The Palm Scribe

Tekanan Terhadap Greenpeace Meningkat Menyusul Kampanye Anti-Sawitnya

Industri Minyak Kelapa Sawit Indonesia mulai meningkatkan tekanannya kepada organisasi pegiat lingkungan Greenpeace yang dituduh mengusik kedaulatan bangsa dan mengancam keberlangsungan hidup jutaan petani dan pekerja perkebunan kelapa sawit dengan serangkaian aksi anti-sawitnya baru baru ini.

Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), dalam sebuah rilis pers organisasi tersebut mengatakan bahwa dengan aksi-aksi anti-minyak sawitnya, “Jelas Greenpeace telah mengusik kedaulatan kita sebagai bangsa.” Greenpeace, tambahnya, juga mengancam kelangsungan hidup sekitar 17 juta petani dan pekerja di sektor perkebunan kelapa sawit.
“Apakah mereka, para LSM asing berkedok penyelamat lingkungan itu sudah memikirkan nasib para petani sawit. Jika industri sawit mati, siapkah para LSM itu memberikan kesempatan kerja pengganti?” tanya Sardjono dalam siaran pers yang diperoleh The Palm Scribe Kamis (22/11).
Petani kecil kelapa sawit mengelola sekitar 40 persen luasan kebun kelapa sawit di Indonesia dan perannya semakin lama semakin bertambah.
Pernyataan serupa juga sudah dikemukakan Menteri Koordinator Bidang Maritime Luhut Panjaitan. Setelah sebelumnya  menghimbau Greenpeace agar lebih beradap dalam protes mereka maupun dalam menyampaikan kritik mereka, Panjaitan dikutip oleh Majalah Sawit Indonesia pada hari Kamis (22/11) mempertanyakan nasionalisme Greenpeace Indonesia dan menambahkan ia akan mengusulkan agar organisasi pegiat itu diaudit legalitas maupun sumber dananya.
“Saya mau usulin diaudit juga Greenpeace Indonesia, Kenapa dia berbuat begitu. Dia tahu gak ada 17,5 juta orang yang terlibat di dalam palm oil ini?” ujarnya. Dikatakannya bahwa kampanye Greenpeace hanya akan membuat orang Indonesia sendiri yang susah.
“Apa dia masih rakyat Indonesia? kalau dia masih Indonesia, harusnya menghormati rakyat Indonesia,” tegasnya.
Sementara itu Pengurus Pusat Keluarga Alumni Institut Pertanian Stiper dalam siaran persnya Kamis, menuduh Greenpeace sebagai berpotensi menjadi “Penjajah Baru” dengan kampanyenya yang menyerang kelapa sawit, sebuah aksi yang hanya akan merugikan bangsa sendiri sementara menguntungkan bangsa lain.
“LSM Greenpeace, juga melecehkan martabat bangsa Indonesia, dimana keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menata perkebunan kelapa sawit melalui penerapan mandatori Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), moratorium perizinan baru, mengendalikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan berbagai regulasipemerintah lainnya, seolah tak berarti sama sekali,” ujar ketua umum PP Keluarga Alumni Instiper, Priyanto PS.
“Kami menyerukan untuk melakukan perlawanan terhadap LSM Greenpeace dan LSM anti-sawit yang masih beroperasi di Indonesia sekarang juga. Hanya ada satu kata… LAWAN!” siaran pers tersebut mengatakan.
Pada awal minggu ini, Benny Soetrisno, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dalam sebuah rilis persnya, menghimbau pemeringah untuk berpihak kepada minyak sawit yang menurutnya “berada dalam ancaman Greenpeace.”
“Aksi Greenpeace terlalu lama dibiarkan. Akibatnya seperti sekarang, ekspor sawit dihambat masuk Eropa. Untuk itu, Indonesia bisa mengikuti kebijakan India yang membekukan Greenpeace,” ujarn Soetrisno.
Sardjono mengatakan pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang diusahakan perusahaan perkebunan mengikuti peraturan perundangan yang berlaku baik menyangkut proses perijinan, pengelolaan kebun dan produksi kelap sawit.
“Semua perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam melakukan usahanya harus mendapakan Ijin Usaha Perkebunn (IUP) yang dikeluarkan pemerintah. Tanpa IUP,  maka perusahaan tidak dapat melakukan usaha perkebunan,” katanya.
Sardjono juga mengungkapkan bahwa lahan yang diberikan dalam IUP adalah lahan APL (Areal Penggunan Lain) dan atau Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) yang mana pemanfaatannya harus dengan izin Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).  IUP juga dilengkapi dengn dokumen AMDAL yang memastikan bahwa usaha perkebunan yang dilakukan adalah benar-benar tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.
Dalam melakukan pembukaan dan pembangunan kebun, perusahaan perkebunan kelapa sawit tunduk kepada peraturan peraturan pemerintah, termasuk harus mengikuti prinsip dan kriteria dalam skema  Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) seperti pembukan lahan tanpa bakar, melindungi kawasan bernilai konservasi tinggi bagi masyarakat (seperti makam leluhur, sumber air dll) pembuatan kontur dan tapak tanam untuk wilayah perbukitan, penanan 50 meter dari sempadan sungai dan lain lain. Saat in perusahaan-perusahaan anggota GAPKI juga sudah lebih maju dalam pengelolaan pencegahan dn penanggunalangan kebakaran lahan.
Saat ini sebanyak 413 perusahaan telah mendapatkan sertifikat ISPO dan direncanakan bahwa di tahun 2019 semua perusahaan anggota GAPKI sudah memproses sertifikasi ISPO mereka.
Sardjono mengatakan bahwa berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada perusahaan kelapa sawit yang mengatakan mereka memproduksi minyak kotor adalah tidak benar.
“Kami juga tidak setuju dengan pengunaan istilah minyak sawit kotor karena sat ini pemerintah dan dunia usaha mempercepat tercapainya industri sawit yang berkelanjutan,” kata Sardjono.
Bahkan, lanjutnya, sektor perkebunan kelapa sawit menjadi sektor ekonomi utama untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan  (SDGs) .
Share This