Lembaga advokasi Sawit Watch mengatakan eksploitasi buruh tetap terjadi di beberapa perkebunan sawit milik Sinar Mas, sementara perusahaan menjawab dibutuhkan waktu untuk membereskan rumitnya permasalahan di lapangan dan keadaan disanapun tak sesederhana maupun seburuk yang digambarkan.

Sawit Watch dalam mengumumkan hasil penelitian yang dilakukannya bersama Asia Monitor Resource Center (AMRC) atas keadaan perburuhan di dua perkebunan sawit yang dikelola anak perusahaan Golden Agri Resources (GAR) dari group Sinar Mas di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, mengatakan bahwa masih ditemukan pelanggaran yang serius terhadap hak asasi manusia dan hak hak buruh.
“Perlanggaran terhadap hak dasar perburuhan terjadi meskipun kedua anak perusahaan GAR tersebut merupakan pemegang sertifikat RSPO,” demikian kesimpulan laporan penelitian tersebut mengatakan dengan merujuk kepada sertifikat keberlanjutan yang dikeluarkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
“Ada enam temuan kunci,” ujar Abu Mufakhir, editor dari laporan hasil penelitian tersebu, menyangkut apa yang disebutnya sebagai pelanggaran.
Ia menyebut sistem kerja yang tidak adil, masalah kesehatan dan keselamatan kerja, upah murah, kondisi hidup yang buruk, diskriminasi gender dan perusahaan menyembunyikan buruh ketika ada kunjungan auditor keberlanjutan.
Penelitian dilakukan selama tiga bulan antara September dan November 2017 di dua perkebunan yang dikelola PT Tapian Nadenggan dan PT Mitra Karya Agroindo. Mufakhir mengatakan sejumlah 49 buruh yang kebanyakan buruh lepas di kedua perkebunan itu, di wawancara dalam penelitian tersebut.
Agus Purnomo, Managing Director Sustainability dan Strategic Stakeholders Engagement GAR mengatakan dalam kesempatan yang sama bahwa perusahaan memiliki kebijakan dalam hubungan kerja maupun industrial yang sudah diterapkan sejak 2015 .
Kebijakan itu menurutnya, menekankan “ketenagaakerjaan yang bertanggung jawab.”
“Dalam usaha untuk memperbaiki pengelolaan tenaga kerja, kami sudah mengundang ahli perburuhan untuk melakukan evaluasi dan rekomendasi,” ujar Purnomo dengan menambahkan bahwa proses perbaikan pengelolaan masih berjalan dan memerlukan waktu karena kerumitan yang harus dihadapi.
Menanggapi pernyataan Hotler “Zidane” Parsaoran, spesialis buruh pada Sawit Watch, bahwa kedua perusahaan itu banyak mempekerjakan buruh lepas, yang kebanyakan perempuan dan dibayar murah, meskipun banyak diantara mereka sudah bekerja dengan status tersebut bertahun-tahun, Purnomo mengatakan perusahaan sudah sejak kwartal pertama 2017, sebelum penelitian berjalan, melakukan pengalihan buruh lepas harian menjadi karyawan tetap.
Pada bulan November 2017 jumlah buruh tetap berada pada angka 1.850 sementara buruh lepas harian dan tujuh bulan kemudian, di bulan Juni 2018, angka-angka tersebut sudah berubah menjadi 3,196 dan 1,054.
“Mengalihkan semua buruh lepas menjadi buruh tetap bisa membawa dampak yang berat bagi masyarakat lokal. Kami bisa lakukan itu, tetapi tak bisa semua yang part time dijadikan buruh tetap,” ujar Purnomo.
Ia mengatakan kebanyakan buruh lepas adalah perempuan karena mereka membutuhkan penghasilan tambahan namun juga waktu untuk mengurus keluarga mereka sehingga bekerja part time untuk kebun merupakan solusinya.
