Pemerintah mengatakan luasan perkebunan sawit di Indonesia berada di sekitar 14 juta hektar, meski demikian, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sawit Watch menemukan bahwa langka sebenarnya sudah melebihi 21 juta hektar, hal ini diutarakan direktur eksekutif Sawit Watch, Andi Inda Fatinaware.
Dalam paparannya pada Lokakarya Menuju Perbaikan Tata Kelola Perkebunan Sawit di Jakarta pada hari Senin (13/8), Fatinaware mengatakan bahwa hasil pemetaaan izin-izin oleh Sawit Watch menemukan bahwa luas perkebunan sawit berada pada 21,025,336.95 hektar, termasuk yang HGU, non-HGU maupun yang liar, tanpa izin.

Petani dengan luas kebun yang kecil merupakan pemilik dari 35 persen perkebunan tersebut sedangkan negara, melalui badan usaha milik negaranya, memiliki 10 persen lagi. Sisanya berada di tangan pengusaha dan pemodal besar serta korporasi.
“Ini sudah menggambarkan ketimpangan struktur penguasaan tanah dalam industri sawit,” ujar Fatinaware.
Sementara 35 persen dari luasan total perkebunan sawit menghidupi sekitar tiga juta keluarga, 55 persen lainnya dikuasai oleh hanya sekitar 30 kelompok bisnis, tambahnya.
“Ketimpangan ini melahirkan berbagai konflik,” ujar Fatinaware, dengan menyebutkan konflik lahan maupun sosial. Ia juga mengatakan bahwa ketimpangan kepemilikan lahan dalam industri sawit ini juga sebenarnya melanggar konstitusi yang menjamin keadilan sosial serta kehidupan berbangsa yang merdeka dan nyaman.
Fatinaware menegaskan bahwa baik dirinya maupun Sawit Watch tidak anti sawit, namun menginginkan sawit yang di budidayakan secara berkesinambungan. Ia mengatakan bahwa untuk menyelesaikan ketimpangan ini diperlukan pelaksanaan perintah Undang Undang Agraria atau memberlakukan reforma agraria.
Namun, untuk itu juga diperlukan moratorium pemberian izin perkebunan baru, katanya, dengan menambankan bawa “tak bisa reforma agraria diselesaikan sementara izin baru terus muncul.”
Moratorium juga harus berjalan paralel dengan revisi perizinan yang sudah ada.
Fatinaware menambahkan bahwa momentum untuk menegaskan moratorium ini seharunya menggunakanmomentum tahun politik yang mendahului pemilihan presiden di tahun 2019. Harusnya pemerintah menggunakan kesempatan tahun politik itu untuk mendorong moratorium, sesuatu yang tidak disukai dunia usaha dan menghadapi resistensi dari pihak ini.
“Ini tahun politik, seharusnya ini (moratorium) menjadi agenda politik,” ujarnya.
Pemerintah yang ada sekarang ini seharunya mampu meletakkan pondasi untuk melakukan perbaikan tata kelola di industri sawit ini dengan mengeluarkan kebijakannya.
“Harus dijadikan momentum di masa akhir periode ini, harus meletakkan pondasinya.”
Presiden Joko Widodo sudah pada bulan April 2016 mengutarakan rencana mengeluarkan kebijakan menghentikan sementara (moratorium) pengeluaran izin perkebunan sawit dan batubara, dua industri yang sering disebutkan sebagai biang deforestasi serta kerusakan lingkungan. Namun rencana tersebut hingga kini masih menjadi rencana dan belum ada kelanjutan hukumnya.
Menurut rencana tersebut, moratorium itu akan berlaku untuk tenggang waktu tiga tahun.