Intruksi Presiden No. 6 Tahun 2019 yang baru saja dikeluarkan Presiden Joko Widodo berkenaan dengan pengelolaan industri minyak sawit yang berkelanjutan Tahun 2019 – 2024 (RAN KSB) belum menyentuh akar persoalan industri sawit seperti tantangan yang dihadapi petani sawit serta konflik agrarian di perkebunan sawit, Sawit Watch mengatakan.
“Berdasarkan hasil analisis kami, masih banyak akar persoalan di industri sawit yang belum disentuh melalui kebijakan ini. Seperti persoalan petani sawit dan konflik agraria di perkebunan sawit. Padahal untuk mewujudkan suatu perkebunan sawit yang berkelanjutan atau lestari haruslah dapat menyelesaikan berbagai persoalan mendasar di dalamnya,” Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware mengatakan dalam sebuah siaran pers.
Inpres yang berisi tentang lima mandat utama yang diinstruksikan kepada dua belas penerima mandat untuk dapat dijalankan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing, menurut Inda, juga cenderung kepada proses pemutihan terhadap kawasan hutan yang sudah menjadi perkebunan sawit.
“Kami juga menemukan adanya indikasi untuk mengarahkan kepada proses pemutihan terhadap kawasan hutan yang sudah menjadi perkebunan sawit karena perkebunan sawit di kawasan hutan yang dikuasai oleh perusahaan sebesar 65%, tidak disentuh oleh inpres ini.” Ujarnya.
Inda mengatakan bahwa bila tidak ada perubahan dalam implementasi, dikhawatirkan akan menjadi seperti Inpres Moratorium dan Evaluasi Sawit yang tidak signifkan hasilnya.
“Semoga tidak demikian. Selain itu praktek pola satu manajemen yang diimplementasikan saat ini masih banyak menimbulkan permasalahan bagi petani,” imbuhnya.
Sementara itu Hotler “Zidane” Pasaoran, spesialis perburuhan Sawit Watch yang juga Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS) menyampaikan bahwa Inpres ini sama sekali tidak menyentuh isu perburuhan.
Ia mengatakan bahwa persoalan mendasar buruh seperti hubungan kerja, kebebasan berserikat, pengupahan, jaminan kesehatan, sama sekali tidak disebutkan dalam inpres perkebunan sawit berkelanjutan ini. Koalisi Buruh Sawit sudah menyampaikan lembar fakta kondisi buruh perkebunan sawit, dan seharusnya lembar fakta tersebut menjadi salah satu acuan dalam melihat persoalan di perkebunan sawit, kata Zidane.
“Kami melihat pemerintah gagal dalam melihat siapa saja stakeholder dalam industri sawit. Buruh perkebunan sawit merupakan salah satu aktor penting penggerak industri ini. Kondisi buruk buruh perkebunan sawit di Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah dan upaya perbaikan tertuang dalam inpres ini,” tambah Zidane.
Inpres yang ditanda tangani Presiden pada tanggal 22 November 2019 ini dimaksudkan untuk memperbaiki kapasitas dan kemampuan petani, untuk finalisasi status dan legalitas lahan, meningkatkan diplomasi kelapa sawit berkelanjutan serta untuk mempercepat implementasi standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).