The Palm Scribe

Soal Kejujuran, Politik dan Deforestasi

Oleh Denys Munang*

Banyak yang telah diungkapkan mengenai “Larangan Uni Eropa yang akan berlaku terhadap Minyak Sawit” dan bagi saya sangat menyedihkan melihat hal tersebut kini telah berubah menjadi sebuah kasus yang jauh lebih besar dari sebenarnya.

Saya dapat melihat kebingungan yang ada diseputaran isu ini. Inti dari isu ini sebenarnya penggunaan minyak sawit sebagai biofuel di Uni Eropa. Organisasi regional tersebut telah membuat sebuah rancangan peraturan yang akan secara efektif menyebabkan penghapusan secara bertahap biofuel minyak sawit dari program Energi Terbarukan Uni Eropa.

Pertama, ini masih berupa rancangan peraturan, yang artinya, belum berupa perundangan. Uni Eropa masih harus mengambil suara di parlemenennya sebelum rancangan peraturan ini menjadi undang undang, yaitu sekitar bulan April. Jadi masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi.

Kedua, hal ini hanya menyangkut minyak kelapa sawit yang dikapalkan ke Eropa sebagai biodiesel. Berapa banyak biodiesel dari kelapa sawit ini dibutuhkan Eropa? Menurut data dari Oil World, Uni Eropa mengimpor 7,5 juta ton minyak kelapa sawit di tahun 2017 dan sekitar setengahnya, yaitu 3,75 juta ton, digunakan sebagai bahan bakar.

Karena sekarang tahun 2019, mungkin Uni Eropa sudah meningkatkan seleranya terhadap biodiesel dari minyak sawit dan karenanya mungkin bisa diharapkan mengimpor sampai dengan empat juta ton. Jumlah yang cukup besar? Ya, bila yang menjawab adalah Thailand, yang menghasilkan sekitar tiga juta ton minyak kelapa sawit dalam setahunnya.

Kenyataanya adalah, dunia menghasilkan sekitar 73 juta ton minyak sawit dalam setahunnya. Saya kira tidak perlu menebak bahwa kebayakan dari minyak tersebut dihasilkan oleh Indonesia dan Malaysia, yang secara potensial mencerminkan 5.6 persen dari produksi minyak sawit dunia.

Yang tidak disadari oleh banyak orang adalah: ini hanya menyangkut biofuel di Uni Eropa, dan bukan larangan atas minyak kelapa sawit seluruhnya.

Poin ketiga adalah bahwa masalah ini merupakan masalah program energi terbarukan dari Uni Eropa. Uni Eropa ingin menjadi lebih berkelanjutan dalam kebijakan energinya dan karenanya, telah menargetkan bahwa pada tahnun 2030, 14 persen dari bahan bakar transportasi yang digunakan di Uni Eropa harus berasal dari sumber yang terbarukan, termasuk biofuel cair dan biogas.

Tentu saja, Uni Eropa membayar subsidi yang tinggi untuk menjadikan hal ini sebagai kenyataan. Cukup dikatakan bahwa biofuel dari minyak kelapa sawit memang saat ini tengah menikmati subsidi tersebut. Atau lebih tepatnya, para pengguna biofuel tersebut yang menikmati subsidi ini, yaitu berbagai perusahaan transportasi yang memiliki bus dan truk yang mengangkut orang maupun barang ke seluruh penjuru Eropa.

Nah, orang-orang yang memilih untuk menjelek-jelekkan biofuel dari kelapa sawit sebenarnya saat ini sedang tidak jujur.

Pertama tama, dari semua biofuel yang ada di dunia ini, mengapa perusahaan transportasi lebih memilih menggunakan biofuel dari kelapa sawit? Kita dapat menjawab apa saja, tetapi harus pasti mengenai suatu hal. Jawaban yang paling benar adalah bahwa biofuel dari minyak sawit inilah yang secara ekonomis paling efisien. Atau kalau ingin jawaban yang tidak enak didengar, katakanlah karena biofuel dari kelapa sawit itu murah.