Ia juga menambahkan bahwa buruh lepas harian memiliki kemungkinan untuk bekerja di lebih dari satu perkebunan karena fleksibilitas waktunya dan kadangkala dapat memetik penghasilan yang lebih besar dari buruh tetap.
Retno Pratiwi kasubdit persyaratan kerja Kementrian Tenaga kerja mengatakan pada kesempatan yang sama bahwa perundangan yang ada masih memperbolehkan penggunaan tenaga buruh lepas untuk berbagai keadaan, termasuk untuk musiman, produk baru dan pekerjaan yang sekali selesai.
“Namun Undang undang ketenaga kerjaan itu meminta perusahaan memberikan fasilitas kesejahteraan bagi pekerjanya,” demikan Pratiwi.
Zidane sebelumnya mengatakan adanya diskriminasi dalam fasilitas dan pelayanan yang diterima antara buruh tetap dan buruh lepas harian. Buruh lepas tidak memperoleh akses kepada fasilitas kesehatan misalnya menurut Zidane.
Dalam hal kesehatan dan keselamatan kerja, Zidane juga mengatakan adanya penggunaan zat berbahaya sebagai pestisida dan banyak buruh penyemprot pestisida tersebut menderita sakit akibat keterpaparan tanpa alat pelindung diri yang memadai. Perusahaan menurutnya, juga tidak memberikan pelatihan terkait penggunaan bahan kimia yang digunakan.
Purnomo mengatakan bahwa alat pelindung diri sebenarnya sudah diberikan oleh perusahaan namun sulit untuk memastikan bahwa buruh selalu memakainya dilapangan.
Mufakhir berpendapat bahwa alat pelindung diri itu aspek terakhir dalam perlindungan buruh dari dampak penggunaan zat kimia berbahaya. “Perlu diingat bahwa yang paling penting itu penghindaran pemakaian zat berbahaya, kalau tidak bisa, disubstitusi,” kata Mufakhir.
Mengenai tuduhan upah rendah bagi buruh kebun Purnomo mengatakan upah buruh tetap bulanan memenuhi upah minimum setempat, sementara buruh lepas, walaupun bila dihitung per bulan upah mereka berada dibawah upah minimum bulanan, namun bila dihitung per hari, upah mereka memenuhi upah minimum harian.
Pratiwi menekankan bahwa upah minimum itu hanyalah batasan terbawah dan sebaiknya perusahan memberikan upah diatas batasan tersebut.
Purnomo mengakui bahwa kondisi air di area perumahan perkebunan yang dikatakan Zidane dan Mifakhir sebagai kotor dan tidak layak, memang mungkin demikian namun menambahkan bahwa ketika perusahaan dalam keadaan merugi seperti masa sekarang ini, ketika harga sawit dunia lemah, sulit untuk mengeluarkan investasi untuk memperbaiki hal ini.
Baik Zidane maupun Mufakhir juga mengatakan bahwa ada praktik dilapangan dimana perusahaan menyembunyikan buruh lepas harian dari audit RSPO sehingga badan tersebut tidak efektif dalam menggambarkan apa yang terjadi di lapangan.
Purnomo berjanji akan menyelidiki hal ini dilapangan sementara Direktur RSPO Indonesia, Tiur Rumondang, mengatakan audit lapangan berbeda dan jauh lebih rumit dari audit yang dilakukan dari meja di kantor.
“Kami juga menyadari keterbatasan proses audit dibanding research seperti ini, karena itu kami membuka diri terhadap informasi eksternal,” ujar Riumondang.,
Menurut Mufakhir, salah satu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa: “Sinar Mas/GAR tak cukup efektif dalam mengidentifikasi, mencegah dan mengurangi pelanggaran HAM di wilayah kerjanya.”
Menurut Purnomo membangun kultur kebun yang humanis dan berkelanjutan menjadi kunci untuk menjamin keberlangsungan produksi namun ia juga menambahkan bahwa diperlukan waktu untuk dapat merubah mindset budaya yang ada.