Isu perbudakan di perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus dilontarkan oleh banyak pihak. LSM Pusaka, misalnya, sampai pertengahan tahun lalu masih menuduh adanya praktik perbudakan di sebuah perusahaan kelapa sawit di Papua Barat.

Perusahaan yang dituduh, juga perusahaan-perusahaan kelapa sawit lainnya, tentu saja membantah tudingan itu. Mereka mengklaim telah menaati peraturan (Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Perlindungan Anak) dan standar industri (RSPO dan ISPO) yang menentang perbudakan.
Pemerintah cenderung mengesampingkan tuduhan-tuduhan tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari kampanye hitam terhadap kelapa sawit, sumber minyak nabati yang lebih efisien dibanding sumber lainnya dan menjadi saingan mereka yang tak tertandingi.
Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla menyatakan bahwa pemerintah telah membuat aturan yang menghapus praktik perbudakan modern, mulai ketentuan batasan jam kerja, batas umur, hingga ketentuan gaji minimal. Ini dilakukan agar praktek perbudakan tidak terjadi.
Bagaimana isu ini disikapi?
Perbudakan sudah dikenal di Indonesia pada masa kolonial. Dalam rentang sejarah Indonesia, perbudakan bahkan pernah menjadi sistem kerja yang absah. Praktik ini berlangsung pada masa kurun niaga (1400-1700).
Menurut catatan Augustin de Beaulieu, jenderal Prancis yang mengunjungi Aceh pada abad ke-17, dan dikutip oleh sejarawan Anthony Reid, “Raja menggunakan mereka untuk membabat hutan, menggali batuan, membuat adukan semen, dan membangun.” Kongsi dagang VOC juga dikenal sebagai lembaga yang terlibat dalam perdagangan budak dan perbudakan pada masa kolonial, termasuk sektor perkebunan.
Di era modern, bentuk perbudakan pun meluas, meliputi kerja paksa dengan ancaman dan tindakan penganiayaan mental dan fisik, dipaksa bekerja untuk melunasi utang (debt bondage) atau tanpa dibayar, diperlakukan sebagai komoditas yang dapat dijual dan dibeli, mereka dibatasi atau tidak punya kebebasan bergerak memperoleh perkerjaan lain, perdagangan manusia dan eksploitasi anak sebagai buruh.
Perbudakan merupakan praktik yang dilarang di Indonesia, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang ini mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja secara adil dan berperikemanusiaan.
“Industri perkebunan sekarang sudah tidak mengeksploitasi masyarakat, melainkan menjadikannya sebagai stakeholder yang semua haknya dilindungi peraturan perundang-undangan,” kata Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif lembaga Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), kepada The Palm Scribe.
Pemerintah pun mengatur sistem pengupahan yang disebut Upah Minimum Regional (UMR) dan fasilitas penunjang untuk para pekerja, seperti perumahan, kesehatan, dan pendidikan bagi para pekerja perkebunan. Status keanggotaan pada Serikat Pekerja Perkebunan juga diperlukan untuk menghindari adanya pekerja di bawah umur.
“Banyak pekerja yang berlomba jadi karyawan kebun sawit. Karena apa? Pendapatan dan fasilitas pekerja pada kebun sawit jauh lebih baik dari pekerja sektor lain,” ujar Tungkot.
Tungkot menambahkan bahwa stigma perbudakan pada perkebunan kelapa sawit adalah hasil dari pemikiran kolonialisme Belanda yang kini sudah tidak relevan lagi. Terlebih lagi pemerintah Indonesia sudah menggalakkan penerapan berbagai standar keberlanjutan dalam kegiatan produksi kelapa sawit, seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), dan sistem International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) bagi para pengelola perkebunan sawit.
Meskipun demikian, pemberitaan terkait praktik perbudakan khususnya pada industri sawit di Indonesia masih seringkali terdengar. Media Jerman, Deutsche Welle, misalnya pada tahun 2016 menulis tentang praktik perbudakan yang dilakukan oleh salah satu pemain besar industri sawit beberapa tahun terakhir dengan memperkerjakan anak di bawah umur dengan upah rendah dan tanpa peralatan keamanan di Kalimantan dan Sumatra. Hal tersebut menunjukkan bahwa peraturan dan standarisasi yang ditetapkan pemerintah untuk menjaga keberlanjutan proses produksi industri sawit masih lemah.
Inilah yang terus menjadi perhatian dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada, salah satunya Sawit Watch, yang terus berperan aktif mengawasi kegiatan produksi sawit di Indonesia. “Sebenarnya yang paling penting bukan perjanjian di atas kertas putih, tapi praktik dan pengawasan di lapangan,” ujar Maryo Saputra, Kepala Divisi Kampanye Sawit Watch, kepada The Palm Scribe.
Ia menegaskan bahwa masih banyak praktik perbudakan yang dilakukan oleh perusahaan sawit walaupun sudah ada perundangan yang melarangnya.
Sebelum membahas lebih jauh tentang perbudakan, perlu diketahui bahwa perusahaan sawit di Indonesia sebagian besar mempekerjakan dua tipe karyawan perkebunan: pekerja tetap dan pekerja harian lepas. Tentunya ada perbedaan perlakuan yang diterima oleh dua kelompok tersebut dari perusahaan.
