Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menginginkan diperpanjangnya Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dan peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, demikian ujar ketuanya, Mansuetus Darto.
“Menurut kami, inpres ini memang perlu diperpanjang,” demikian Ketua SPKS Mansuetus Darto mengatakan dalam sebuah diskusi online pekan lalu, dengan menambahkan bahwa penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit ini dilakukan paling lama tiga tahun sejak instruksi tersebut dikeluarkan,
Inpres yang dikeluarkan presiden di bulan September 2018 itu pada intinya
menginstruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk melakukan penundaan pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan perkebunan kelapa sawit dan pada Menteri Pertanian untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, terutama bagi perkebunan petani rakyat.
Darto mengatakan bahwa pandemic Covid19 yang berdampak buruk pada perekonomian, tidak dapat dipastikan kapan akan berakhir smentara tahun depan, perekonomian pasti memerlukan masa pemulihan.
“Beberapa peraturan memang tak efektif untuk dilakukan saat ini untuk melakukan sesuatu yang nyata bagi petani karena situasi Covid-19,” Darto menjelaskan alasan dibalik keinginan SPKS agar inpres ini diperpanjang.
“Kalaupun mau diperpanjang perlu ada peraturan pemerintah dan juga anggaran, terutama untuk bisa menyokong kabupaten-kabupaten, khususnya dinas perkebunan, agar mereka bisa mengefektifkan pekerjaan-pekerjaan dalam Inpres ini,” tambahnya.
Ia juga mengatakan bahwa berdasarkan monitoring yang dilakukan organisasinya di beberapa daerah utama perkebunan kelapa sawit dari bulan Januari 2018 sampai dengan Maret tahun ini, inpres yang juga mengamanatkan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit ini juga belum membawa perbaikan.
“Secara umum, memang dari hasil pemantauan kami, tidak ada perkembangan, tidak ada intervensi program baik yang dilakukan pemerintah daerah maupun private sector terhadap pemberdayaan dan juga peningkatan produktivitas petani di sekitar konsesi perusahaan ataupun di wilayah kabupaten masing masing,” ujarnya,
Dalam pengamatannya, Darto melihat bahwa dengan inpres ini, Presiden Joko Widodo hendak mendorong pemetaan perkebunan kelapa sawit, khususnya itu perkebunan kelapa sawit rakyat baik itu di Area Penggunaan Lain (APL) maupun di kawasan hutan, mendesak percepatan penerbitan surat hak atas tanah bagi lahan perkebunan sawit rakyat, dan meningkatkan pembinaan kelembagaan petani dalam rangka optimalisasi dan intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas rakyat,
Baca juga: LSM Minta Peningkatan Akuntabilitas Sistem Perijinan Perkebunan, Pencegahan Korupsi
“Kelembagaan petani yang ada sekarang ini agar segera diperbaiki dan diperkuat posisinya, agar mereka itu mempunyai peran yang jelas untuk membantu petani kecil di pedesaan untuk meningkatkan produktivitas,” ujarnya. Inpres ini juga menginginkan seluruh perkebunan kelapa sawit, baik rakyat, swasta maupun negara, untuk memperoleh sertifikasi keberlanjutan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO.).
Darto membeberkan pendapatnya mengenai mengapa inpres peningkatan produktivitas ini tidak berjalan seperti seharusnya. Pertama, secara politis, Kemenko yang merupakan leading sector pelaksanaan inpres ini tidak menjalankan fungsinya itu dengan baik dalam hal menjalankan fungsi-fungsi koordinasi dengan provinsi, kabupaten serta kementerian teknis, serta menciptakan regulasi-regulasi teknis sebagai turunannya.
Ia juga mengatakan adanya ketidakjelasan formula, dalam konteks pendataan. Ia mengatakan tidak terdapat kejelasan apa yang akan terjadi setelah pendataan dilakukan seperti misalnya apakan petani yang ada dalam kawasan hutan atau di kawasan APL akan mendapatkan insentif lebih lanjut dan memperoleh legalitas yang lebih mudah. Apalagi sekarang ini petani masih dibebankan biaya yang tidak sedikit untuk pembuatan surat hak milik dan juga surat tanda daftar budidaya (STDB)
“Poin yang paling pokok, adalah tidak ada sumber anggaran dalam inpres ini. Untuk menjalankan inpres ini sumber anggaranya dari mana?” ujar Darto. Ia mengatakan bahwa kunci pelaksanaan inpres ini ada di pemerintah daerah, terutama dinas-dinas teknisnya namun mereka ini tidak didukung dengan anggaran memadai untuk melaksanakan pemetaan perkebunan rakyat dan juga untuk pembangunan kelembagaan petani. Dalam hal ini ia mengatakan bahwa Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebetulnya dapat membantu pendanaan pada tingkat kabupaten.
Petani maupun kelembagaan petani juga belum dapat melihat keuntungan apa yang akan diperoleh mereka bila mendapatkan sertifikasi ISPO,
“Poin terakhir adalah belum ada langkah-langkah konkrit dari sektor bisnis untuk membangun kelembagaan petani, kemudian untuk membersihkan rantai pasok mereka dari pihak ketiga dan juga juga bagaimana upaya-upaya sektor bisnis itu untuk membantu petani-petani kecil di sekitar konsesi mereka,” ujar Darto.