The Palm Scribe

Petani, kelompok yang diabaikan di industri kelapa sawit Indonesia

MEDAN – Para petani mengelola hampir 40 persen lahan kelapa sawit di Indonesia, produsen dan konsumen terbesar di dunia. Namun, mereka justru diabaikan oleh pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar, termasuk negara yang ingin menjadikan sektor ini berkelanjutan.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang M.M., mengatakan bahwa menurut data 2016, para petani mengelola 4,7 juta hektare dari 11,9 juta hektare lahan kelapa sawit.

Bambang mengakui bahwa selama ini para petani kurang mendapat perhatian. Meskipun demikian, pemerintah terus berusaha membantu mereka dan meminta kalangan industri kelapa sawit untuk menjadikan mereka sebagai mitra.

Para petani itu, karena kurangnya perhatian dan dukungan dari pihak lain, menghadapi masalah rendahnya produktivitas akibat penggunaan bibit sawit yang kurang berkualitas. Mereka juga menghadapi kendala lain, di antaranya teknologi pengolahan limbah kelapa sawit, akses ke keuangan, isu hukum, dan kelestarian lingkungan.

Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mona Surya, mengatakan bahwa para petani juga menghadapi masalah tiadanya wadah organisasi. “Gapki diminta membantu para petani, tapi bagaimana kami dapat menolong jika mereka belum terorganisir,” kata Mona.

Mona menambahkan bahwa kehadiran organisasi penting untuk membuktikan legitimasi dan kredibilitas mereka. Perusahaan-perusahaan selama ini kesulitan bekerja sama dengan para petani yang belum berbadan hukum dan sering menghadapi situasi yang rumit atau bermasalah secara hukum.

Pada 2015, Indonesia memperkenalkan program sertifikasi nasional untuk para petani sawit yang didukung oleh United Nations Development Program (UNDP). Program ini juga dimulai oleh sejumlah koperasi petani sawit. Namun, mayoritas petani tetap tak tersentuh, karena tak terkait dengan organisasi mana pun.

Mona mengatakan perusahaannya, bukan perusahaan kecil, juga kesulitan memenuhi standar persyaratan untuk mendapat sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), sehingga sampai sekarang belum memiliki sertifikat itu.

“Susah sekali mendapatkan sertifikat ISPO, butuh waktu dan uang,” kata Mona. Sertifikasi tentunya juga menyulitkan para petani kecil, terutama mereka yang bekerja secara mandiri, dan modalnya terbatas.

Sertifikasi ISPO merupakan kewajiban bagi para produsen sawit di Indonesia sejak 2011. Persyaratannya sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Bambang mengatakan, kebanyakan petani kecil itu mulai ikut menanam kelapa sawit setelah melihat keberhasilan para petani yang berpartisipasi dalam program plasma. Namun, berbeda dari petani plasma, mereka tak mendapatkan bantuan dari mitra untuk memanen, dukungan teknis dan keuangan, serta tak ada jaminan bahwa sawit mereka akan mendapatkan pembeli.

Dengan minimnya perhatian, tak heran bila hasil panen para petani kecil itu sangat rendah. Mereka hanya mampu mendapatkan 2 – 3 ton buah sawit per hektare, dibandingkan 6-7 ton per hektare yang diperoleh perusahaan besar.

“Sebenarnya ada peluang untuk meningkatkan potensi produktivitas, juga kesejahteraan mereka,” kata Bambang. Sebuah studi menunjukkan bahwa produktivitas kelapa sawit dapat didongkrak hingga 8-8,4 ton per hektare.

Pemerintah dan para pemangku kepentingan, termasuk perusahaan yang menjadi mitra para petani, dapat membantu dengan berbagai cara, misalnya membantu akses ke bibit berkualitas, penanaman kembali, akses ke lembaga keuangan, dan menyediakan bantuan teknis.

Saat menjelaskan tentang bantuan penanaman kembali bagi para petani, Bambang terlihat menyempitkan definisi petani kecil.

“Kami akan membantu para petani yang mampu melakukan penanaman kembali secara mandiri, siap, dan layak dibiayai bank. Para mitra industri diharapkan menyediakan bantuan kredit sampai hasil panen siap diproduksi,” ujar Bambang.

Penggolongan seperti itu akan membatasi dampak bantuan. Keputusan pemerintah yang lebih mengutamakan para petani yang mempunyai lahan seluas dari 25 ha juga tak akan membantu. Sebab, kebanyakan petani hanya memiliki lahar sekitar 2 ha. Tanpa bantuan dari luar, para petani kemungkinan besar akan mengabaikan praktik-praktik keberlanjutan.

Share This