Kepala Badan Restorasi Gambut perlahan tapi pasti membuat kemajuan pada tugas berat yang dihadapi lembaga ini
“Saya deg-degan,” kata Nazir Foead kepada The Palm Scribe saat ditanya bagaimana perasaannya ketika ditunjuk dan dilantik sebagai kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Januari 2016 lalu.
Badan Restorasi Gambut (BRG) adalah Sebuah lembaga ad-hoc yang kehadirannya sudah dinanti banyak orang, dengan tantangan yang luar biasa.
“Tapi presiden sangat jelas dan tegas pada tugas yang harus kami lakukan. Kami siap melakukan apa pun yang kami bisa, dengan segala upaya dan risiko. Ini adalah tugas yang mulia,” ujar Nazir Foead di kantornya daerah Menteng, Jakarta Pusat.
Sebagaimana tertera dalam Peraturan Presiden, BRG diperintahkan untuk merestorasi lahan gambut Indonesia yang selama ini banyak rusak dan terbakar. Lembaga ad-hoc yang berada langsung di bawah presiden ini juga diinstruksikan untuk mengurangi risiko kebakaran hutan yang berasal dari lahan gambut.
Indonesia mengalami masalah kabut asap yang sangat parah pada tahun 2015 setelah diperkirakan lebih dari 875.000 hektar gambut terbakar. Insiden ini tidak hanya merugikan penduduk di berbagai provinsi terdampak, namun bahkan juga mengganggu negara tetangga.
Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan kebijakan moratorium lahan gambut pada tahun 2015 yang mengatakan bahwa semua lahan gambut dilarang untuk dibuka sampai Badan Restorasi Gambut selesai memetakan lokasi untuk melihat area mana saja yang terdampak.
Sebagai rencana awal, BRG menetapkan target untuk memulihkan hampir 2.5 juta hektar lahan gambut dalam waktu lima tahun. Ini termasuk 332.766 ha di dalam kawasan konservasi, hampir 1.5 juta di area konsesi, dan 748.818 ha di berbagai area penting lainnya.
“Area gambut hancur karena dibangun kanal-kanal besar. Ini termasuk area di mana perusahaan memiliki izin untuk beroperasi. Kompleksitas masalah terjadi karena pemerintah daerah memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan ini untuk membuka lahan gambut. Ada juga kegiatan penggundulan hutan secara ilegal di lokasi lahan pemerintah, serta masyarakat yang telah bertanam di lahan gambut selama bertahun-tahun, ”kata Nazir Foead.
Proyek restorasi awal kemudian ditetapkan pada tujuh provinsi yang dianggap memilikikondisi paling parah, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.
Target restorasi tersebut diharapkan tercapai dengan melibatkan berbagai lembaga terkait, pakar, universitas, serta koordinasi dengan donor asing dan lembaga filantropi karena apa yang dilakukan BRG sesungguhnya juga terkait dengan masalah perubahan iklim yang mengancam banyak negara.
Setelah menyelesaikan pemetaan lahan gambut, BRG bahu membahu dengan pemerintah daerah untuk membangun bendungan kanal sebelum musim kemarau tiba. Karena lahan gambut kering mudah terbakar, pemblokiran kanal digunakan untuk menjaga agar gambut tetap basah dan mencegahnya terbakar di musim kemarau.
“Kami diinstrusikan untuk banyak melibatkan masyarakat setempat, sehingga mereka bisa mendapat keuntungan juga,” kata Nazir sambil menambahkan bahwa Presiden Jokowi menyaksikan sendiri di daerah Meranti, Provinsi Riau pada tahun 2014, bagaimana masyarakat setempat telah terlibat dengan membangun partisi saluran untuk menjaga tanaman sagu mereka yang ditanam di lahan gambut agar tetap basah.
Pada akhir 2018, BRG telah berhasil memulihkan total 679.901 ha gambut di tujuh provinsi. Sebagian dari proses restorasi tersebut sejumlah 268.472 ha dilakukan bersama dengan berbagai mitra yang diawasi langsung oleh BRG.
