Walaupun prospeknya sebagai politeknik kelapa sawit satu-satunya di negeri ini sangat besar, sesuai dengan perkembangan komoditi yang kini menjadi salah satu kontributor ekonomi dan kesejahteraan terbesar di Indonesia, Politeknik Kelapa Sawit Citra Widya Edukasi (CWE) tetap merasa perlu terus menyesuaikan sistim pendidikannya dengan perkembangan industri yang berjalan begitu cepat.
Berlokasi disebuah lahan yang luas di Bekasi, di timur Jakarta, politeknik ini kini memiliki sekitar 600 siswa yang datang dari berbagai penjuru negeri ini untuk mendapatkan gelar diploma 3, yang setara dengan sarjana muda, dalam tiga program yang ada – budidaya hasil perkebunan, pengolahan hasil perkebunan dan manajemen logistik.
“Saya melihat peluang kami ini masih sangat besar,” demikian Direktur Politeknik Kelapa Sawit CWE, Stefanus Nugroho Kristono mengatakan dalam sebuah wawancara dengan The Palm Scribe baru-baru ini. Kelapa sawit kini telah menjadi komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia, negeri produsen dan konsumen terbesar kelapa sawit dunia yang menghasilkan sekitar separuh pasokan kelapa sawit dunia. Minyak kelapa sawit menyumbangkan $21,25 miliar dalam devisa ekspor di tahun 2017.
Ia mengatakan bahwa pemegang Diploma 3 (D3) dari politeknik ini merupakan tenaga yang sudah siap kerja pada tingkat pengawas di perkebunan.
Bila mengingat bahwa tiap mandor mengawasi sekitar 250 hektar perkebunan sawit biasanya, dan bahwa luasan perkebunan sawit di Indonesa mencakup sekitar 14,6 juta hektar , maka perhitungan sederhana saja sudah akan memperlihatkan perlunya hampir 60.000 tenaga mandor pengawas. Dengan adanya regenerasi tenaga kerja serta semakin tingginya kesadaran diantara para petani rakyat akan pentingnya pengelolaan kebun yang baik, maka jumlah itu akan semakin bertambah pula.
“Ada permintaan yang tinggi untuk tenaga kerja terapan di industri yang terus tumbuh ini,” ujar Kristono dengan menambahkan bahwa sekitar 90 persen dari lulusan politeknik ini yang jumlahnya sudah hampir 1.000, diserap oleh industri sawit. Sisanya termasuk mereka yang pulang kampung untuk membuka perkebunan sawit baru, mereka yang memilih melanjutkan studi mereka atau yang bekerja di industri agribisnis diluar sawit.
Namun adanya prospek yang bagus ini tidak menjadikan politeknik ini terlena. Para pengurusnya sudah sibuk mempersiapkan penyelenggaraan sistim pendidikan untuk tingkat lulusan yang lebih tinggi lagi seperti yang dibutuhkan industri. Kristono menyebutkan pendidikan untuk tingkat Diploma 4 (D4), yang setara sarjana perguruan tinggi yang juga sering dikenal sebagai “sarjana terapan.”
“Banyak dibutuhkan pekerja yang mampu berpikir dan karena itu fokus kami sekarang adalah menembangkan program D4. Program studi baru kami akan fokus ke D4,” ujarnya dengan menambahkan bahwa dengan cepatnya perkembangan ilmu pengegahuan dan teknologi, termasuk dalam sektor kelapa sawit, timbul permintaan yang meningkat akan lulusan D4 yang memiliki kemampuan analitis yang sepadan.
Ia mengatakan bahwa penyesuaian program ini harus dilakukan dengan cepat, untuk mengimbangi kebutuhan industri dan cepatnya perkembangan sektor teknologi informasi. Ia mengatakan bahwa lembaganya kini sedang menunggu persetujuan dari lembaga pemerintah yang berwenang untuk memulai program D4 ini.

