Sawit Watch pada Hari Rabu menyambut keluarnya Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) namun menekankan bahwa jauh lebih penting dari peraturan ini adalah memberikan batasan waktu bagi perusahaan sawit untuk memperoleh sertifikasi tersebut serta penegakan hukum yang lebih tegas bagi yang melalaikannya.
“Jika pemerintah menilai bahwa sertifikasi ISPO merupakan hal yang penting, maka pemerintah perlu menetapkan target pencapaian sertifikasi ISPO dengan memberikan batasan waktu atau deadline bagi perusahaan sawit dalam memperoleh sertifikasi ISPO. Hal ini juga disertai dengan sanksi yang lebih tegas misalnya dengan pencabutan izin atau konsekuensi yang lebih berat lainnya, jangan hanya sebatas sanksi administrasi seperti yang tertera dalam Perpres ini,” tutur Inda Fatinaware Direktur Eksekutif Sawit Watch.
Pada tahun 2015 Pemerintah sudah menetapkan kewajiban bagi semua perusahaan sawit, swasta maupun milik negara untuk memperoleh sertifikasi ISPO, namun hingga Desember 2019 ISPO baru menerbitkan 621 sertifikat — 607 perusahaan, 10 koperasi swadaya, dan 4 koperasi unit desa plasma dengan total lahan mencapai 5,45 juta hektar. Selama ini petani kecil, swadaya maupun plasma, yang mengelola lebih dari 40 persen perkebunan sawit di Indonesia masih belum diwajibkan memperoleh sertifikasi ini namun dalam perpres ini mereka kini juga diwajibkan bersertifikasi.
“Sertifikasi ISPO menurut kami bukanlah sebuah inovasi dalam upaya perbaikan tata kelola perkebunan sawit yang total luasannya kini telah mencapai 22,2 jt ha di Indonesia serta jumlah konflik di perkebunan sawit yang telah mencapai 822 kasus. Basis utama dari sistem sertifikasi ISPO adalah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang harus dijalankan oleh perusahaan sawit. Jika implementasi kebijakan dan penegakan hukum ini telah berjalan dengan baik, maka pelaksanaan ISPO menjadi kurang relevan,” ujar Inda.
Inda, yang dikutip dalam sebuah siaran pers Sawit Watch yang dikirimkan kepada The Palm Scribe, juga mengatakan bahwa Perpres memang telah mengakui keberadaan buruh perkebunan sawit dan menjadikan mereka pertimbangan didalamnya.
“Namun sayangnya Kementerian Ketenagakerjaan RI tidak ditempatkan menjadi pihak yang penting dalam Perpres ini, hal tersebut tercermin pada kealpa-an Kementerian Ketenagakerjaan dalam jajaran Dewan Pengarah ISPO,” Inda mengatakan dengan menambahkan bahwa pemerintah seharusnya lebih serius menempatkan posisi perkebunan sawit sebagai pihak yang strategis dalam Perpres ini, karena hampir 10 juta jiwa penduduk yang berprofesi sebagai buruh sawit dan menggantungkan hidupnya pada sektor ini.
Dalam Perpres ini tertuang ajakan para pihak untuk turut serta dalam penyelenggaraan sertifikasi dengan memberikan masukan, penyampaian penyimpangan atau penyalahgunaan serta update informasi terkini, namun Inda mengatakan tidak dijelaskan secara detail bagaimana proses dan peran keterlibatan masyarakat atau publik di dalamnya. Ia pun mengharapkan bahwa siapapun dari kalangan masyarakat sipil yang mendapatkan peluang terlibat dalam unsur keanggotan Komite ISPO haruslah yang sangat paham kondisi lapang, dan mengedepankan hak-hak masyarakat kecil seperti petani dan buruh sawit.
Sawit Watch, menurut Inda juga menyoroti persoalan transparansi yang tidak begitu di elaborasi dalam Perpres ini. Unsur-unsur keterbukaan informasi kepada publik terhadap proses-proses sertifikasi yang berjalan serta hasil sertifikasinya masih sangat terbatas. Sehingga peran publik dan kelompok masyarakat sipil dalam memastikan kebijakan ini berjalan efektif atau tidaknya akan sangat minim.
Pada tanggal 13 Maret 2020, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, selanjutnya disebut Perpres tentang Sistem Sertifikasi ISPO, dan Perpres ini telah diundangkan pada tanggal 16 Maret 2020.
Ruang lingkup yang diatur dalam kebijakan ini diantaranya berkenaan dengan sertifikasi ISPO, kelembagaan, keberterimaan oleh pasar, daya saing, peran serta, pembinaan dan pengawasan, serta sanksi.