The Palm Scribe

Presiden Jokowi Instruksikan Moratorium Pembukaan Hutan Secara Permanen

Foto: AFP

Presiden Joko Widodo telah menandatangani moratorium permanen untuk pembukaan hutan yang diperuntukkan bagi perkebunan dan penebangan, seperti diumumkan oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan Siti Nurbaya Bakar awal bulan ini.

“Presiden menandatangani instruksi untuk menghentikan izin baru dan memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut,” kata Menteri Siti Nurbaya Bakar dalam sebuah pernyataan seperti dikutip oleh media. Siti Nurbaya mengatakan bahwa instruksi presiden (Inpres) 5 Agustus tersebut mengamanatkan bahwa menteri, gubernur dan pejabat lainnya tidak dapat mengeluarkan izin baru di dalam area moratorium.

Moratorium yang awalnya diterbitkan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Inpres, Nomor 10 tahun 2011) disebut sebagai ‘Penundaan penerbitan izin baru dan peningkatan, tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut’, adalah sebuah langkah yang merupakan bagian dari kerja sama dengan Norwegia untuk memenuhi komitmen sukarela Indonesia untuk mengurangi emisi secara efektif, yang berarti moratorium selama dua tahun untuk izin konsesi hutan baru.

Inpres tersebut memberikan instruksi kepada tiga menteri – Kehutanan, Kementrian Dalam Negeri, dan Lingkungan – serta kepala lima lembaga – Unit Pengiriman Perumahan untuk Pengawasan Pembangunan, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Nasional untuk Perencanaan Tata Ruang, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional dan badan yang diusulkan untuk mengelola REDD+, serta gubernur dan kepala pemerintah kabupaten. Dua kementerian penting yang terkait erat dengan deforestasi dan emisi berbasis lahan terkait tidak termasuk, yaitu Pertanian dan Energi dan Sumber Daya Mineral.

Instruksi presiden tersebut telah diperpanjang sejak 2013, 2015, 2017, dan berakhir pada 17 Juli tahun ini.

“Kami memuji keputusan pemerintah untuk menjadikan moratorium untuk melindungi hutan primer, konservasi, dan kawasan lindung ini secara permanen. Sayangnya, hal tersebut tidak melindungi area di mana sebagian besar deforestasi masih terjadi, yaitu hutan sekunder.” Elis Widen dari World Wildlife Fund (WWF) mengatakan kepada The Palm Scribe.

Sekelompok aktivis lingkungan telah menyerukan agar moratorium tersebut tidak hanya dibuat permanen, tetapi juga diberikan dasar hukum yang lebih kuat.

“Kami menganggap bahwa instruksi presiden belum cukup efektif sebagai instrumen hukum, karena tidak ada penegakan hukum,” kata Lola Abbas, Koordinator Nasional untuk Pantau Gambut yang mengatakan kepada wartawan pada sebuah diskusi di Jakarta pada pertengahan Juli lalu.

“Harapannya adalah, bahwa selain memiliki landasan hukum yang diperkuat dengan menjadi peraturan presiden sehingga menjadi mengikat untuk semua, pengawasan (penerapannya) juga harus ditegakkan,” kata Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan (Berkelanjutan) Yayasan Masyarakat Sipil) pada diskusi yang sama.

Zenzi Suhadi dari Friends of the Earth (WALHI) Indonesia mengatakan sejak 2011 telah ada konsesi yang dilepaskan untuk wilayah hutan seluas 18 juta hektar, menunjukkan bahwa meskipun ada moratorium, namun penegakannya lemah.

“Tidak cukup hanya memiliki moratorium sebagai instruksi presiden, Jika kita benar-benar ingin menyelamatkan hutan … itu harus bersifat pengaturan, dengan validitas hukum yang tidak hanya mengikat pemerintah tetapi juga menyediakan payung hukum,” kata Zenzi.

Para aktivis mendesak agar moratorium permanen juga harus bisa menangani masalah yang mengganggu pada periode moratorium sebelumnya, yang mencakup kegagalan untuk memasukkan hutan sekunder dan hutan bekas tebangan yang merupakan peluang yang hilang untuk melindungi sebagian kecil karbon negara dan hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati .

Keputusan moratorium permanen tersebut datang setelah pemerintah daerah di enam provinsi di pulau Sumatra dan Kalimantan mengumumkan keadaan darurat akibat asap dari kebakaran hutan mulai menimbulkan masalah bagi warga setempat.

Share This