Indonesia tidak saja merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia namun juga konsumen terbesar komoditas ini juga, namun masih dibutuhkan edukasi konsumen di dalam negeri agar serapan minyak sawit yang berkelanjutan dapat di tingkatkan di negeri ini.
Direktur Roundtable on Sustainable Palm oil (RSPO) Indonesia, Tiur Rumondang mengatakan bahwa walaupun ada pertumbuhan yang impresif dalam produksi minyak sawit berkelanjutan dari anggota organisasinya dalam 14 tahun terakhir ini, hingga kini mencapai sekitar 19-20 persen dari pasokan global, namun permintaannya tidak sebanding dengan pasukannya.
“Tidak dapat disangkal, bahwa pada kenyataannya… sekitar 15 juta (ton) yang sudah diproduksi dengan sertifikat RSPO, belum sepenuhnya diserap oleh pasar,”, ujarnya dalam sebuah media gathering online yang digagas RSPO Rabu (19/8) untuk mendiskusikan konsep Shared Responsibility dalam menyeimbangkan antara produksi dan konsumsi minyak sawit berkelanjutan, terutama di Indonesia.
Agus Purnomo, Managing Director for Sustainability and Strategic Stakeholder Engagement Golden Agri Resources (GAR) juga mengatakan bahwa saat ini pasokan minyak kelapa sawit berkelanjutan di dalam negeri masih lebih tinggi daripada permintaan. Tingkat penyerapan minyak sawit berkelanjutan baru sebesar 13 persen saja di bulan Juni tahun ini.
“Ketika kami menghasilkan produk yang sudah mendapat sertifikat keberlanjutan, ada masalah, karena para pembelinya ternyata tidak mencari produk tersebut,” ujar Agus.
Ia mengatakan bahwa selama ini produsen minyak kelapa sawit lah yang terberat dibebani dalam mencapai keberlanjutan sektor kelapa sawit dan sebetulnya diperlukan shared responsibility “yang akan mengajak peran serta mereka yang menjadi konsumen, pembeli dari produk-produk sawit untuk turut serta dalam upaya mewujudkannya.”
Tiur juga mengatakan bahwa dengan konsep shared responsibility ini, RSPO ingin mendorong upaya semua pemangku kepentingan dalam rantai pasok minyak sawit untuk mentransformasi pasar dan menjadikan minyak sawit berkelanjutan sebagai norma.
Tulus Abadi, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengakui bahwa di Indonesia, konsumen masih sensitif pada harga, apalagi untuk bahan pangan seperti minyak goreng dan juga terkait dengan konsep berkelanjutan pun konsumen Indonesia masih sangat awam.
“Ini terjadi karena tidak adanya edukasi dari pelaku industri terhadap konsumen tentang pengetahuan produk dan juga tidak adanya kebijakan yang jelas dalam hal ini,” ujar Tulus dengan menambahkan bahwa Undang Undang Perlindungan konsumen melimpahkan tanggung jawab mengedukasi konsumen ini kepada para pelaku usaha.
Tulus juga mengingatkan bahwa konsumen harus diberdayakan lebih dahulu, mengingat faktor daya beli konsumen masih menjadikan mereka sensitif terhadap harga.
“Saat ini upaya bersama sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa produsen yang memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan menerima manfaat yang seharusnya, dan konsumen kemudian menggunakan daya beli mereka untuk memberikan insentif kepada produsen, utamanya petani kecil,” ujar Aditya Bayunanda, Head of Market Transformation WWF-Indonesia, pada kesempatan yang sama.
Tulus mengatakan perlu adanya upaya membangun kesadaran konsumen mengenai produk yang mereka konsumsi. “Konsumen berhak atas edukasi dan pendidikan konsumen tentu saja ini dilakukan oleh pelaku usaha dan juga oleh pemerintah sebagai pemberi izin dan pengawas,” ujarnya.
Tiur juga mengatakan bahwa pendidikan konsumen mengenai product knowledge, pengetahuan mengenai produk, belum ia lihat belum diperankan berbagai pihak. Saat ini konsumen umumnya masih mengaitkan minyak kelapa sawit dengan minyak goreng semata, dan tidak menyadari betapa banyak produk dalam keseharian mereka mengandung komoditas ini.
“Kendala pertama adalah ketika belum semua pihak merasa mengemban tanggung jawab untuk mengedukasi konsumen, tidak hanya konsumen saat ini tetapi juga di masa depan,” ujarnya.