Pemerintah meresmikan penggunaan biodiesel 20% atau B20 pada 31 Agustus 2018 yang bertujuan mengurangi biaya impor bahan bakar solar. Namun sebagian besar konsumen hanya mengisi kendaraan bermesin dieselnya dengan solar tanpa tahu kandungan solar tersebut. Konsumen meyakini bahwa solar yang terdapat di SPBU Pertamina sama saja dengan solar murni.
B20 adalah bahan bakar alternatif yang dibuat dengan mencampur minyak solar biasa, dengan minyak nabati, termasuk minyak kelapa sawit. Campuran tersebut merupakan perpaduan dari 20% biodiesel dan 80% solar minyak bumi, serta dapat digunakan untuk mesin-mesin produksi serta transportasi yang menjadikan solar sebagai bahan bakar utama.
Pengujian bahan bakar alternatif B20 ini telah dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2 mesin diesel yaitu Tata Ace EX2 700 cc dan Tata Super Ace 1.400 cc. Dengan putaran mesin mencapai 3000 rpm, tidak ada asap pekat yang muncul dari pembakaran. Hal ini dapat menurunkan emisi CO2 yang sampai saat ini tercatat 1,06 juta ton CO2.
Menurut Ketua Umum Gaikindo Johannes Nangoi, B20 tidak memberi perbedaan pada performa mesin yang menggunakan bahan bakar solar yang ada selama ini. Seluruh kendaraan yang beredar di pasaran saat ini juga telah bisa menggunakan B20. Selain itu bahan bakar campuran ini memiliki sifat soap effect, atau efek seperti sabun. Efek sabun dari penggunaan bahan bakar B20, akan berpegaruh terhadap mesin kendaraan pabrikan lama. B20 akan merontokkan kotoran dan kerak di tangki dan salurannya.
“Sehingga pada saat nanti pakai ini (B20), dan tidak dibersihkan dulu, mungkin bisa terjadi penyumbatan, karena solar solar yang dipakai dulu nggak bagus, kotor, kan terjadi endapan. Endapan ini akan terbilas karena dia punya efek semacam soap effect,” ujar Nangoi, di Jakarta.
Ia menyarankan bagi kendaraan-kendaraan lama, terutama bus dan truk untuk membersihkan tangki dan saluran bensin terlebih dahulu serta mengganti filter bensin.
Pemerintah meluncurkan program penggunaan bahan bakar minyak biodiesel 20% berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang mandatory biodiesel untuk sector Public Service Obligation (PSO) dan non-PSO. Aturan yang ditandatangani pada 15 Agustus 2018 tersebut sekaligus merevisi Perpres Nomor 61 Tahun 2015 tentang penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan perluasan mandatory biodiesel 20% (B20) bertujuan untuk meningkatkan permintaan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) secara global. “Kami mulai B20 dulu, sehingga dengan demikian kita bisa meningkatkan penggunaan B20 itu sekaligus mengurangi impor biosolar,” katanya di Istana Bogor, Selasa (31/72018).
Penerapan kewajiban B20 diperkirakan akan menghemat impor bahan bakar minyak jenis solar sebanyak 3,5 juta hingga 4,5 juta kiloliter per tahun. Neraca perdagangan Indonesia di Agustus 2018 mengalami defisit sebesar US$ 1,02 miliar. Untuk mengatasi masalah defisit migas, pemerintah mengandalkan B20. Bahan bakar ini tidak membuat neraca perdagangan migas menjadi surplus, namun mengurangi defisit neraca perdagangan di sector migas. Hingga akhir tahun ini B20 akan berkontribusi mengurangi deficit sebesar US$ 1 miliar sampai akhir tahun ini.
“Enggak, ikut berkontribusi mengurangi kalaupun itu negatif, kan kita target empat bulan ini bisa US$ 1 miliar.” Ujar Rida Maulana Direktur Jendral Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Agar kebijakan ini berjalan dengan baik, akan dilakukan pengawasan oleh Kementerian ESDM melalui mekanisme silent audit.
“Untuk mengawasi pelaksanaan mandatory ini, Kementerian ESDM akan melakukan audit, yang akan kami sebut sebagai silent audit. Sesuai namanya, jadi kapan tim akan datang mengaudit, tidak akan ada pemberitahuan sebelumnya. Timnya ada atau tidak, masyarakat tidak ada yang tahu, tapi akan ada yang bergerak sampai ke SPBU,” jelas Direktur Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Rida Mulyana, Jakarta, Senin (3/9/2018).
Selain melakukan pengawasan yang ketat, pemerintah menegaskan bahwa sejak 1 September 2018, tidak akan ada lagi produk B0 (solar dengan kandungan biodiesel 0 persen) di pasaran, dan keseluruhannya berganti dengan B20. Apabila Badan Usaha Penyedia BBM (BU BBM) tidak melakukan pencampuran, dan BU Bahan Bakar Nabati (BU BBN) tidak dapat memberikan pasokanFAME (Fatty Acid Methyl Ester) ke BU BBM akan dikenakan denda Rp. 6000/liter. Produk Biodiesel nol persen nantinya hanya untuk Pertadex atau Diesel Premium.
Rida berharap masyarakat dapat membantu pemerintah dalam mensukseskan kebijakan ini. Jika masyarakat menemukan kejanggalan dalam pelaksanaan mandatori B20, masyarakat dapat menghubuni call center 14036 yang telah dibentuk oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).