“Perluasan sektor pekerjaan alih daya sebagaimana usulan pengusaha hanya memperpanjang kerentanan buruh perempuan di perkebunan sawit. Perempuan buruh harian lepas selamanya tidak akan pernah menjadi buruh tetap. Kami melihat perluasan sektor pekerjaan alih daya ini melegitimasi diskriminasi terhadap buruh perempuan, melegitimasi pelanggaran atas hak pekerjaan tetap bagi buruh perempuan” ujar Hotler “Zidane” Pasaoran, spesialis Perburuhan Sawit Watch dalam sebuah rilis media yang diterima The Palm Scribe Senin (9/9).
Selain perluasan sektor pekerjaan alih daya, Sawit Watch juga mencatat beberapa poin revisi lainnya yang diusulkan pengusaha, seperti penetapan kenaikan upah setiap dua tahun, ketentuan besar pesangon, dan ketentuan masa kerja kontrak.
Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan bahwa saat ini terjadi eksploitasi terhadap buruh perempuan di sektor kelapa sawit, dalam wujud hubungan kerja prekariat. “Buruh perempuan di perkebunan sawit berada dalam kondisi ketiadaan jaminan pekerjaan tetap, mayoritas berstatus harian lepas atau borongan, tanpa perlindungan dari kecelakaan kerja atau sakit yang diakibatkan pekerjaan, pemberian target kerja yang tidak manusiawi, penyelewengan status kerja dan praktik upah di bawah ketentuan”, kata Inda dalam rilis yang sama.
Zidane mengatakan bahwa buruh harian lepas di perkebunan sawit mayoritas adalah perempuan, sebagian besar merupakan istri buruh dan masyarakat sekitar perkebunan. Ia menambahkan bahwa buruh perempuan dipekerjakan untuk melakukan penyemprotan, pemupukan, pembersihan areal, mengambil berondolan, dan pekerjaan lainnya yang ironisnya tidak dianggap sebagai pekerjaan inti di perkebunan sawit.
“Mereka dipekerjakan tanpa perjanjian kerja, tidak tercatat resmi di disnaker setempat. Hubungan kerja semacam ini berlangsung lama hingga puluhan tahun, tapi mereka sewaktu-waktu bisa diberhentikan tanpa kompensasi apapun”, kata Zidane.
Beberapa eksekutif perusahaan perkebunan kelapa sawit sudah beberapa kali menekankan bahwa seringkali para pekerja perempuan yang tidak menginginkan statusnya ditingkatkan menjadi pekerja tetap, karena mereka memiliki waktu terbatas dengan kewajiban mereka untuk mengurus keluarga. Buruh perempuan, kata mereka, membutuhkan fleksibilitas waktu.
Namun Zidane mengesampingkan dalih tersebut dengan mengatakan bahwa hubungan kerja yang permanen tidaklah membuat perempuan jadi kekurangan waktu untuk mengurus keluarga. UU ketenagakerjaan mengakomodasi buruh tidak masuk kerja karena ada urusan keluarga atau urusan sosial, tapi tetap menerima upah.
“Persoalannya apakah aturan itu dipatuhi oleh perusahaan? Justru seharusnya perusahaan memberikan ruang yang besar bagi buruh perempuan untuk dapat menjalankan tugasnya di keluarga,” pungkasnya.
Ia mencontohkan di Musi Rawas, Sumatra Selatan, terdapat sekitar 1.200 orang buruh harian lepas perkebunan kelapa sawit yang dipekerjakan oleh pihak ketiga sementara di Labuhan batu Sumatra Utara, ratusan buruh perempuan berstatus harian lepas di perkebunan sawit.
“Justru mereka sangat menginginkan hubungan kerja yang permanen dengan segala hak-hak normatifnya seperti tempat penitipan anak, ruang laktasi, jaminan kesehatan reproduksi dan sebagainya,” ujar Zidane
Inda mengatakan bahwa perempuan adalah pihak yang paling dirugikan dengan perluasan sektor pekerjaan alih daya dan akibatnya adalah akan semakin meningkatkan jumlah buruh perempuan prekariat.
“Silahkan pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan tanpa menghilangkan jaminan atas kepastian kerja, upah layak, perlindungan atas keselamatan kerja, serta jaminan sosial dan kesehatan,” ujarnya.
Inda menekankan bahwa kelapa sawit telah memberikan kontribusi besar bagi negara dan menyerap lebih dari 10 juta tenaga kerja, karenanya pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan perlindungan buruh perkebunan sawit, bukan hanya mengakomodasi usulan pengusaha yang memberatkan buruh.