Walaupun sudah terbukti merupakan minyak nabati yang paling efisien dan satu satunya yang memiliki skema sertifikasi keberlanjutan yang ketat, minyak kelapa sawit semakin banyak menghadapi kampanye yang memburuknya, karenanya seorang diplomat menghimbau negara produsen agar tidak lagi bersifat reaktif saja tetapi harus secara proaktif melancarkan serangan balik.
“Ini adalah a long fight. Indonesian membutuhkan strategi yang jelas untuk melakukan kampanye sawit, kita tidak bisa hanya bersikap reaktif tapi harus proaktif,” ujar Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Hava Oegroseno ketika berbicara dalam webinar yang diadakan oleh Gabungan Produsen Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Oegroseno, yang sebelumnya sebagai Duta Besar Penuh dan Luar Biasa untuk Belgia, Luksemburg dan Uni Eropa sudah secara intens berkutat dengan promosi dan pembelaan kelapa sawit, mengatakan bahwa apa yang sedang dihadapi industri sawit adalah kampanye yang dilakukan raksasa secara terstruktur,
Sentimen anti-sawit kini sedang meningkat di banyak negara non-produsen sawit, dengan para penyerangnya menuduh sawit berada dibalik deforestasi masl beberapa dasawarsa terakhir dan juga tidak sehat untuk dikonsumsi.
Salah satu serangan terakhir dilakukan oleh dua kantor kawasan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) – yaitu untuk kawasan Eropa dan kawasan Mediterania Timur – dengan mengeluarkan pernyataan dan edaran yang tidak merekomendasikan konsumsi minyak kelapa sawit bila ingin sehat dalam situasi pandemic Covid-19 ini. Pernyataan yang memburukkan sawit ini akhirnya dicabut setelah datangnya berbagai protes dari negara produsen.
Yusof Basiron, CEO Dewan Negara Produsen Minyak Kelapa Sawit (CPOPC), yang berbicara pada kesempatan yang sama, mengatakan bahwa “elemen anti-sawit” sudah merasuki organisasi internasional seperti WHO, FAO and ILO walaupun kampanye mereka melawan kelapa sawit “tidak memiliki basis ilmiah apapun.”
Basiron juga mengatakan bahwa CPOPC telah mengidentifikasi “apa yang saya namakan isu isu toksik yang beroperasi sebagai peraturan baru sebagai aturan dan peraturan,” di Uni Eropa, sebuah kawasan yang merupakan salah satu basis serangan-serangan terhadap sawit ini.
“Semua yang menamakan diri sebagai aturan itu, mensugestikan bahwa minyak kelapa sawit tidak cocok sebagai makanan maupun bahan bakar,” ujarnya, dengan menambahkan bahwa organisasi ini kini sudah menggunakan agen-agen di negara negara dimana serangan ini dilancarkan, untuk melawan kampanye hitam itu “di daerah mereka sendiri.”
Oegroseno mengatakan bahwa sementara CPOPC dapat maju dengan kampanye sendiri, tidak tertutup kemungkinan bahwa negara negara produsen sawit juga melancarkan kampanye mereka sendiri, Apa yang diperlukan adalah adanya sinergi, ujarnya.
Ia mengatakan bahwa salah satu kendala yang dihadapi Indonesia maupun negara produsen lainnya adalah anggaran, sementara pihak anti-sawit memiliki anggaran yang besar untuk melancarkan kampanye mereka.
Ia mengusulkan bahwa dana yang dikumpulkan dari ekspor sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebenarnya dapat dijadikan sumber anggaran untuk melawan kampanye hitam terhadap kelapa sawit.
Agar kampanye balik bisa efektif, Oegroseno mengatakan bahwa disamping mendapatkan sumber pembiayaan, sebagai negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia memerlukan strategi yang berkelanjutan dan terstruktur untuk melawan perang yang berlangsung lama melawan komoditas ini.
Oegroseno juga mengemukakan harapannya bahwa semua pemain di industri sawit Indonesia dapat bersatu membentuk front bersama untuk melawan kampanye hitam tersebut.
“Saya mengharapkan kalau bisa internal competition diantara pelaku di Indonesia bisa dikurangi sehingga bisa bersama-sama melakukan kampanye terstruktur di organisasi internasional,” ujarnya.
Dengan pembiayaan yang mencukupi, negara ini dan juga negara produsen lainnya, dapat melancarkan apa yang disebutnya sebagai investment campaigns dan legal campaigns.
Negara produsen yang sudah atau mampu, seharusnya berinvestasi di negara negara dimana kampanye hitam itu dilancarkan, kemudian aktif melobi berbagai pihak yang bersangkutan disana, termasuk masyarakatnya secara menerus.
Dalam legal campaign, negara produsen dapat melancarkan gugatan hukum terhadap perusahaan, supermarket maupun restoran yang menerapkan kebijakan “no-palm oil.”
“Jadi, kalau mau efektif, kita file litigation kepada masing masing industri yang lakukan kampanye no palm oil,” ujarnya. “Kalau dilakukan secara sistematis, ini dapat menjadi efektif,” tambahnya.
Ia menambahkan bahwa sudah ada yurisprudensinya dengan sebuah negara produsen di Afrika memenangkan kasus terhadap Perancis.
Ketua umum GAPKI Joko Supriyono mengatakan bahwa “Indonesia sampai sekarang ini, perkebunannya baik baik saja, operasi berjalan normal…. namun memang pasar challenging.” Ia menambahkan bahwa kelapa sawit kini dikeroyok berbagai pihak dan karenanya semua pelaku harusnya dapat bersatu untuk melawan balik.
“Kita perlu building block. Kita tidak pernah melakukan itu,” sergahnya.
Ia juga mengatakan bahwa industri sawit kini tidak saja menghadapi kesulitan menemukan pembeli tetapi juga sudah mulai kesulitan dalam memperoleh kredit bank, terutama dari bank bank di Eropa dan Amerika Serikat yang kini menggaungkan “sustainable banking” yang menolak memberikan pinjaman kepada usaha yang menurut mereka tidak berkelanjutan. Gerakan ini, tambahnya, kini juga sudah meluas ke negara negara lain, termasuk Jepang.
“Menurut saya, bagi Indonesia ada opportunity, dengan adanya BPDPKS, bisa buat program, tapi harus ada understanding dari Depkeu, harus ada understanding mengenai kesulitan baru ini, financing,” ujar Oegroseno.