Nazir Foead lulus dari Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1985, berselang lima tahun setelah Presiden Jokowi lulus dari program yang sama pada tahun 1980. Nazir kemudian melanjutkan studinya tentang Konservasi Kehutanan di Universitas Gottingen Jerman. Beliau kemudian melanjutkan studi di Universitas Kent di Inggris untuk program Konservasi Biologi dan meraih gelar M.Sc
Beda Aktor Beda Pendekatan
Nazir memahami bahwa sebagian masyarakat memiliki skeptisisme yang kuat karena kebakaran hutan sering dikaitkan dengan berbagai perusahaan besar yang membuka lahan mereka untuk perkebunan seperti kelapa sawit.
“Apa yang telah terjadi di masa lalu adalah masa lalu. Pemerintah sekarang berupaya untuk mencari solusi terbaik karena kami juga mendukung komoditas ini. Jangan khawatir, kami tidak ingin membunuh industri ini, karena ini juga penting bagi Indonesia. Kami ingin mempertahankan keunggulan kompetitifnya, karenanya mari kita bekerja sama dalam hal ini,” Katanya kepada The Palm Scribe dengan tegas.
“Perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) atau bahkan petani yang juga memilikinya, kita harus menghormati itu,” ujar pria berkacamata ini, sambil menambahkan bahwa peran pemerintah selain untuk mengatur juga harus memberikan solusi bagi perusahaan-perusahaan tersebut.
Namun demikian, menurut Nazir ada perusahaan kelapa sawit yang berkebun di kubah gambut, padahal kubah gambut itu sepenuhnya dilindungi. Menurut undang-undang, membuka kubah lahan gambut adalah ilegal karena kubah gambut merupakan sumber air bagi daerah sekitarnya.
“Kerusakan sudah terjadi. Jadi sekarang kami mencoba untuk menemukan jalan tengah dan membiarkan perkebunan di kubah gambut itu sampai siklus tanamnya selesai. Namun, kami mendesak mereka untuk memiliki manajemen pengelolaan air yang baik, yang idealnya tinggi airnya tidak kurang dari 40 cm,” katanya.
“Saya yakin perusahaan kelapa sawit juga tidak ingin tanaman mereka dibakar. Tetapi selama musim kemarau api bisa datang dari luar perkebunan mereka, jadi pada dasarnya semua orang harus memastikan bahwa lahan gambut mereka selalu basah,” katanya.
Terlepas dari berbagai argumen tentang berapa seharusnya tinggi ideal pada saluran air, ada banyak data empiris dan penelitian menunjukkan bahwa 40 cm (Sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Presiden 2014, yang diperkuat dengan Keputusan 2016) adalah yang terbaik untuk daerah lahan gambut. Walaupun ini artinya adalah biaya tambahan bagi perusahaan, tetapi Nazir optimis bahwa di masa depan, ini justru lebih baik untuk produktivitas minyak sawit.
“Sebagian besar Perusahaan mematuhi peraturan ini,” menurut Nazir Foead.
Mengenai masalah penegakan hukum, BRG adalah sebuah lembaga yang menerima pengaduan dari publik; baik itu laporan pembukaan daerah baru ataupun kanal baru, untuk kemudian memverifikasi laporan tersebut sehingga mereka dapat meneruskan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau kepada pemerintah daerah yang memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan hukum.
Seperti kita ketahui, Presiden Jokowi menekankan pentingnya peningkatan produktivitas kelapa sawit sehingga daripada membuka area penanaman baru, pemerintah saat ini lebih fokus pada program penanaman kembali (replanting).
“Dalam hal ini Indonesia jelas ingin membuktikan kepada dunia bahwa kita telah menghentikan deforestasi. Jika itu terjadi, itu pastinya ilegal, dan kita punya mekanisme penegakan hukum untuk itu. Ini adalah jawaban terbaik kita untuk kritik dari luar,” Kata Nazir.
“Jika kita dapat menunjukkan bahwa minyak sawit kita dihasilkan melalui tata kelola air yang baik, tidak terlibat dalam deforestasi, emisi yang dihasilkan lebih sedikit, maka semua boikot dan kritik itu jadi tidak signifikan lagi,” tambahnya.
