Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyambut baik keputusan pemerintah untuk sementara waktu meniadakan pungutan ekspor minyak sawit, namun berpendapat bahwa dana yang dihimpun dari pungutan tersebut tidak banyak membantu petani sawit tetapi lebih menguntungkan industri biodiesel.
Dalam sebuah siaran persnya pada hari Kamis (6/12), SPKS mengatakan organisasi tersebut “mengapresiasi” tindakan dan keputusan pemerintah untuk menghilangkan pungutan ekspor sebesar $50 per ton selama harga minyak sawit berada dibawah $570 per ton.
“Namun disisi yang lain, porsi distribusi dan pemaanfaatan dana pungutan untuk petani sawit tidak seimbang dengan kontribusi dan dampaknya bagi petani sawit. Alokasi untuk subsidi biodiesel jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi replanting dan peningkatan SDM perkebunan,” demikian Sekretaris Jendral SPKS, Mansuetus Darto mengungkapkan dalam siaran pers tersebut.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan perhitungan SPKS, dari penggunaan dana yang dihimpun dari pungutan ekspor dan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), realisasi program untuk petani hanya tiga persen dan sisanya adalah untuk biodiesel.
Darto mengatakan bahwa selama ini, program untuk petani BPDP-KS berjalan lambat dan mengatakan “lambatnya program untuk petani selama ini akibat salah urus oleh BPDP-KS yang bernaung dibawah kementerian keuangan dan tidak paham masalah sawit dan lebih memperhatikan industri biodiesel.”
BPDP-KS, menurutnya, tidak paham masalah sawit dan lebih memperhatikan industri biodiesel.
Ia juga menambahkan bahwa bila pungutan itu diberlakukan kembali SPKS berpendapat bahwa sebaiknya ita tidak berada pada besaran $50 per ton tetapi hanya $10 per ton and badan yang mengelolanya seharusnya berada dibawah kementrian pertanian dan bukan kementerian keuangan seperti sekarang ini.
Darto mengatakan bahwa selain pungutan tersebut, masih banyak faktor lainnya yang mempengaruhi harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Ia menyebutkan antara lain, produksi berlebih, faktor harga komoditas nabati jenis lainnya yang juga turun, serta tata kelola pembelian TBS petani yang tanpa pengawasan bagi pembeli pihak ketiga.
Ia juga meminta bahwa dalam program campuran biodiesel B20 yang sedang digalakkan pemerintah, sumber produk bahan baku agar diperoleh dari petani yang sudah legal.
“Kami juga meminta Presiden Jokowi untuk segera memastikan sumber produk B20 itu diperoleh dari perkebunan rakyat. Petani selalu jadi penonton ditengah maraknya industri biodiesel dalam negeri dan seharusnya perkebunan rakyat harus diutamakan,” serunya.
Dengan tindakan seperti itu, menurut Darto, maka petani akan memperoleh nilai tambah yang selama ini selalu menjual ke tengkulak dengan harga yang sangat rendah.
Marselinus Andry, Kepala Departemen Advokasi SPKS, mengungkapkan diterbitkan aturan peniadaan pungutan ekspor CPO oleh BPDP-KS, tidak berarti tanggung jawab Pemerintah selesai disitu.
“Perlu ada solusi yang harus dipikirkan ke depan oleh Pemerintah agar mengembangkan pasar minyak sawit terutama kebutuhan dalam negeri tidak hanya program B20. Pemerintah harus mengembangkan hilirisasi dan end product dari industry sawit Indonesia, baik di industri makanan, industri customary goods, dan industri kosmetik dan kesehatan,” demikian Andry.
.
Menurut Andry, perbaikan tata kelola BPDP-KS untuk pembangunan berkelanjutan serta pemberdayaan dan tata kelola bagi petani swadaya harus menjadi prioritas untuk mendukung peningkatanproduktivitas perkebunan sawit rakyat.
Petani rakyat pada saat ini mengelola sekitar 40 persen dari luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, namun tingkat produktivitas mereka masih jauh dibawah tingkat yang dicapai perusahaan perkebunan. Pemerintah kini sedang gigih mengusahakan peningkatan produktivitas petani kecil, termasuk petani swadaya, melalui program peremajaan tanaman, dengan menggunakan biti unggul dengan produktivitas yang lebih tinggi.