“Tiga puluh persen status pekerja perusahaan sawit adalah tetap dan 70 persennya lagi berstatus lepas harian. Pekerja berstatus lepas inilah yang mendapatkan perlakuan yang sangat buruk!” jelas Maryo.
Keadaan pekerja perkebunan di Indonesia sangat kompleks dan definisi perbudakan di perkebunan kelapa sawit sebenarnya samar. Mengapa?
Selain pekerja tetap dan lepas, masih ada lagi kelompok yang disebut sebagai petani plasma di sektor sawit. Petani plasma merupakan subjek utama dari konsep pembangunan perkebunan rakyat yang dilakukan oleh perusahaan. Kewajiban dari perusahaan terhadap petani plasma adalah membina dan memberikan fasilitas yang memadai, serta membeli hasil kebunnya.
Sementara itu, kewajiban yang harus dipenuhi oleh petani plasma adalah memenuhi target produksi kebun dan penjualan perusahaan. Hal inilah yang sering sulit dipenuhi oleh petani plasma, sehingga seluruh anggota keluarga petani plasma tersebut terpaksa ikut bekerja keras tanpa mengenal waktu dan usia demi memenuhi target. Partisipasi seluruh anggota keluarga inilah yang kemudian memunculkan persepsi perbudakan dan eksploitasi anak.
“Fasilitas dan tunjangan memang diberikan, namun hanya untuk bapaknya saja. Untuk ibu dan anaknya yang membantu ke ladang tidak diberikan tunjangan apa pun,” kata Maryo.
Hal tersebut dapat dikatakan legal apabila perkebunan yang ada sepenuhnya merupakan milik sebuah keluarga dan yang tidak ada campur tangan perusahaan pengembangnya.
Tungkot juga menyebut adanya tradisi dalam keluarga yang, karena berbagai alasan, terpaksa menjadikan seluruh anggota keluarga ikut serta dalam meringankan pekerjaan. Bantuan dari anggota keluarga (istri dan anak) seperti ini tidak disertai imbalan. Anggota keluarga tak dianggap sebagai pekerja yang wajib diberi upah.
“Ya kalau anak dan ibu ikut ke ladang untuk membantu ayahnya sah saja, karena itu bentuk dari proses edukasi terhadap anak. Justru itu bentuk dari perlindungan anak agar tidak terlantar,” kata Tungkot.
Pada titik inilah persepsi perbudakan menjadi daerah abu-abu, kata Tungkot. “Kita harus melihatnya kasus per kasus, apakah praktiknya bersifat sukarela dalam lingkungan keluarga, atau merupakan bagian dari praktik sistematis yang dilakukan perusahaan.”
Aturan tentang perburuhan di Indonesia juga masih terlalu luas, sehingga diperlukan regulasi yang spesifik untuk mengatasi kompleksitas yang ada. “Pekerja industri perkebunan itu berbeda dengan pekerja pada industri manufaktur. Pekerja manufaktur masih ada di kota, sementara mayoritas pekerja perkebunan mayoritas berada di area terpencil, sulit dipantau,” kata Maryo.
Sulitnya pemantauan inilah yang menyulitkan upaya perlindungan pekerja jika terjadi pelanggaran aturan. Antara regulasi dan fakta lapangan sering tak sejalan. Pemerintah di satu sisi memang ingin menekan jumlah pengangguran dan melindungi buruh dari praktik perbudakan dengan regulasi dan perundangan yang ada. Namun kurangnya pengawasan di lapangan membuat perusahaan cenderung melanggarnya dan melakukan praktik perbudakan, baik secara langsung maupun tidak.
Pertanyaannya, ada di mana posisi pemerintah sekarang? Tentunya pemerintah berusaha mengimbangi kepentingan ekonomi dan kesejahteraan buruh, mengingat sawit merupakan komoditas penghasil devisa terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Komoditas ini juga sangat berperan dalam pemberantasan kemiskinan di daerah.
Komitmen untuk tegas dan pengawasan lapangan secara rutin menjadi hal penting untuk mengendalikan praktik perbudakan yang ada di Indonesia dan membersihkan citra industri sawit dari perbudakan.
Menanggapi permasalahan ini, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam situs resminya pada bulan Juli 2016 berpendapat bahwa tuduhan perbudakan yang ditujukan kepada industri sawit oleh LSM tidak masuk akal dan menantang balik LSM untuk membuktikan dan melaporkannya secara hukum ke pihak yang berwenang.
Pengawasan lapangan, menurut GAPKI, juga sebenarnya bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Diperlukan kesadaran dari seluruh pemangku kepentingan di industri sawit untuk saling bekerja sama dalam membersihkan citra sawit. Terlebih lagi peran pengawasan rutin dari penerbit sertifikasi ISPO dan RSPO juga diperlukan untuk memastikan bahwa perusahaan perkebuan yang telah memperoleh sertifikasi, melalaikan kewajiban dan komitmennya
Baca lebih banyak berita mengenai Kelapa Sawit disini.
Industri Perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Subscribe to our newsletter
Stay on top of the industry's news because your informed opinion matters to the palm oil industry.
Thank you for your subscription!
We promise to respect your privacy.