Karena murah, pasti tidak bagus. Kita semua sudah pernah mendengar kalimat ini bukan? Padahal harga murah tersebut dikarenakan oleh fakta bahwa kelapa sawit adalah tanaman penghasil minyak yang sangat efisien. Tanaman penghasil minyak lainnya akan membutuhkan lebih dari lima sampai enam kali luasan lahan untuk menghasilkan jumlah minyak biofuel yang sama, serta membutuhkan dua kali lebih banyak pupuk non-organik dan pestisida dalam budidayanya.

Anda semua tahu mengenai hal ini, Uni Eropa juga tahu, dan bahkan putri saya yang berumur enam tahun juga tahu.

Yang paling menyebalkan bagi saya, apa yang sebenarnya terjadi adalah para politisi dan teknokrat di Uni Eropa telah memberikan gambaran yang salah mengenai keseluruhan isu deforestasi hanya untuk mendukung kasus mereka dalam melawan penggunaan biofuel dari minyak kelapa sawit. Faktanya juga adalah, mereka sebenarnya hanya menginginkan subsidi tersebut untuk mereka sendiri, bukan untuk konsumennya, tetapi untuk petani mereka sendiri yang juga menanam tanaman penghasil biofuel lainnya. Para petani kedelai di Amerika Serikat bahkan berpikir bahwa mereka bisa mengambil untung dari legislasi ini….

Tetapi insting saya mengatakan bahwa subsidi ini akan diberikan kepada para petani bunga matahari dan Rape Seeddi Eropa, karena mereka telah memberikan suara kepada para politisi yang kemudian menyuruh teknokratnya untuk menciptakan rumusan dan rancangan Konversi Penggunaan Tanah Tak Langsung (Indirect Land Use Conversions/ILUC) yang menghalangi minyak kelapa sawit sebagai bahan biofuel yang dapat diterima di Uni Eropa.

Sebenarnya saya tidak punya masalah bila subsidi diberikan untuk menguntungkan rakyat, atau pemilih yang pajaknya ditarik untuk subsidi ini. Saya juga percaya bahwa para petani kecil yang menghasilkan sekitar 45 persen dari minyak kelapa sawit dunia, juga memilik masalah dengan hal ini. Toh petani kecil kelapa sawit ini sedikit sekali menerima, atau bahkan tidak pernah menerima subsidi dari pemerintah mereka, tidak seperti petani di Uni Eropa.

Saya hanya berharap Uni Eropa dapat berlaku jujur dan bisa mengatakan: Mohon maaf, tetapi saya sebenarnya ingin subsidi ini dibayarkan kepada petani saya sendiri. Bukan kemudian mengarang cerita yang mengatakan kelapa sawit adalah sumber utama deforestasi di dunia, dan mereka yang membudidayakannya tidak peduli terhadap lingkungan.

Saya sungguh-sungguh berharap mereka dapat berhenti sejenak dan berani menghadapi kenyataan yang ada: Berapa luas lahan yang digunakan oleh penanaman kelapa sawit di bumi kita tercinta ini, bila dibandingkan dengan tanaman penghasil biofuel lainnya? Lahan yang ditanami kelapa sawit menempati persentase lahan yang terkecil, yaitu 5,5 persen dari total luas lahan yang digunakan tanaman penghasil minyak dan lemak, tetapi ia justru menghasilkan persentase terbesar dari total minyak yang dihasilkan, yaitu 32 persen.

Berapa luas tutupan hutan yang dimiliki kedua negara penghasil minyak sawit terbesar, Indonesia dan Malaysia, dan berapa luas tutupan hutan di Uni Eropa? Saya tidak akan mencari jawabannya di Google, karena tidak ingin mengurangi kekagetan yang mungkin timbul.

