The Palm Scribe

Peru: Kepemilikan Tanah dan Kerangka Hukum yang Lemah

Konten Manajer The Palm Scribe, Bhimanto Suwastoyo, dipilih oleh Good Growth Governance UNDP untuk mengunjungi Peru bersama jurnalis lain dari seluruh dunia untuk melihat bagaimana Peru menyikapi industri kelapa sawit yang sedang berkembang. Artikel ini adalah salah satu dari serangkaian laporan darinya selama di Peru.

LIMA, Peru- Sebagai sebuah negara dengan hamparan hutan Amazon terbesar kedua setelah Brasil, Peru memiliki kerangka hukum lemah yang membuka pintu bagi deforestasi, ujar seorang pakar tentang perubahan iklim dari Perserikatan Bangsa Bangsa (UNDP).

“Penyebab deforestasi yang harus digarisbawahi adalah, adanya sebuah kerangka hukum yang tidak selalu selaras dengan konservasi hutan,” kata James Leslie, seorang penasihat teknis tentang Ekosistem dan Perubahan Iklim dari UNDP yang berbicara kepada wartawan yang ikut serta dalam pelatihan dua hari yang diselenggarakan oleh Good Growth Partnership, pada hari Sabtu (11/5).

Leslie mengatakan, dalam sistem hukum Peru, akses pada kepemilikan tanah didasarkan pada pemohon yang mampu membuktikan telah menduduki sebidang tanah untuk beberapa saat dan telah memperoleh manfaat ekonomi dari tanah tersebut.

Menurut Leslie, hal tersebut memberikan alasan yang cukup bagi orang untuk menebangi sebuah area lahan dan menanaminya, agar bisa mendapatkan sertifikat tanah.

Masalah ini semakin diperparah oleh fakta bahwa setengah dari tanah di Amazon tidak dikategorikan dan dengan demikian terbuka untuk diambil. Di bawah undang-undang Peru, hutan adalah milik negara tetapi tanah yang tidak dikategorikan dianggap sebagai “tanah tak bertuan”. Ini antara lain, telah mendorong migrasi dari area Andes yang kering ke lembah Amazon yang jauh lebih subur.

Statistik menunjukkan bahwa Peru memiliki sekitar 73 juta hektar hutan alam, atau 53,9 persen dari permukaan Peru. Statistik yang sama juga menyatakan bahwa sebagian besar deforestasi yang terjadi adalah melalui peningkatan skala kecil, yang memberikan penjelasan bahwa itu dilakukan oleh petani subsisten skala kecil.

Leslie menambahkan bahwa masyarakat miskin pedesaan yang kekurangan sumber daya memiliki insentif untuk menebang hutan untuk mendapatkan pekerjaan legal atas sebidang tanah, baik untuk digunakan sendiri atau dijual kembali kepada pemilik lain dalam sebuah skema perdagangan tanah. Pemilik tanah yang lebih besar mendapatkan lahan besar yang sudah ditebang oleh petani kecil.

“Penyebab utama (deforestasi) adalah penetapan hak atas tanah berdasarkan penebangan hutan,” kata Leslie, sambil menambahakan bahwa hal itu diperparah dengan tidak ada kejelasan aparatus negara yang mana, yang memiliki tanggung jawab atas implementasi dan interpretasi peraturan tersebut.

Lebih lanjut Leslie menjelaskan bahwa di Peru, setengah dari emisi gas rumah kaca berasal dari deforestasi dan 70 persennya terkait dengan bidang pertanian. Dalam hal penggundulan hutan, 54 persen didorong oleh minat untuk berproduksi langsung di bidang pertanian, serta 40 persen berasal dari minat pada ternak dan enam persen lainnya disebabkan oleh tambang emas.

Sementara itu, Julia Urrunaga, Direktur Program untuk Badan Investigasi Lingkungan di Peru mengatakan bahwa meskipun Peru telah mengesahkan undang-undang kehutanan baru pada tahun 2011 yang mengharuskan pemilik lahan untuk melakukan studi dampak lingkungan dan mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat dan daerah serta 30 persen lahannya disimpan sebagai hutan, implementasinya lemah.

“Bagaimana implementasi hukum tersebut diterapkan, dipahami masyarakat sebagai menebang dan lanjut menanam,” kata Urrunaga dalam acara yang sama.

Share This