The Palm Scribe

Sekolah Tutup dan Penerbangan Dibatalkan Akibat Kebakaran Hutan di Sumatra dan Kalimantan

Pihak berwenang di beberapa provinsi di Sumatera dan Kalimantan berjuang keras untuk mengendalikan kebakaran hutan yang telah mengamuk di wilayah yang sangat luas dalam tiga minggu terakhir yang menyebabkan sekolah tutup dan beberapa penerbangan dibatalkan.

Kebakaran hutan juga mengakibatkan infeksi pernafasan akut (ISPA) pada ribuan orang, sekaligus menyebabkan kualitas udara di negara tetangga, Malaysia dan Singapura, masuk ke level berbahaya. Banyak yang mulai membandingkan situasi ini dengan tahun 2015, ketika kebakaran lahan disebut-sebut telah melepaskan gas rumah kaca lebih banyak dibandingkan semua aktivitas ekonomi Amerika dalam periode yang sama, menurut keterangan World Resources Institute (WRI).

CNN Indonesia melaporkan bahwa seorang bayi berusia empat tahun di Palembang, Sumatra Selatan, meninggal karena infeksi pernapasan akut pada hari Minggu. Bayi yang bernama Elsa Pitaloka tersebut, menjalani perawatan di UGD rumah sakit Ar-Rasyid Palembang selama beberapa jam sebelum ia meninggal.

Kualitas udara di Palangkaraya menurut Air Visual pada 16/9.

Lilis Alice, seorang warga di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, mengatakan kepada BBC Indonesia, bahwa dia harus menutup semua ventilasi di rumahnya dalam dua minggu terakhir untuk menghindari tersedak asap.

“Saya merasa seperti hidup di atas awan. Di rumah selalu gelap, jadi saya harus menyalakan lampu mulai dari pagi hari,” kata Lilis seperti dikutip oleh BBC Indonesia.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan pemerintah telah menyegel 42 konsesi, termasuk lahan yang dimiliki oleh empat perusahaan kelapa sawit Malaysia dan satu perusahaan Singapura, karena menyebabkan kebakaran lahan dan hutan di Riau dan Kalimantan Barat.

Siti menyebut empat perusahaan Malaysia tersebut yaitu, Sime Indo Agro yang berbasis di Kalimantan Barat, yaitu unit dari Sime Darby Plantation Bhd; Sukses Karya Sawit, unit IOI Corp Bhd; Rafi Kamajaya Abadi, unit TDM Bhd; dan Adei Plantation and Industry yang berbasis di Riau, sebuah unit dari Kuala Lumpur Kepong Group.

Kabut asap juga telah menyebabkan saling tuding antara Indonesia dan Malaysia dalam seminggu terakhir ini.

Menteri Industri Primer Malaysia, Teresa Kok dalam sebuah pernyataan di Ho Chi Minh pekan lalu mengatakan bahwa pemeriksaan oleh kementeriannya menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Malaysia yang disebutkan, telah mematuhi dan mengadopsi praktik budidaya berkelanjutan seperti yang telah disyaratkan oleh beberapa organisasi sertifikasi dan nirlaba.

“Dari catatan kami, empat perusahaan Malaysia yang disebutkan termasuk perusahaan kelapa sawit yang paling dihormati. Mereka telah menjalankan dan mengadopsi praktik budidaya berkelanjutan bersertifikasi, baik melalui MSPO (sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia), RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), ISCC (Keberlanjutan Internasional dan Sertifikasi Karbon) ataupun kombinasi dari sertifikasi yang diakui oleh sistem internasional,” ujar Teresa Kok seperti dikutip oleh The New Strait Times.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Doni Monardo, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian terbang ke Riau pada hari Minggu untuk melihat kebakaran hutan dan lahan di sana.

Menurut mereka, pemadaman api dengan cara menjatuhkan bom air saja tidak akan cukup untuk area luas yang terkena dampak, sehingga sangat dibutuhkan hujan. Padahal musim hujan diperkirakan baru datang pada bulan Oktober dan modifikasi cuaca untuk membuat hujan buatan belum memungkinkan di beberapa daerah karena jumlah awan yang sedikit.

“Kami telah mengerahkan 42 helikopter untuk memadamkan kebakaran lahan gambut dengan dukungan dari sektor swasta, militer, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tetapi tidak menjamin bahwa kebakaran dapat dipadamkan,” kata Doni seperti dikutip oleh The Jakarta Post. Doni Monardo juga telah mendorong pemerintah daerah di provinsi yang terkena dampak asap untuk meningkatkan upaya dalam memerangi masalah tahunan tersebut.

Land use in Central Kalimantan 2019 according to Global Forest Watch fires

Data yang dihimpun oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa Riau dan Kalimantan Tengah telah mengalami peningkatan titik api dibandingkan dengan tahun 2015. Di Riau, terdeteksi 5.630 titik api pada 2019, lebih tinggi dari 4.965 dibandingkan dengan tahun 2015, sementara lonjakan juga terjadi di Kalimantan Tengah dengan 11.455 titik api tahun ini dibandingkan dengan 6.156 pada tahun 2015.

Menurut citra satelit Himawari-8 BMKG pada Sabtu sore, kabut asap telah melanda Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan dan Semenanjung Malaysia, Sarawak, dan Singapura. Ketua BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan catatan satelit menunjukkan bahwa asap telah melintasi batas negara dan masuk ke beberapa daerah di Malaysia dan Singapura.

Global Forest Watch Fires, sebuah platform online yang memantau kebakaran secara global menunjukkan bahwa Riau, provinsi yang paling parah dilanda kebakaran hutan di Sumatra, kebakaran di perkebunan kelapa sawit hanya menyumbang tujuh persen dari keseluruhan, dengan mayoritas terjadi di perkebunan kayu pulp, yaitu sebesar 30 persen. Sisanya berada di area logging, satu persen dan mayoritas di area non-konsesi.

Di provinsi Kalimantan Tengah, konsesi kelapa sawit menyumbang 14 persen kebakaran sementara mayoritas terbesar, yaitu 84 persen ditemukan di daerah non-konsesi. Data Global Forest Watch Fires juga menunjukkan bahwa 73 persen area kebakaran berada di lahan gambut.

Share This