The Palm Scribe

Perlu Kriteria Keberlanjutan, Norma dan Standar Bagi Semua Minyak Nabati: Wamenlu

Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar menekankan pentingnya kriteria, norma dan standar keberlanjutan bersama bagi keseluruhan sektor minyak nabati dan sebaiknya pemerintahan, para pemangku kepentingan dan semua pihak yang berkepentingan bekerja sama untuk mewujudkannya.

Dalam sambutan kuncinya pada webinar berjudul “Keberlanjutan Minyak Nabati: Kesempatan Peningkatan Perdagangan Dua Arah Indonesia-Swedia,” pada 14 Januari 2021, Mahendra menunjuk kepada kenyataan bahwa masih sedikit sekali kegiatan terkoordinasi antara pemerintahan, pemangku kepentingan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, untuk menyiapkan kriteria keberlanjutan bagi minyak nabati secara keseluruhan.

“Sedikit sekali kegiatan terkoordinasi dalam menangani tantangan keberlanjutan pada tingkat minyak nabati pada umumnya dan pentingnya, secara relatif, untuk membangun kriteria keberlanjutan, norma, standar dan sertifikasi bersama untuk keseluruhan sektor ini,” demikian Mahendra mengatakan dalam sambutannya, yang salinannya diperoleh The Palm Scribe.

Indonesia menurutnya, tetap sepenuhnya komit dalam bekerja menuju tercapainya keberlanjutan, dan penting dalam proses ini adalah diperlukannya pertukaran pandangan antara pemerintahan, pemangku kepentingan dan pihak berkepentingan terkait, untuk mendorong kesatuan tujuan dan bilamana mungkin, aksi yang terkoordinasi.

“Hal ini khususnya berlaku bagi sektor minyak nabati karena permintaan yang terus meningkat terus memberikan tekanan pada cadangan tanah global,” ujarnya.

Mahendara mengatakan bahwa dalam hal ini, keunggulan relative produktivitas sawit perlu diperhitungkan dalam melindungi cadangan tanah global ini.

Sawit memiliki tingkat produktivitas per hektar tertinggi diantara sumber minyak nabati lainnya, bahkan mampu berproduksi hampir sembilan kali lebih banyak per hektarnya dibandingkan dengan saingan minyak nabati terdekatnya. Walaupun sudah banyak usaha dilakukan untuk menghasilkan minyak sawit secara berkelanjutan, komoditas ini tetap menjadi sasaran serangan dan boikot yang menggunakan dalih isu lingkungan.

“Pemerintah kami tidak menyetujui penyalahgunaan isu lingkungan untuk menutupi proteksionisme. Langkah demikian tidak saja melanggar persetujuan-persetujuan multilateral tetapi juga menutupi usaha-usaha  sungguh-sungguh para pemerintah, industri dan pemangku kepentingan dalam mencapai keberlanjutan,” ujar Mahendra.

Ia mengatakan bahwa walaupun sebagian besar minyak sawit kini sudah memiliki sertifikasi keberlanjutan dan disertai dengan sistem monitoring yang ketat, diskriminasi terhadap komoditas in terus berlangsung, baik pada tingkat pemerintahan maupun berupa rangkaian kampanye terkoordinasi.

Wakil menteri luar negeri itu mengatakan memang bukan berarti tidak terdapat permasalahan di sektor minyak sawit tetapi permasalahan tersebut hanya akan dapat ditangani dengan benar bila ini dilakukan dalam konteks sebagai satu dari banyak minyak nabati.

“Dalam kasus keberlanjutan minyak nabati, pencapai yang berarti juga kan membutuhkan pendekatan holistik terhadap lingkungan, tidak hanya terfokus pada hutan tropis betapapun pentingnya hal ini, tetapi juga, misalnya pada kontaminasi tanah dan air,” ujarnya dengan mengetengahkan contoh budidaya minyak rapa di Uni Eropa.

Mahendra mengatakan diperlukan pendekatan holistik yang luas terhadap lingkungan, termasuk pertukaran pikiran dan pendapat antara sesama negara atau kawasan produsen minyak nabati demi mencapai pemilihan isu lingkungan mana yang perlu ditangani, dan bukan berdasarkan pilihan sepihak tertentu saja.

Merujuk kepada dibentuknya belum lama ini sebuah kelompok kerja mengenai minyak nabati antara Asosiasi Negara Negara Asia Tenggara (ASEAN) dan Uni Eropa,  Mahendra mengatakan bahwa Indonesia siap memformulasikan dan mendorong diadopsinya standar-standar serta sertifikasi bagi minyak nabati.

Ia juga mengatakan bahwa keberadaan kelompok kerja ini juga penting dalam mengurangi saling mencurigai antara kedua organisasi kawasan ini dalam hal perdagangan minyak nabati.

“UE merupakan eksportir minyak nabati yang penting, terutama dalam bidang pangan, sektor industri yang mencakup oleo-chemical, kosmetik; dan seharusnya merupakan prioritas untuk membangun sebuah kerangka keberlanjutan demi memperoleh perdagangan dua arah dalam minyak nabati dan produknya, yang mulus dan lancar,” ujarnya.

Baca lebih banyak tulisan oleh Bhimanto Suwastoyo.
Industri perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This