The Palm Scribe

SMILE: Program Keberlanjutan Untuk Bantu Petani Swadaya

Foto: AFP

Tiga perusahaan raksasa dalam industri kelapa sawit yaitu Asian Agri, Apical Group dan Kao Corporation pada Rabu (28/10) bersama-sama meluncurkan inisiatif baru di sektor kelapa sawit berkelanjutan untuk memberikan bantuan kepada petani swadaya dalam memperoleh sertifikasi, meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan kesejahteraannya. 

SMILE atau Smallholder Inclusion for Better Livelihood & Empowerment merupakan program kerjasama antara ketiga perusahaan ini dan direncanakan akan berlangsung selama 11 tahun kedepan bertujuan membangun rantai nilai minyak sawit yang berkelanjutan bersama dengan petani swadaya. 

“Program ini adalah hasil kerjasama kami semua termasuk dengan petani swadaya, terutama di industri sawit yang 40 persen produksi sawit berasal dari petani swadaya. Namun, untuk dapat melakukan hal ini, tentunya seseorang harus mempersiapkan untuk menjembatani seluruh pihak terkait di garis terdepan,” ungkap Yeo How Presiden Apical Group Ltd pada sesi diskusi online yang diselenggarakan oleh CNN Indonesia. 

“Kita butuh orang di lapangan dan disaat bersamaan juga membutuhkan dukungan dari perusahaan-perusahaan dan juga dari pasar,” imbuhnya.

Masakazu Negoro, Managing Executive Office Kao Corporation menambahkan bahwa program ini harus disiapkan dengan matang, mulai dari sisi ekonominya, dukungan ilmu pengetahuan serta bantuan lainnya. Ia juga mengatakan bahwa, selain membantu kehidupan petani swadaya, program ini juga dapat membantu menjaga lingkungan. 

“Maka kita harus menyiapkan dukungan bagi mereka sembari melindungi lingkungan, kami juga fokus pada produk kami dan kami memiliki produk berbahan kimia, jadi di proyek ini nantinya kami akan menyediakan semua dukungan untuk mereka, ekonomi mereka, ilmu pengetahuan juga bantuan lainnya,” ungkap Masakazu.

Di sisi lain, Kelvin Tio, Asian Agri Managing Director mengatakan konsumen Indonesia saat ini lebih memilih kelapa sawit berkelanjutan dan karenanya ia akan membantu petani swadaya memperoleh sertifikasi dengan memberikan pengetahuan mengenai cara memilih dan memberi bibit yang baik, dan bantuan pembiayaan infrastruktur dan penanaman.

“Kita melihat berapa pentingnya peran petani kecil ini di Indonesia, dan komitmen indonesia dalam keberlanjutan kelapa sawit. Karena saya merasa konsumer Indonesia saat ini sudah mulai bergerak ke arah keberlanjutan dan keterhubungan kami telah membuat hubungan kerjasama dengan kelompok petani swadaya, kami kasih ilmu bagaimana cara memberi bibit yang baik, memberi bantuan dalam pembiayaan infrastruktur dan penanaman, ini dilakukan agar mereka dengan mudah dapat sertifikasi,” ujar Kelvin.

Ia menambahkan bahwa program ini diupayakan dapat menjadi jembatan untuk para petani swadaya mendapatkan pengetahuan serta kemitraan dengan perusahaan yang terkait. Ia juga mengatakan bahwa tentunya terdapat tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh perusahaan yang terkait juga para petani swadaya.

“SMILE berupaya untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan petani swadaya melalui kemitraan dan memperluas lingkup keberhasilan Asian Agri yang telah membangun kemitraan jangka panjang bersama para petani,” ujar Kelvin dengan menambahkan bahwa SMILE menyadari tantangan yang dihadapi petani swadaya sebagai pelaku usaha dalam meningkatkan produktivitas kebun mereka akibat pengetahuan dan kemampuan teknis yang terbatas.

Minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak digunakan di dunia dan memiliki berbagai jenis kegunaan seperti untuk bahan makanan olahan, minyak goreng, bahan baku biodiesel, dan bahan baku pembuatan deterjen serta alat rias. Keragaman fungsi ini membuat produksi minyak sawit global dapat mencapai 75 juta ton per tahun dan menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) diprediksi akan mencapai 111.3 juta ton di tahun 2025.

Sutoyo, Ketua Asosiasi Anugrah mengatakan bahwa masih banyak petani swadaya yang berpendapat bahwa memiliki sertifikasi itu tidak diperlukan dan mereka tetap bercocok tanam secara sembarangan. Ia berharap program ini dapat membantu menghilangkan paradigma tersebut.

“Tantangan yang saya hadapi itu merubah paradigma petani individu, bahwa kita tidak bisa selamanya bergerak secara individu, susah untuk mendapat hasil yang maksimal. Dengan hadirnya beberapa stakeholder ini tentunya dapat mengubah paradigma kita yang awalnya hanya asal bisa berubah dengan bimbingan yang baik,” ungkap Sutoyo. 

Hal ini juga disetujui oleh Nurbaya Zulhakim, Direktur Yayasan Setara Jambi, yang menyebutkan bahwa betul terdapat banyak petani yang tidak terlalu mengerti gunanya sertifikasi tersebut, dan ia mencoba untuk memberikan pengetahuan pada petani swadaya mengenai hal sehingga sertifikasi tidak hanya menjadi lembar dokumen tetapi dapat memberikan dampak positif. 

“Ada tantangan-tantangan, seperti sertifikasi itu masih banyak petani yang tidak terlalu mengerti apa gunanya sertifikasi tersebut, kami selama ini mencoba memberi pelajaran bahwa setelah mendapat sertifikasi itu dapat memberikan dampak positif. Sehingga sertifikasi tidak hanya menjadi lembar dokumen tapi dapat memberikan dampak positif yang baik,” tambah Nurbaya.

Chief Operating Officer RSPO, Bakhtiar Talhah menyatakan apresiasinya bantuan yang diberikan anggota dan mitra pelaksana seperti Kao, Apical dan Asian Agri agar petani dapat memperoleh akses kepada sertifikasi RSPO.

“Melalui semangat dan tanggung jawab bersama, kami mengundang lebih banyak perusahaan untuk memperjuangkan standar petani swadaya RSPO yang baru untuk meningkatkan keterlibatan petani dalam agenda keberlanjutan untuk meningkatkan mata pencaharian mereka dan memberikan akses yang lebih luas ke pasar internasional,” ujar Talhah.

Baca lebih banyak tulisan oleh Didiet Nugraha.
Industri perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This