Kristono juga mengatakan bahwa walaupun politeknik memakai kata kelapa sawit, program D4nya juga akan dipersiapkan untuk mengikut sertakan muatan komoditi pertanian dan perkebunan lainnya, tidak hanya terbatas kepada kelap sawit.
“Kelapa sawit akan tetap menjadi fokus kami, tetapi kami juga akan menambahkan muatan tanaman lainnya, seperti kopi, tebu, karet dsb.” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa pengalaman juga menunjukkan bahwa lulusan politekniknya juga direkrut oleh perusahan yang tidak bergerak dalam bidang kelapa sawit, seperti perusahaan perkebunan tebu misalnya. “Mereka mengatakan bahwa budidaya sebenarnya dasarnya sama saja buat berbagai tanaman dan hanya dibutuhkan penyesuaian sedikit,” katanya.
“Petanya sudah terbaca, Mengembangkan sektor hilir; keberlanjutan, ini wajib mau tidak mau, dan pemberdayaan petani sawit rakyat,” serunya.
Salah satu program yang direncanakan bagi pendidikan D4 adalah mengenai teknologi hasil perkebunan, sesuatu yang diarahkan bagi industri hilir kelapa sawit.
Dalam mendukung prinsip pendidikan kejuruan di politeknik yang 60 persen praktek dan 40 persen teori, lembaga pendidikan ini tidak saja memiliki dua bangunan kuliah, satu diantaranya berlantai delapan yang dilengkapi dengan laboratorium kelas industri, sebuah perpustakaan yang lengkap, dan sebuah bengkel teknik, tetapi juga dengan lahan perkebunan pendukung seluas dua hektar tidak jauh dari kampus serta perkebunan perusahaan di Jawa Barat yang digunakan untuk praktek lapangan final para siswa.
Politeknik kini juga sedang membangun sebuah asrama bertingkat tinggi di sebuah lahan dibelakang kampus.
Kristono mengatakan bahwa mayoritas siswa datang dari 20 propinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia. “ Lingkungan kelapa sawit dekat dengan mereka dan diharapkan bila lulus nanti, mereka akan kembali ke daerah, ke industri kelapa sawit,” sergahnya.
“Kami juga selalu bangga ketika lulusan kami kembali ke daerah, atau ke daerah lainnya,” tambahnya.
Pendaftaran siswa dilakukan melalui daring dan para calon siswa akan melalui seleksi ketat di propinsi mereka oleh tim dari politeknik.
Sembilan puluh dari siswa politeknik merupakan putra putri petani kelapa sawit yang memiliki lahan kurang dari empat hektar dan mereka menerima beasiswa dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS). Empat puluh siswa lainnya merupakan siswa yang dikirimkan dan dibiayai oleh pemerintah kabupaten Tulang Bawang Barat di Lampung dan beberapa siswa lainnya dikirimkan oleh perusahaan kelapa sawit mereka untuk belajar mengenai perkelapa sawitan.
“Ada militansi anak muda di daerah, betul betul care terhadap sawit ini,” Kristono mengatakan menunjuk kepada besarnya animo di kalangan anak muda di daerah, terutama di daerah penghasil kelapa sawit, untuk mengikuti pendidikan di politeknik ini,
Politeknik yang didirikan pada tahun 2003 pertama kalinya untuk mempersiapkan sumber daya manusia bagi Grup kelapa sawit Widya, tetapi kemudian menjadi terbuka kepada umum pada tahun 2006, juga membuka program D1 yang kini diikuti oleh 100 siswa.
“Disamping sertifikat diploma, lulusan juga akan menerima sertifikasi profesional yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi profesional yang indepen,” ujaf Kristono mengenai lulusan program D1 ini yang berlangsung selama satu tahun..
Ia mengatakan bahwa masih banyak sekali yang harus dilakukan dalam mengembangkan sektor kelapa sawit di Indonesia, termasuk dalam bidang pengembangan sumber daya manusianya.
“Masih banyak sekali pekerjaan rumah di bidang kelapa sawit, kita harus bekerja sama, antara industri, pemerintah, rakyat, petani dan perguruan tinggi,” tutupnya