The Palm Scribe

Sejumlah Pakar Inginkan Dampak Ekologis Semua Tanaman Penghasil Minyak Dinilai Secara Berimbang

Sebuah tim pakar internasional terkemuka menginginkan penilaian yang berimbang yang mencakup semua tanaman penghasil minyak, tidak hanya beberapa tanaman tertentu saja, untuk melihat dampak ekologis mereka. 

“Seringkali, bas yang sudah tertanam kuat dalam narasi kampanye kaum konservasionis mengaburkan konteks dimana tanaman itu dihasilkan, menjelek-jelekkan beberapa tanaman secara tidak adil sementara mengagungkan yang lain,” para pakar tersebut mengatakan dalam sebuah blog yang diunggah pada forestsnews.cifor.org. Mereka juga menambahkan bahwa penilaian yang komprehensif terhadap semua tanaman penghasil minyak memang diperlukan mengingat persaingan ketat antara permintaan pertanian dan konservasi keanekaragaman hayati.

Blog tersebut menyitir sebuah artikel di Nature Plants yang menjajaki akibat kelapa sawit terhadap lingkungan, dimana Erik Meijaard, Douglas Sheil dan David Gaveau – ilmuwan pada Center for International Forestry Research (CIFOR) – berargumentasi bahwa diperlukan perhatian khusus yang lebih banyak pada penelitian mengenai dampak dan tarik ulur berbagai tanaman penghasil minyak.

Artikel yang merupakan inisiatif Satuan Tugas Sawit IUCN, memperlihatkan bahwa akibat negatif sawit terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati sudah banyak diketahui, sementara untuk tanaman2 lainnya — seperti misalnya kelapa — lebih jarang dibicarakan, atau dalam beberapa kasus malah sama sekali tidak diketahui.

Saat ini, 175 juta ton minyak nabati dihasilkan setiap tahunnya dan produksi ini diperkirakan akan meningkat lebih dari 75 persen mencapai 307 juta ton di tahun 2050 agar dapat memenuhi permintaan yang ada.

“Orang memerlukan minyak dan lemak untuk dapat hidup,” ujar Meijaard, yang mengepalai satuan tugas dan juga merupakan direktur pelaksana dari perusahaan konsultasi konservasi Borneo Futures. “Jelas bila harus memilih antara lemak hewani dan minyak nabati, demi usaha keberlanjutan dan keragaman, minyak yang dihasilkan dari tanaman jauh lebih baik secara keseluruhannya.”

Yang tidak begitu diketahui orang adalah bahwa sawit memiliki kelebihan yaitu tingkat produktivitas per hektar yang jauh lebih tinggi daripada tanaman-tanaman saingan utamanya, ujarnya.

Minyak sawit, kedelai dan rapa memasok lebih dari 80 persen dari produksi minyak nabati dunia sementara minyak bunga matahari, kacang tanah, biji kapas, kelapa, jagung dan zaitun memasok sisanya. Keseluruhan tanaman penghasil minyak nabati ini — minyak yang juga digunakan sebagai bahan bakar, di kosmetik, produk rumah tangga dan kebutuhan industri — menutupi sekitar 30 persen dari lahan yang ditanami di dunia, blog tersebut mengatakan.

Sawit dan kelapa adalah penghasil minyak paling produktif di daerah tropis yang lembab, sementara tanaman penghasil minyak lainnya terutama tumbuh di daerah subtropis atau yang bermusim empat. Sawit juga dapat ditanam di daerah daerah dimana tanaman lainnya tidak dapat bertahan, seperti di lahan gambut atau lahan berpasir.

Walaupun manfaat ekonomis produksi sawit sudah jelas besar bagi penduduk setempat atau masyarakat adat yang hidup di hutan-hutan, terutama di daerah daerah dimana tidak banyak terdapat alternatif sumber pendapatan lainnya, budidaya sawit juga dianggap bertanggung jawab atas hilangnya hutan tropis alam yang luas. Budidayanya di lahan yang dulunya sering tergenang air, seperti di lahan gambut tropis juga dianggap merusak kemampuan tinggi dari lahan gambut untuk menyimpan karbon dan karenanya memperburuk pemanasan global.

“Bila anda hidup di sebuah tempat terpencil di Borneo, dimana daerah itu juga pada dasarnya tidak cocok bagi budidaya tanaman lainnya, sawit adalah pilihan yang jelas memberikan kesempatan untuk memperoleh pendapatan nyata,” ujar Sheil, yang juga anggota satuan tugas dan seorang profesor di Universitas dan Pusat Penelitian Wageningen di negeri Belanda.

“Sayangnya, banyak orang berpikir bahwa sah saja untuk merusak negara negara produsen minyak sawit — pengkritik ini cenderung ingin memperoleh kendali yang spesifik terhadap lahan di negara tropis dengan cara yang mereka tidak akan gunakan di negara mereka sendiri. Pendekatan seperti ini nampakna kontraproduktif,” ujar Sheil.

