The Palm Scribe

Sawit Watch : UU Cipta Karya Memperburuk Kondisi Pekerja Sawit Wanita

Foto: Sawit Watch

Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan awal Oktober tidak saja memperlemah perlindungan bagi buruh tetapi juga akan memperburuk kondisi kerja bagi para buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit,  pegiat lingkungan mengatakan.

“Sebagian besar buruh perempuan di perkebunan sawit bekerja tanpa mendapatkan hak-hak permanen sebagai buruh, tanpa kepastian kerja, tanpa kepastian upah, dokumentasi perikatan kerja dan tanpa perlindungan kesehatan memadai. UU Cipta Kerja akan menempatkan kondisi buruh perempuan semakin rentan. Kami dengan tegas menolak UU Cipta Kerja,“ ujar Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch.

Inda mengatakan bahwa UU Cipta Kerja memberi legitimasi atas status hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Terbatas (PKWT) jadi tidak terbatas dan dengan demikian menghilangkan kepastian kerja. UU ini akan melegitimasi praktik pemanfaatan buruh dengan hubungan kerja rentan khususnya di bidang pemupukan & penyemprotan yang sebagian besar adalah perempuan dan berstatus Buruh harian lepas tanpa kepastian kerja dan rentan mengalami pemutusan hubungan kerja.

“Omnibus Law Cipta Kerja juga memperluas outsourcing. Sawit Watch menemukan bahwa buruh perempuan merupakan kelompok buruh yang sering dipekerjakan melalui pihak ketiga tanpa kepastian kerja dan kejelasan hak-hak normatif. Kebijakan ini berpotensi besar menghilangkan hak atas pekerjaan tetap bagi buruh perempuan dan selanjutnya menghilangkan jaminan kesehatan buruh perempuan,” imbuhnya.

Kalangan masyarakat sipil, melihat UU Cipta Kerja ini akan menghilangkan kepastian kerja, kepastian upah, kepastian perlindungan sosial dan kesehatan dan banyak yang telah menyatakan keberatan mereka atas isi UU tersebut, diantaranya penghapusan UMK, hubungan kerja PKWT, perluasan outsourcing, pengupahan berdasarkan satuan waktu dan hasil, penurunan besaran pesangon dan sebagainya. 

Hotler “Zidane” Pasaoran, spesialis perburuhan Sawit Watch menyampaikan penetapan upah berdasarkan satuan waktu atau satuan hasil berpotensi melanggengkan praktik pemanfaatan buruh tak berbayar di perkebunan sawit. 

“Penetapan upah berdasarkan satuan hasil selama ini sudah banyak dikritik oleh serikat buruh. Ada kondisi tertentu dimana buruh tidak mampu mencapai hasil tertentu dan ini berpotensi menyebabkan upah mereka berkurang. Situasi seperti ini mengakibatkan tidak ada jaminan kepastian upah yang diterima,” ujar Zidane.

Ia mengatakan kebijakan ini berpotensi menyebabkan buruh bekerja melebihi jam kerja atau melibatkan istri untuk pencapaian hasil. “Perempuan kemudian harus ikut bekerja tanpa dibayar untuk memastikan upah yang diterima,” kata Zidane. 

Inda menyatakan pemerintah mestinya menetapkan kebijakan perburuhan yang menjamin kepastian kerja, kepastian upah layak dan kepastian jaminan sosial kesehatan bagi buruh perempuan. 

Baca lebih banyak tulisan oleh Bhimanto Suwastoyo.
Industri kehutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This