The Palm Scribe

Perluas Partisipasi Petani Kecil Dalam Sawit BerKeberlanjutan Dengan Digitalisasi

Tumbuhan kelapa sawit untuk b30

Petani kecil swadaya semakin penting perannya dalam sektor sawit global, termasuk di Indonesia dimana mereka kini memasok sekitar 38 persen dari produksi sawit nasional, dan digitalisasi kini memungkinkan perluasan keikutsertaan mereka dalam usaha mencapai keberlanjutan bagi komoditas ini.

“Saya pikir, digitalisasi merupakan salah satu kunci peningkatan… untuk menggapai lebih banyak petani kecil swadaya,” ujar Trijanto Fitriyardi, Operation Officer dari the International Finance Corporation (IFC). Sebagai lembaga pembangunan yang merupakan anggota dari Grup Bank Dunia, IFC telah mengembangkan aplikasi digital e-Sawit yang mengajarkan praktik pertanian yang baik kepada petani kecil sawit.

Dengan cepatnya peningkatan luas kebun sawit petani swadaya dalam dua dasawarsa terakhir ini, hingga mencapai hampir separuh luasan kebun sawit di negeri ini, maka menjadi semakin penting pula bahwa kebun kebun ini dikelola secara lebih efisien sehingga tidak membutuhkan perluasan lahan lagi.

Namun rendahnya mutu pendidikan mereka, ketiadaan akses mereka kepada pembiayaan, teknologi serta berbagai input pertanian dan juga kemampuan berorganisasi mereka yang rendah, membuat petani swadaya ini akan sulit untuk meningkatkan produktivitas mereka serta untuk berkebun secara berkelanjutan.

Teoh Cheng Hai, seorang penasehat IFC untuk strategi sawit dan outreach, mengatakan bahwa organisasinya telah melaksanakan studi diagnostic dengan menanyai lebih dari 1,000 petani swadaya di Sumatera di tahun 2013 sebagai persiapan proyek kerjasama dengan perusahaan sawit raksasa Musim Mas.

Studi tersebut menemukan bahwa hanya sekitar tiga persen saya dari mereka yang ditanyai, pernah menerima pelatihan pertanian dan kebanyakan mencari informasi mengenai sawit dan cara budidayanya dari tetangga mereka atau keluarga, ujar Cheng Hai dalam sebuah webinar yang diselenggarakan bersama oleh Musim Mas dan IFC belum lama ini.

Kurang dari satu persen dari responden juga memahami apa itu sawit berkelanjutan atau mengetahui adanya badan sertifikasi sawit berkelanjutan seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Undang-undang yang berlaku mewajibkan semua produsen sawit untuk memiliki sertifikasi ISPO.

“Kegiatan yang paling penting dalam meningkatkan produktivitas petani kecil dalam jangka panjang adalah, bantuan teknis, termasuk dalam membangun kesadaran dan pelatihan,” ujar Cheng Hai.

Proyek kerjasama untuk merangkul petani kecil swadaya di bidang persawitan ini mengambil pendekatan bercabang, yang satu dengan membentuk pasukan inti asisten lapangan, melalui pelatihan pelatih, yang kemudian akan mengajarkan petani kecil lainnya mengenai praktik budidaya yang baik. Pendekatan lainnya adalah dengan mengembangkan penggunaan aplikasi digital untuk menyebarluaskan pengetahuan.

“Kami pikir perlu untuk meningkatkan pelatihan petani kecil dan salah satu caranya adalah dengan pendekatan e-learning, pendekatan digital, dan dengan menggunakan perangkap telepon pintar para petani itu sendiri,” ujar Cheng Hai.

E-Sawit, demikian nama aplikasi digital ini ada dalam dua Bahasa – Indonesia dan Inggris – dan dapat diperoleh secara cuma-cuma dari Google play store. Aplikasi ini mengkombinasikan penggunaan keterangan dengan animasi 3-D, model-model 3-D, video serta sulih suara. 

