The Palm Scribe

Setelah Parlemen Eropa menyetujui usulan menyetop CPO untuk biodiesel

Parlemen Eropa (PE) menyetujui proposal Renewable Energy Directive (RED) II yang mengeluarkan larangan penggunaan minyak sawit (CPO) sebagai bahan biodiesel di Eropa. Persetujuan itu didapat melalui voting di kantor Komisi Eropa di Strasbourg, Prancis, pada 17 Januari 2018.

ILUSTRASI. Seorang pengemudi mengisi bahan bakar diesel untuk kendaraannya.

PE memiliki beberapa alasan melarang CPO untuk biodiesel, di antaranya biodiesel konvensional tidak berkontribusi menekan emisi gas rumah kaca karena masalah perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC). ILUC terjadi ketika penanaman tanaman sawit untuk bahan dasar biodiesel dinilai telah menggantikan produksi tanaman pangan tradisional untuk keperluan makanan dan pakan.

Lahan perkebunan kelapa sawit juga dinilai telah merambah ke lahan pertanian, hutan, dan lahan gambut. Praktik penanaman tersebut menimbulkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar, yang menghilangkan penghematan emisi langsung dari biofuel berbasis tanaman.

Penghentian penggunaan biofuel berbahan dasar kelapa sawit sebagai sumber energi di Eropa akan dimulai pada 2021 seandainya mendapat persetujuan tiga pihak, yakni Parlemen Eropa, Komisi Eropa, dan Dewan Eropa dalam pertemuan segitiga (trilogue meeting).

Jika larangan itu diterapkan, jelas akan berpengaruh besar terhadap Indonesia sebagai salah satu produsen CPO terbesar di dunia. Indonesia menghasilkan sekitar 39 juta ton pada 2017. Ekspor CPO ke Eropa meningkat 38% sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2017, dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2016. Hal ini membuat Uni Eropa menjadi importir terbesar kedua untuk minyak sawit Indonesia setelah India.

Sebanyak 46% total ekspor CPO ke Eropa (sekitar 7,5 juta ton) digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Nilai ekspor minyak sawit mentah dari Indonesia ke Eropa mencapai lebih dari dua miliar Euro per tahun.

Dengan situasi seperti itu, wajar bila Indonesia bereaksi. Pemerintah Indonesia mengemukakan kekecewaan atas keputusan Parlemen Eropa (PE) yang tetap menyetujui penghentian penggunaan biofuel berbahan dasar kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan pada tahun 2021.

Meski keputusan PE tersebut belum menjadi kebijakan final, pemerintah menganggap tetap akan memengaruhi pandangan konsumen di Uni Eropa (UE) serta memberikan tekanan politik bagi negara-negara anggota UE dan berbagai institusi UE dalam pembentukan sikap mereka terhadap kelapa sawit sebagai salah satu sumber energi terbarukan.

Pemerintah menyayangkan, sebagai institusi terhormat, PE melakukan tindakan ini tidak hanya sekali tetapi berulang kali. Contoh terakhir adalah resolusi tentang “Palm Oil and Deforestation of Rainforests” dengan kesimpulan yang melenceng dan bias terhadap kelapa sawit

Parlemen Eropa dianggap secara konsisten tidak mengindahkan fakta bahwa kelapa sawit memiliki efisiensi dan produktivitas sangat tinggi yang berpotensi menyumbang konservasi lingkungan dalam jangka panjang sebagai global land bank bila dibandingkan dengan minyak sayur lainnya.

Kelapa sawit juga sepuluh kali lipat lebih efisien dalam pemanfaatan lahan dibandingkan dengan minyak rapeseed Eropa. Oleh karena itu, kebijakan untuk menghilangkan kelapa sawit dari program biofuel sebagai sumber energi terbarukan merupakan kebijakan perdagangan yang proteksionis daripada upaya pelestarian lingkungan semata.

Padahal Indonesia telah berkomitmen untuk menjamin dan mempertahankan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari pengembangan kelapa sawit melalui berbagai kebijakan dan regulasi. Industri minyak sawit Indonesia telah terbukti berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan pencapaian tujuan Sustainable Development Goals.

Direktur Pengamanan Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, mengungkapkan ada kemungkinan pemerintah akan mengirimkan surat keberatan terhadap resolusi PE.

Pemerintah juga mempertimbangkan untuk melaporkan kasus ini ke organisasi perdagangan dunia (WTO). “Usulan Parlemen Eropa diskriminatif, bias dan tidak adil terhadap sawit,” katanya kepada Kontan.

Sikap pemerintah yang protektif terhadap sawit dilandasi fakta bahwa nilai ekspor minyak sawit yang tinggi ke UE. Keputusan menolak penggunaan minyak sawit dalam bahan baku biodiesel dinilai akan menurunkan ekspor minyak sawit ke UE.

“Pemerintah akan terus memonitor perkembangan keputusan trilogue meeting yang merupakan tahap terakhir untuk penetapan RED II,” ujar Direktur Pengamanan Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Ditjen Daglu), Kementerian Perdagangan (Kemdag), Pradnyawati kepada Kontan.

Kalangan industri sawit juga merespons hasil voting PE. Ketua harian Asosiasi Produs­en Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, keputusan parlemen Eropa yang melarang CPO Indonesia tidak konsisten. Padahal sebelumnya, Eropa hanya meminta sawit Indonesia agar berkelanjutan (sustainability).

“Itu artinya mereka tidak konsis­ten dengan keputusannya sendiri. Mereka juga diskriminatif terhadap produk sawit kita,” kata Paulus kepada Rakyat Merdeka.

Paulus meminta pe­merintah memboikot produk-produk Eropa yang masuk ke Indonesia untuk menunjukkan bahwa Indonesia juga bisa bersikap tegas.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indo­nesia (GAPKI), Danang Giri­wardana, mengatakan, “Indonesia mesti memper­siapkan bargaining position yang lebih kuat. Kita juga harus meminimalkan ketergan­tungan pada pasar Eropa ke Indonesia,” kata Danang.

Ia menyatakan, negara besar dan berdaulat, seperti Indonesia, tidak boleh kalah oleh intimidasi negara lain. “GAPKI dengan seluruh industri perkebunan dan olahan sawit tidak akan diam, kami juga proak­tif mempersiapkan inovasi-inovasi baru dan pasar-pasar baru,” katanya.

Sebagai alternatif solusi, Direktur Eksekutif Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Iskandar Andi Nuhung, mengusulkan agar pemerintah membangun industri hilir agar Indonesia tidak tergantung kepada ekspor minyak sawit. “Industri hilir sangat penting untuk meningkatkan penyerapan minyak sawit di dalam negeri.”

Selama ini, menurut Iskandar, konsumsi B-20 belum tinggi dikarenakan belum banyak digunakan industri.

Share This