Walaupun hasil riset mengenai dampak ekspansi sawit ke dalam hutan dan keanekaragaman hayati berbeda-beda, satu survei yang dilakukan oleh para ilmuwan ini memperlihatkan bahwa antara tahun 1972 dan 2015, sekitar 46 persen perkebunan baru dibuka dalam kawasan hutan.

Beberapa dokumen dari Perserikatan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memperlihatkan bahwa lebih dari 300 jenis hewan terancam oleh budidaya sawit, demikian blog itu mengatakan. Namun blog itu juga menambahkan bahwa daftar hewan yang terancam ini belum lengkap karena  dampak tanaman penghasil minyak lainnya terhadap hutan dan keanekaragaman hayati belum terpetakan.

Para ilmuwan ini mengatakan riset mengenai keanekaragaman hayati jauh lebih banyak dilakukan terhadap tanaman keras seperti sawit, kelapa dan zaitun dibandingkan terhadap tanaman musiman seperti kedelai, bunga matahari maupun rapa.

“Diperlukan informasi yang lebih baik mengenai semua tanaman, bagaimana mereka dibudidayakan, dan bagaimana ekspansinya telah mempengaruhi atau dapat mempengaruhi ekosistem alami dan setengah alami serta keanekaragaman hayati,” ujar Meijaard.

Walaupun masih dibutuhkan lebih banyak lagi riset mengenai dampak lingkungan semua tanaman penghasil minyak, para ilmuwan merekomendasikan bahwa solusi terbaiknya adalah “strategi penghematan lahan” yang memaksimalkan produksi pertanian di atas lahan sekecil mungkin dan dengan demikian memungkinkan penggunaan lahan yang lebih luas untuk konservasi keanekaragaman hayati.

Untuk dapat memenuhi pertumbuhan permintaan akan minyak sawit tetapi secara bebas deforestasi dan untuk memenuhi target iklim, permintaan konsumen mengenai keberlanjutan dan tujuan pembangunan internasional,  kuncinya adalah pada peningkatan hasil panen di daerah-daerah produksi, penanaman di daerah yang sudah terdeforestasi dan ekosistem terbuka yang sudah terdegradasi seperti lahan penggembalaan, selain juga strategi penggunaan lahan bersama dengan mengembangkan sistem agroforestri, para ilmuwan tersebut mengatakan.

“Sawit dengan rendemen yang tinggi membutuhkan lebih sedikit lahan untuk dapat memenuhi permintaan, tetapi meminimalkan dampak keseluruhan dari semua tanaman penghasil minyak akan membutuhkan evaluasi dari distribusi dampaknya di masa lalu, sekarang dan yang diperkirakan, serta peninjauan dari hasilnya, perdagangan globalnya serta penggunaannya,” ujar Meijaard. “Sampai lebih banyak detail dapat diketahui, perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan yang lebih baik bagi semua tanaman penghasil minyak harus ditunda dulu.”

Informasi yang lebih banyak mengenai sawit dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya sebagian disebabkan oleh kontroversi yang menyelimuti pertumbuhan cepat dan luas skala produksinya. Fokusnya pada sawit karena pertumbuhan luas perkebunannya yang cepat, yang seringkali menggusur hutan hujan tropis yang kaya keanekaragaman hayati. Kebanyakan tanaman lainnya berekspansi secara lebih perlahan dan di tempat-tempat dimana fokus terhadap konservasi lebih sedikit, kata Sheil.

Selain riset lebih lanjut terhadap semua tanaman penghasil minyak, penyelidikan juga diperlukan untuk melihat apakah produksi minyak memang benar benar harus ditingkatkan, ujar Gaveau, yang juga merupakan anggota satuan tugas IUCN mengenai sawit.

“Proyeksi bahwa permintaan global akan minyak nabati harus meningkat tidak mempertimbangkan limbah makanan,” ujarnya. “Kita membutuhkan lemak dan minyak untuk dapat bertahan hidup dan sehat, namun di Amerika Serikat saja, kementerian pertaniannya memperkirakan bahwa sekitar 30 sampai 40 persen dari semua bahan makanan akhirnya terbuang begitu saja.”

Penggunan minyak nabati untuk produk non-pangan dan untuk biofuel juga merupakan ranah yang akan diteliti oleh para ilmuwan

“Mengejar pertumbuhan tanpa batas di sebuah planet yang terbatas, merupakan bunuh diri,” ujar Gaveau. “Kta harus diversifikasi, untuk mengurangi ketergantungan kita akan pertanian industrial. Hal ini berarti mengurangi pola konsumsi kita dan mengembangkan ekonomi yang sirkuler, yang mempertimbangkan semua aspek produksi maupun kegunaan akhir dari produk agar tercapai keberlanjutan.”

Baca lebih banyak tulisan oleh Bhimanto Suwastoyo.
Industri perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This