Sebagai seorang tokoh pembangunan industri kelapa sawit Indonesia, Rosediana Suharto sangat mengerti seluk beluk serta dinamika industri yang sarat potensi ini namun yang sayangnya, juga digelayuti oleh banyak kelemahan internal.
Rosediana yang ditemui The Palm Scribe di kantornya, Responsible Palm Oil Initiative (RPOI), di kawasan Sentul, Bogor, menilai bahwa walaupun industri sawit Indonesia memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan, ia juga memerlukan adanya pembenahan internal agar dapat bertahan dan berkembang.
“Justru ancaman sawit yang ada datangnya dari negara sendiri, karena industri ini sulit sekali dibenahi, kedepannya kita harus bekerja sama agar semuanya mempunyai rasa saling bertanggung jawab untuk membangun industri ini,” ujar Rosediana.

Rosediana yang merupakan salah satu pendiri Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), standar keberlanjutan bagi industri sawit Indonesia, di tahun 2009, mengatakan bahwa kelemahan kelemahan industri sawit Indonesia mendesak untuk dibenahi.
ISPO, yang ikut dibidaninya itu, juga perlu untuk ditinjau kembali dan diperbarui, agar perannya dalam industri sawit dapat meluas.
“Peranannya? Sedikit sekali, sebab core value dari ISPO sendiri sudah salah dimengerti orang,” ujar Rosediana. Ia menjelaskan bahwa ide dasar dari pembentukan ISPO bukan untuk persaingan bisnis, melainkan untuk menentukan standar produksi sawit Indonesia yang sesuai dengan Peraturan dan Perundangan yang ada.
“Orang dalam industri sawit jarang mau introspeksi diri dan tidak ada yang tegas mengawasi, padahal aturan industri ini sangat ketat,“ tegas wanita yang mengantongi gelar Doktor dalam bidang Kimia ini dari Universitas Aston.
ISPO seringkali dipandang oleh masyarakat luas sebagai cara Indonesia untuk menyaingi sertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) , skema keberlanjutan yang diciptakan lima tahun lebih awal dari RSPO.
“Kita jelas kalah dengan RSPO, karena banyak regulasi dan demand internasional yang tidak bisa ISPO ikuti sebab terbentur dengan perundangan yang berlaku,” demikian jelas Rosediana. Baginya, ISPO dan RSPO seharusnya adalah dua hal yang saling melengkapi bagi produsen sawit Indonesia dalam lingkup produksi sawit.
Oleh karenanya, ISPO sekarang bukan dirancang untuk bersaing dengan RSPO ataupun memenuhi permintaan bisnis pasar internasional, melainkan hanya pedoman produksi sawit yang sesuai dengan peraturan perundangan Indonesia.
“Tidak ada keuntungan ekonomis secara langsung bagi produsen sawit apabila memiliki sertifikat ISPO. Berbeda dengan RSPO yang memberikan bonus 100$ per ton bagi anggotanya, apa kita berani menerapkan hal itu?” Rosediana mengatakan dengan menegaskan bahwa hal inilah yang membuat RSPO lebih disukai para produsen sawit dibandingkan dengan ISPO.
Revisi yang diperlukan untuk memperluas peran ISPO didalam negeri juga diperlukan agar dapat tidak saja menarik minat produsen di dalam negeri tetapi juga di pasar internasional, jelas Rosediana.
“Kalau tujuannya mau ke persaingan bisnis, ya kita harus bikin yang sesuai dengan permintaan internasional, selama ini kita kan kepentok perundangan sendiri,” jelasnya kepada The Palm Scribe.
Salah satu permasalahan dalam negeri ISPO adalah masih banyaknya petani yang belum tersertifikasi, sehingga menimbulkan celah bagi pihak yang ingin menjatuhkan industri kelapa sawit dengan alasan perusakan lingkungan.
Menurut Rosediana hal tersebut adalah wajar sebab tidak mungkin semua petani sawit di Indonesia tersertifikasi.
“Ya tidak apa apa, kalau semua petani kita sertifikasi malah mati (izin usahanya), sebab pada dasarnya tidak semua petani itu legal dan tidak bisa kita tolerir sebab lahannya seringkali bertabrakan dengan kawasan hutan,” ujarnya dengan menambahkan bahwa proses monitoring oleh pemerintah adalah krusial untuk menjaga kestabilan industri sawit sekaligus mencari solusi terbaru dalam setiap permasalahan yang ada.
Proses produksi sawit yang tidak ramah lingkungan sudah dijadikan alasan oleh Eropa untuk menyerang industri kelapa sawit Indonesia dengan berbagai kampanye hitam. Rosediana menilai, hal ini pada dasarnya wajar sebab kebijakan Uni Eropa sesuai dengan peraturan dalam World Trade Organisation (WTO) terkait Technical Barriers to Trade (TBT).
“Ya ini wajar, semuanya boleh melakukan untuk mengatur produk agar sesuai dengan kriteria masing – masing negara, namun rencana pemberhentian dagang inilah yang sudah di tahap diskriminasi dagang dan ini harus kita lawan!” tegas Rosediana.
Menurutnya, mudah bagi Indonesia untuk melawan Eropa dalam industri sawit. “Kemarin saya salah satu yang memberikan saran untuk rencana pemberhentian pembelian Airbus, dan sudah ada yang melakukan kan… selanjutnya kita berhentikan saja impor Nutella,” ujar Rosediana Suharto dengan percaya diri.
Industri sawit bagi Rosediana sudah tidak dapat dipisahkan dari Indonesia sebab sudah menanggung kehidupan dari banyak petani dan merupakan penghasilan Indonesia terbesar selama beberapa tahun terakhir ini.
Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar sekaligus konsumen terbesar dunia pula. Industri kelapa sawit memperkerjakan sekitar 12 juta buruh secara langsung sementara pemerintah memperkirakan ia menghidupi sekitar 30 juta orang, secara langsung maupun tidak langsung.