Nazir Foead menjelaskan bagaimana orang Indonesia memiliki banyak kearifan lokal dalam bercocok tanam di lahan gambut tanpa harus merusak alam. BRG sedang mencoba untuk menyelaraskan praktik-praktik ini kedalam apa yang harus dilakukan oleh lembaga yang dipimpinnya. Tentu saja kerusakan yang telah terjadi harus diperbaiki dengan dengan biaya yang sangat mahal, akan tetapi dengan berbagai upaya yang gigih, Ia yakin target pemulihan 2.5 juta hektar lahan gambut dalam waktu lima tahun dapat dicapai.
Nazir juga menunjukkan bahwa keterlibatan dengan masyarakat dan desa adalah suatu keharusan karena banyak dari kebutuhan air mereka sangat mengandalkan atau dipasok oleh area gambut.
“Itu sebabnya kubah lahan gambut tidak boleh disentuh karena merupakan sumber air bagi banyak desa di Indonesia,” ujarnya.
Dengan perubahan iklim yang terjadi saat ini, dirasakan penting juga untuk memberikan kesadaran kepada semua pemangku kepentingan.
“Petani tradisional bisa memberi saya analisis tentang mengapa mereka pikir hutan bisa terbakar, meskipun mereka telah mempraktikkannya sepanjang hidup mereka. Mereka tahu bahwa perubahan yang dilakukan oleh perusahaan yang membuat kanal besar dan mengeringkan lahan gambut telah mengubah pengetahuan tradisional mereka tentang pembukaan kawasan hutan yang telah mereka kenal sepanjang hidup mereka”.
Perihal Dana dan Pentingnya Menjalin Kemitraan
Badan Restorasi Gambut yang dipimpin Nazir beroperasi dengan anggaran 300 hingga 500 miliar Rupiah dari APBN, ditambah 30 hingga 40 juta Dolar yang didapat dari dana hibah per tahun. Jumlah yang mencapai sekitar 1 triliun Rupiah ini sebenarnya hanya seperlima dari yang dibutuhkan, yaitu lima sampai enam triliun Rupiah.
“Karena itulah kami bekerja dengan skala prioritas, yaitu berdasarkan penilaian seberapa parah kerusakan suatu area gambut, yang terbukti sangat efektif dalam dua tahun terakhir,” kata Nazir.
Kurangnya dana membuat lembaga ini bekerja secara kreatif serta membangun kemitraan yang kuat untuk bekerja di lapangan. Mitra internasional termasuk UNDP, ICCTF, dan LSM seperti WWF.
Keterlibatan pemerintah daerah serta masyarakat juga menciptakan rasa memiliki yang kuat untuk menjaga serta memelihara di lapangan. Pada tataran teknis hal ini sangat penting, seperti memastikan untuk menjaga pompa dalam kondisi yang baik agar lahan gambut dapat dijaga untuk selalu basah.
Menurut data BRG, pada tahun 2018 ada lebih dari 11 ribu orang yang terlibat dari berbagai level.
BRG juga menyediakan satuan tugas untuk memberikan bantuan dan saran teknis kepada berbagai perusahaan. Satuan tugas ini juga belajar praktik terbaik dari berbagai negara lain seperti Finlandia, Amerika, untuk kemudian membangun jaringan sehingga dapat menyebar luaskan ilmu yang didapat.
Sebagai penutup, The Palm Scribe bertanya kepada Nazir: “Apa saja yang sudah dipelajari dari hampir tiga tahun memimpin BRG?”
“Pertama, saya pikir solusi terbaik membutuhkan keterlibatan ahli dari berbagai disiplin ilmu karena mereka nyaris tidak memiliki kepentingan pribadi. Kedua, meskipun tidak ideal, kita perlu bertindak secepatnya, tentunya diikuti dengan perbaikan dari waktu ke waktu. Ketiga, kami juga ingin diakui secara internasional; bahwa Indonesia bisa memimpin usaha restorasi daerah gambut tropis terbesar di dunia,” pungkasnya.