Artikel ini pertama kali terbit di The Forest Scribe, yang juga termasuk kelompok laman The Scribe.

Organisasi Pegiat Lingkungan Yayasan Madani Berkelanjutan mendesak dihentikannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja karena ia berisiko menghambat dan menggagalkan komitmen iklim Indonesia, termasuk dengan ketentuan-ketentuannya yang hanya akan mendorong deforestasi.
“RUU Cipta Kerja dapat menghambat dan menggagalkan komitmen iklim Indonesia,” ujar M. Arief Virgy, Insight Analyst Yayasan Madani Berkelanjutan dengan menambahkan “kami merekomendasikan menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja yang sarat dengan pasal-pasal driver of deforestasi.”
Berbicara dalam Diskusi Online “RUU Cipta Kerja dan risiko terhadap hutan dan iklim Indonesia” pada 15 April 2020, Arief mengatakan bahwa dari hasil kajian Madani, ada lima temuan penting mengapa RUU Cipta Kerja tidak akan berdampak baik kepada lingkungan, termasuk hutan Indonesia.
Arief mengatakan bahwa jika pasal-pasal yang melemahkan aturan perlindungan hutan alam dan lingkungan hidup dalam RUU Cipta Kerja diterapkan, risiko hilangnya hutan alam akan meningkat lebih cepat.
Temuan pertama hasil penelitian Madani adalah bahwa ada lima provinsi yang terancam kehilangan seluruh hutan alamnya akibat deforestasi antara tahun 2032 dan 2056. Kelimanya diidentifikasi sebagai Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung dan Jawa Tengah.
Kedua, ada tujuh provinsi – Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat — terancam kehilangan hutan alam di luar area Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB), atau sering juga disebut Peta Indikatif Moratorium, versi tahun 2019 yang berisi tutupan hutan yang telah dilindungi oleh moratorium.
Arief mengatakan bahwa dengan ketentuan ketentuan dalam RUU Cipta Kerja yang mendorong deforestasi, komitmen kontribusi nasional Indonesia untuk sektor kehutanan yang membatasi deforestasi pada 3,25 juta hektar hingga pada tahun 2030, ternyata sudah akan dapat dilampaui pada tahun 2025.
Baca juga: KPK Tahan Tersangka Suap Pengajuan Revisi Ahli Fungsi Hutan di Riau
Ia melanjutkan bahwa temuan keempat, adalah bahwa kesempatan menyelamatkan hutan alam seluas 3,4 juta hektare yang terlanjur berada dalam dalam areal izin perkebunan sawit akan hilang.
Selain karena RUU Cipta Kerja, keberlangsungan hutan alam dalam areal izin perkebunan sawit juga akan terancam oleh target konsumsi biodiesel yang ditargetkan pemerintah berada pada tingkat 17,4 juta kiloliter pada tahun 2024. Bila tidak dilakukan usaha meningkatkan produktivitas sawit, maka lahan sawit yang kini sudah menutupi 16,37 juta hektar itu harus mengalami ekstensifikasi antara 2.27 juta hektar hingga 7.3 juta hektar.
Sedangkan temuan kelima adalah bahwa tutupan hutan alam di 45 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Papua Barat pada tahun 2058 terancam turun antara nol dan 20 persen jika hutan ini termasuk kedalam Peta indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dan PIPPIB tidak berhasil dilindungi, ungkap Arief.
Arief juga mengingatkan para pemangku keputusan akan fakta bahwa hasil penelitian Madani sudah memperlihatkan bahwa ada delapan provinsi dengan kawasan hutan yang luasnya kurang dari 30 percent wilayah administrasi mereka, serta adanya 15 provinsi dengan luas hutan alam yang juga berada dibawah 30 persen.
“RUU Cipta Kerja berisiko melemahkan aturan perlindungan hutan dan lingkungan hidup Mengingat aturan yang ada pada saat ini saja belum cukup kuat dan masih banyak dilanggar, dilemahkannya aturan perlindungan lingkungan hidup atas nama peningkatan investasi adalah blunder pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan risiko bencana,” tambahnya.
Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan dalam kesempatan yang sama bahwa rancangan undang-undang tersebut tidak relevan dengan kompleksitas kondisi ekonomi maupun sosial masyarakat dan tidak memiliki urgensi tinggi.
“Mereformasi tata kelola di sektor sumber daya alam melalui pembentukan UU Pokok Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup serta penguatan KPK seharusnya menjadi prioritas pemerintah dan DPR untuk meningkatkan perekonomian nasional, mengingat model ekonomi kita masih bergantung pada ekstraksi sumber daya alam dan miskin inovasi,” ujar Teguh.
Ia juga mengatakan bahwa berbagai penelitian dalam maupun luar negeri memperlihatkan bahwa dari sisi investasi Indonesia masuk peringkat ketiga di Asia
“Inilah akar masalah yang seharusnya dibersihkan terlebih dahulu. Langkah riil yang dapat dilakukan pemerintah bersama dengan wakil rakyat setidaknya dengan menindaklanjuti hasil kajian harmonisasi regulasi untuk reformasi tata kelola sektor sumber daya alam yang disusun KPK, tahun 2018,” ujar Teguh dengan menambahkan bahwa hasil kajian tersebut kemudian dapat dirumuskan menjadi Omnibus Law Pengelolaan SDA.
“Urgensinya lebih tinggi dibandingkan dengan RUU Cipta Kerja sebab terdapat tumpang tindih pengaturan pada 26 undang-undang,” imbuhnya.
Baca juga: Koalisi Buruh Sawit Menolak Omnibus Law
Toto Dwi Diantoro, dari departemen Hukum Lingkungan, Fakultas hukum Universitas Gadjah mada, mengatakan dalam kesempatan yang sama bahwa walaupun RUU cipta Kerja ini ditujukan untuk penyederhanaan 79 undang-undang, atau lebih dari 1.200 pasal, namun rancangan undang-undang yang terdiri dari 174 pasal ini ”secara spesifik sulit dicermati.”
“RUU ini mengabaikan isu keberlanjutan, masa depan hutan,” ujarnya setelah mempelajari RUU Cipta Kerja. Ia juga menambahkan bahwa RUU ini juga tak peka terhadap rasa keadilan sosial , tidak lagi memberikan ruang bagi check and balance, termasuk dari Dewan Perwakilan Rakyat, serta ada nuansa reduksi penegakan hukum.
Sementara itu Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) setelah menelaah RUU Cipta Kerja ini mengatakan bahwa rancangan omnibus law ini “alih alih menjadi lebih sederhana, malah akan menjadikan lebih rumit.”
Berbicara pada diskusi yang sama, ia mengatakan bahwa ia melihat banyak kelemahan dalam RUU ini, termasuk minimnya rujukan, kecenderungan salah diagnosis, respons yang tak “nyambung” dengan apa yang dipersoalkan dan ditawarkan sebagai solusi serta bahwa rancangan ini menggabungkan beberapa undang-undang yang secara prinsip dan relevansinya berbeda.
Rancangan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini diajukan pemerintah dengan tujuan meningkatkan investasi dengan menyederhanakan perundang-undangan dan menghilangkan tumpang tindih di antara mereka.
Banyak kalangan, terutama kelompok-kelompok masyarakat madani, mengatakan bahwa rancangan undang-undang ini jelas memihak kepada investasi tetapi mengabaikan kepentingan rakyat banyak dan lingkungan.