih mengena kepada kalangan yang anti-sawit itu sendiri.

Laporan setebal 194 halaman yang diterbitkan pada hari Rabu, 19 September 2018, dipenuhi dengan detil negative mengenai sejumlah besar perusahaan dan perkebunan sawit. Tetapi laporan tersebut juga menyinggung soal “deforestasi” yang katanya meliputi luasan sebesar  130.000 hektar.

Walaupun laporan tersebut menggadang gadang bahwa luasan deforestasi tersebut, yang telah berlangsung dari tahun 2015, setara dengan dua kali seluas Singapura, laporan tersebut tidak memberikan perspektif yang sebenarnya. Singapura itu kecil, dan deforestasi 130.000 hektar hutan ini juga berlangsung selama tiga tahun.

Hamparan kebun kelapa sawit di Indonesia dengan prinsip berkelanjutan.

Di bulan April tahun ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan bahwa tutupan hutan Indonesia seluas 125,9 juta hektar, atau menutupi sekitar 63,7 persen luas daratan negeri ini.

Laporan Greenpeace ini juga terjebak kedalam penggunaan keluhan lama terhadap sawit yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi. Laporan itu mengklaim bahwa produksi komoditas ini telah mendorong laju deforestasi dan perusakan hutan yang cepat.

Sebuah penelitian baru, memperlihatkan bahwa walaupun mungkin ada penyusutan tutupan hutan di Asia, luasan yang hilang ini telah tergantikan oleh pertumbuhan areal hutan yang lebih besar di kawasan lainnya.

Sebenarnya, data dalam laporan tersebut jauh lebih jelas memperlihatkan betapa lambatnya penanaman sawit baru di Indonesia, Malaysia dan Papuaniugini sejak 2015. Indonesia dan Malaysia merupakan produsen sawit terbesar di dunia dan bersama, mereka menguasai sekitar 85 persen pasokan dunia.

Menurut laporan tersebut, penanaman pohon kelapa sawit yang baru di Indonesia sejak 2015 hanya mencakup 80.000 hektar. Dan kebanyakan dari ini dilakukan sebelum 2018. Luasan ini hanyalah 0.7 persen dari 11 juga hektar yang ditanami kelapa sawit di Indonesia. Data yang lebih mutakhir dari pemerintah malahan menunjukan luasan total perkebunan kelapa sawit ini sebesar 14 jutaan hektar.

Areal seluas 80.000 hektar ini sebagian besarnya berada di Kalimantan dan Papua. Sekitar setengahnya berada di Kalimantan yang merupakan habitat orangutan. Tentu saja, laporan Greenpeace ini tak lupa menyertakan gambar orangutan.

Kalimantan sendiri dikatatakan memiliki tutupan hutan sebesar 54 juta hektar dan karenanya, 40.000 hektar penanaman baru ini hanyalah merupakan sekitar 0.07 persen dari hutan yang merupakan rumah bagi orangutan ini.

Ketika laporan ini berbicara mengenai penanaman baru, ia mengacu kepada jangka waktu selama kurang lebih tiga tahun, Lambatnya laju penanaman baru selama tiga tahun ini akan berarti bahwa industri sawit hanya tumbuh kurang dari 0.5 persen dalam setahunnya. Angka rendah ini cocok dengan gurauan yang mengatakan bahwa penanaman baru di Indonesia, terutama oleh pihak swasta, mencapai hampir nol hektar di penghujung tahun 2017.

Kalau kita tambahkan lagi fakta adanya persyaratan yang lebih berat bagi penanaman kembali dan histeria yang meliputi perlunya restorasi lahan gambut, maka implikasi sebenarnya akan jauh lebih dramatis dari sekedar deforestasi.

Kesemuanya ini berimplikasi bahwa setelah industri kelapa sawit Indonesia mengalami beberapa dasawarsa dengan pertumbuhan yang kuat, areal produktif kelapa sawit ini kini akan mulai menyusut.

Tanpa produktivitas tinggi, pasokan global dari sebuah minyak nabati yang penting ini juga akan mulai melemah. Hal ini akan membawa implikasi serius terhadap harga minyak serta harga dan ketersediaan makanan serta produk lainnya yang bergantung kepada kelapa sawit. Dan daftar produk produk ini sangat panjang, termasuk kebutuhan sehari-hari seperti sabun dan sampo.

Juga terdapat bukti bukti yang semakin menguat bahwa peringatan tanda bahaya yang paling sering didengungkan oleh kalangan yang anti-sawit, yaitu masalah kerentanan populasi orangutan, kini juga sudah mulai tidak akan menguntungkan lagi bagi mereka dan tidak akan dapat dipergunakan lagi.

Perkiraan populasi orangutan sudah mulai menanjak lagi dan kini sudah melampaui jumlah 100.000. Angka ini sekitar empat sampai lima kali populasi orangutan dua dasawarsa yang lalu, ketika industri kelapa sawit mengalami pertumbuhan yang cepat.

Tetapi, mungkin yang penting juga adalah fakta bahwa kini telah menjadi jelas bagi beberapa ilmuwan, bahwa kehilangan keragaman hayati itu tidak selalu buruk. Mereka juga mulai melihat sisi positifnya. Sebagai contohnya, pengurangan jenis nyamuk yang diakibatkan adanya perkebunan sawit, ternyata membantu menekan salah satu penyakit paling mematikan di dunia – malaria.

Mengingat semua ini, tuduhan yang dilancarkan terhadap kelapa sawit semakin terdengar kosong.

Tanpa penanaman baru yang berarti, bagaimana mungkin terjadi deforestasi besar besaran? Realita lainnya adalah bahwa kebutuhan atas minyak nabati ini terus meningkat dan terjadinya kekurangan minyak ini sangat tidak diharapkan.

Populasi orangutan terus bertambah, demikian pula dengan tutupan hutan di dunia. Keuntungan yang dapat ditarik dari berkurangnya keragaman hayati, juga mungkin patut dirayakan. Apakah ini merupakan hitungan mundur yang final bagi kalangan yang anti-sawit?

*Sebastian Sharp mengepalai Hubungan Investor di Eagle High PlantationsApa yang dikemukakannya dalam tulisan ini adalah pandangan pribadinya.

Share This