The Palm Scribe

Sawit Berkelanjutan: Kepentingan Siapa?

Pegiat lingkungan, dan terakhir Uni Eropa, sangat gencar menyerang industri kelapa sawit. Berbagai macam alasan dikemukakan; termasuk kurang berkelanjutan, mengakibatkan deforestasi, penanaman di lahan gambut, eksploitasi buruh, penggusuran, serta perusakan habitat berbagai hewan liar.

Apa yang dilakukan Indonesia kemudian? Biasanya akan langsung membantah. Atau balik menyerang penuduh dengan tuduhan konspirasi atau mentalitas kolonialis, bahkan menjalankan standar ganda.

Hasilnya: Indonesia nampak defensif, untuk kemudian terlihat agresif. Kedua kesan ini tidak menguntungkan Indonesia maupun industri kelapa sawit, terutama di mata dunia. Seharusnya, Indonesia dan para pemain di sektor kelapa sawit berusaha untuk mengubah narasi yang terkait kelapa sawit di dunia.

Industri kelapa sawit Indonesia, terutama sektor korporasinya, sebenarnya pantas membanggakan fakta bahwa mereka telah melangkah jauh di bidang keberlanjutan. Walaupun memang masih banyak kekurangan, tidak ada industri lain yang bisa melakukan perubahan pola pikir dalam waktu sekitar satu dasawarsa saja.

Saat-saat terburuk kelapa sawit adalah di tahun 1980an, juga di awal dasawarsa berikutnya. Seperti anak remaja yang tiba-tiba diberikan kebebasan penuh untuk mengakses sumber daya alam, industri kelapa sawit Indonesia berpesta pora dengan bebas hampir tanpa pengawasan, dengan cepat meluaskan cengkeramannya, sehingga menyebabkan terjadinya deforestasi besar besaran.

Namun, anak remaja itu kini sudah tumbuh menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab. Gaung keberlanjutan sudah mencapai ruang rapat direksi dan juga mulai merasuki tingkat akar rumput. Para pemain industri ini sudah mulai menyadari bahwa kelapa sawit merupakan industri yang paling diamati di dunia, dan karenanya sudah mulai merespon dengan mutu pelaporan standar yang tinggi, green dashboard atau penganggaran hijau yang dapat diakses oleh publik, bahkan diaudit oleh pakar lingkungan yang handal.

Indonesia juga telah menerbitkan undang-undang yang mewajibkan para produsen kelapa sawit di Indonesia untuk memperoleh sertifikasi keberlanjutan dari Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Kebanyakan produsen besar juga mencari sertifikasi keberlanjutan tambahan, seperti dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sebuah standar yang lebih diakui secara internasional. Sebagai perbandingan, budidaya kedelai yang membutuhkan sampai tujuh kali luasan lahan untuk menghasilkan minyak sebanyak yang dihasilkan kelapa sawit dan yang kini juga merupakan salah satu penyebab utama deforestasi di Amerika Selatan, tidak memiliki sertifikasi keberlanjutan seperti yang diwajibkan dalam industri kelapa sawit.

Perusahaan kelapa sawit di Indonesia kini tidak saja mengikuti praktik yang berkelanjutan, tetapi teknologi mutakhir seperti penginderaan satelit, Lidar dan foto dengan menggunakan drone yang membuat segala kegiatan mereka dapat dipantau oleh siapa saja di dunia, juga dapat digunakan untuk membuktikan keberlanjutan mereka, termasuk untuk menjawab tuduhan.

Tentu saja, petani kecil sawit di Indonesia, yang kini menyumbangkan sekitar 40 persen produksi nasional, kebanyakan belum mengikuti praktek keberlanjutan, tetapi sudah ada usaha untuk membantu mereka mengubah kebiasaan ini. Pemerintah mencoba membantu mereka meningkatkan produktivitas sambil mencoba mengatasi tantangan-tantangan utama yang dihadapi oleh petani. Badan-badan sertifikasi juga menyesuaikan kriteria keberlanjutan mereka agar dapat menarik para petani kecil ini menjadi berbudidaya secara berkelanjutan sementara pemangku kepentingan lainnya berusaha menemukan cara untuk memungkinkan petani kecil ini untuk menjalankan praktek budidaya yang terbaik.

Jadi, dengan segala hal positif yang terjadi di industri kelapa sawit di Indonesia ini, mengapa Indonesia terus saja kembali kepada kebiasaannya untuk selalu defensif atau agresif bila menghadapi kritik.

Sebuah penjelasan yang bisa diterima adalah: para pemain kelapa sawit di Indonesia ini memang memperlihatkan “seolah-olah” mereka menjalankan praktek berkelanjutan, padahal sebenarnya, jauh di dalam hati sanubari, mereka mungkin menganggap bahwa keberlanjutan adalah suatu hal yang dipaksakan oleh orang lain kepada mereka.

Keberlanjutan mungkin sesuatu yang tidak mereka percayai sepenuhnya, namun terpaksa mereka jalankan. Atau mungkin juga mereka belum sepenuhnya memahami sebab dan akibatnya, sehingga mereka belum mampu mengubah narasi global yang hanya menekankan apa yang gagal mereka penuhi dalam keberlanjutan.

Bila kita belum bisa sepenuhnya percaya bahwa keberlanjutan itu menguntungkan, atau bahkan sangat penting bagi masa depan kita, maka keberlanjutan hanya akan menjadi sebuah jargon, baju yang kita pakai untuk sekedar menjaga penampilan. Bila kita benar-benar ingin mencapai keberlanjutan, seharusnya didasari oleh tekad bahwa hal ini adalah demi kepentingan kita sendiri, bukan kepentingan orang lain.

Pengaruh pandangan secara mendasar mengenai keberlanjutan, baik pada ucapan maupun tindakan, sangatlah besar. Mungkinkah sebaiknya, industri kelapa sawit Indonesia beristirahat sejenak dari segala daya upaya untuk mempertahankan diri dan menyerang balik para pengkritik, untuk memikirkan kembali apa sebenarnya yang mendasari segala usaha pencapaian keberlanjutan tersebut.

Share This