Apakah kelapa sawit merusak hutan? Ya, tetapi begitu juga dengan tanaman penghasil minyak lainnya, dan hal ini masih terus berlangsung. Sementara itu deforestasi oleh kelapa sawit sudah hampir terhenti setelah Malaysia dan Indonesia mengumumkan moratorium atas konsesi kelapa sawit baru, dan kebanyakan usaha perkelapasawitan sudah menghentikan ekspansi ke lahan baru lebih dari tiga tahun yang lalu. Ya, memang kita merusak, tetapi mereka juga.  Namun kita saat ini sedang dalam proses tranformasi.

Apakah mereka menyadari bahwa kelapa sawit adalah tanaman yang memiliki luasan lahan tanam produksi yang memiliki sertifikasi keberlanjutan terbanyak dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya?

Lebih mengecewakan lagi, rancangan legislasi Uni Eropa menawarkan beberapa pengecualian terhadap pelarangan impor biodiesel dari minyak kelapa sawit ini, yaitu bagi minyak kelapa sawit yang dihasilkan oleh petani kecil. Tetapi bila dibaca dengan teliti, ternyata petani kecil yang dimaksud adalah petani yang lahannya dibawah dua hektar. Sungguh menggelikan.

Delegated Act telah menetapkan ambang batas kategori petani kecil menjadi dua hektar agar memastikan bahwa kepemilikan dan kebebasan mereka atas tanah terjamin. Temuan ini didasarkan pada potret data petani kecil dari Badan Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-bangsa. Potret data ini komprehensif, sistematis dan memberi gambaran profil standar petani kecil di seluruh dunia. Kebun kelapa sawit dengan luas 25 atau 50 hektar tidak bisa dianggap “kecil” atau dikelola keluarga. Mereka biasanya akan mempekerjakan lima hingga 10 orang pekerja profesional penuh waktu 

Definisi Petani Kecil

Petani kecil adalah petani yang menanam kelapa sawit disamping tanaman utama lainnya, yang kebanyakan dari pekerjaan berkebunnya dikerjakan oleh keluarga, perkebunannya merupakan sumber penghidupan utamanya serta luas areal tanamnya kurang dari 50 hektar.

Saya jadi tak habis pikir…

OK, mari kita kembali ke permasalahan volume minyak kelapa sawit yang digunakan untuk keperluan biodiesel di Uni Eropa, yang tadi sudah kita hitung menyerap sekitar empat juta ton. Ada berapa penduduk di Uni Eropa? 512 juta orang, menurut internet. Kalau Inggris akhirnya memutuskan meninggalkan Uni Eropa, jumlah penduduk akan menjadi 446 juta saja.

Dewan Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (CPOPC) memiliki enam anggota, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Columbia, Nigeria dan Pantai Gading yang memiliki penduduk total hampir 630 juta orang. Jika semua negara anggota CPOPC ini mengadopsi kebijakan yang sama untuk menggunakan biofuel dari kelapa sawit, empat juta ton itu jumlah yang kecil. Indonesia dan Malaysia kini mengarah kesana.

Jadi, jika Uni Eropa memutuskan untuk tidak beranjak dari keputusannya, walaupun ada ancaman membawa permasalahan ini ke WTO atau bahkan keadaan memburuk menjadi perang dagang dengan ancamana boikot produk Uni Eropa,  sebenarnya COPC, tidak hanya Indonesia saja, dapat terus hidup tanpa terusik oleh ketiadaan permintaaan akan biodiesel dari Uni Eropa.

Saya hanya berharap, ada kejujuran mengenai fakta-fakta di balik isu biofuel sawit di Uni Eropa, dan juga bahwa pemberitaan yang ada dapat memberikan kejelasan dan perspektif yang lebih baik mengenai masalah ini.

*) Denys Munang Direktur Eksekutif executive  PT Eagle High Plantations Tbk

Share This