Rahmat Syakib, seorang Operation Officer IFC yang antara lain menangani e-learning, mengatakan bahwa aplikasi ini disertai buku panduan dengan Augmented Reality 9AR) yang memungkinkan pembelajaran non-daring dan sebuah tautan juga diberikan untuk mengakses sebuah video yang berfungsi sebagai buku panduan yang menerangkan langkah-demi langkah bagaimana menggunakan e-Sawit ini.

“E-Sawit merupakan aplikasi AR berbasis penanda, buku panduan AR ini dapat diunduh dari google play store,” imbuhnya.

Rahmat juga mengatakan bahwa sampai kini e-Sawit menyediakan dua modul pembelajaran, satu mengenai pemupukan dan yang kedua mengenai pemanenan.

“Kami berharap akan dapat pada saatnya memperluasnya, dengan lebih banyak modul untuk kurikulum petani,” ujar Cheng Hai sementara Rahmat mengatakan bahwa “kami sedang dalam diskusi dengan mitra lainnya untuk mencari kemungkinan kolaborasi dalam menambah lebih banyak modul.”

Sementara itu, Trijanto mengakui bahwa perluasan penggunaan e-Sawit ini masih menghadapi beberapa permasalahan infrastruktur seperti sambungan internet, serta perlunya petani, terutama yang tua, untuk dapat menggunakan telepon genggam mereka untuk pembelajaran daring.

“Hal ini memerlukan literasi digital, termasuk bagaimana menemukan ini di google play store, bagaimana memasang aplikasi ini dan bagaimana langkah-langkah untuk mengikuti pelatihan ini serta babak quiznya,” ujar Rahmad, dengan menambahkan bahwa pengembang aplikasi ini telah mencoba mengantisipasi masalah-masalah ini dengan menyediakan video pedoman e-Sawit bagi para petani.

Ia mengatakan bahwa para petani dapat belajar dengan e-Sawit ini ketika tidak ada sambungan internet, namun sambungan tersebut diperlukan ketika hendak mengunduh, memasang serta menggunakan aplikasinya.

Ia juga mengatakan bahwa sambungan internet di Indonesia kini semakin membaik seiring dengan meningkatnya program-program pemerintah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan para siswa untuk belajar dari rumah selama pandemic COVID-19 ini.

“Sejak tahun 2015 hingga akhir 2020, proyek ini telah melatih 43.000 petani kecil dalam praktik tata kelola yang baik,” ujar Helen Delima Lumban Gaol, penasehat IFC untuk bidang pengikutsertaan pemangku kepentingan dan petani kecil berbicara mengenai proyek kerjasama Musim Mas dan IFC.

Guntur Cahyo Prabowo , Manajer program petani kecil RSPO Indonesia, mengatakan kepada The Palm Scribe bahwa program e-sawit, yang mulai dipromosikan RSPO sebagai alat pembelajaran pada bulan Desember yang baru lalu, memungkinkan penggunanya untuk  memperoleh pelatihan mengenai praktik tata kelola terbaik dalam pemanenan dan pemupukan, baik sebelum dan sesudah petani mendapatkan sertifikasi keberlanjutan.

“Aplikasi juga memungkinkan pengguna untuk belajar dan menguji pemahaman mereka melalui quiz cepat pada akhir setiap topik pembelajaran. Inovasi AR dalam aplikasi ini menyediakan animasi dan video dari gambar-gambar yang ada dalam buku panduan e-Sawit, menjadikannya interaktif, tidak seperti alat pembelajaran lainnya,” ujar Guntur.

Guntur mengatakan bahwa e-Sawit merupakan alat pelatihan yang baik bagi para petani untuk mempraktekkan pengetahuan dan pemahaman mereka atas kebun mereka sendiri pasca pelatihan mereka. Bekerja sama dengan IFC, RSPO akan menggunakan e-Sawit untuk para pelatihnya dalam Akademi Pelatih Petani Kecil RSPO (STA) sebagai alat dalam pelatihan mereka.

“Diperkirakan bahwa begitu alat ini sudah sepenuhnya diperkenalkan dan disosialisasikan kepada petani kecil melalui pelatihan STA, ia berpotensi untuk menggapai sekitar 5.000 petani kecil di Indonesia saja,” demikian ujarnya.

Baca lebih banyak tulisan oleh Bhimanto Suwastoyo.
Industri perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This