The Palm Scribe

Peran Penting Negosiator Handal Bagi Industri Sawit

Indonesia membutuhkan tim negosiator handal, dimana anggotanya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh atas semua aspek sektor kelapa sawit, agar dapat menangani serangan secara terus menerus terhadap sawit dengan efektif, demikian sejumlah pakar mengatakan.

Rosediana Suharto , Direktur Eksekutif Responsible Sustainable Palm Oil Initiative (RPOI) yang memiliki pengalaman panjang membantu beberapa kementrian dan lembaga negara dalam masalah perdagangan dan pertanian, mengatakan bahwa serangan serangan terhadap sawit, terutama yang dihasilkan Indonesia, membutuhkan kelompok negosiator yang  menguasai berbagai permasalahan menyangkut komoditas kelapa sawit.

Ilustrasi

“Yang harus dilakukan adalah membekali tim negosiator dengan cukup data, sehingga mereka dapat berbicara tentang berbagai isu. Nah ini yang susah,” Suharto mengatakan dalam Sarasehan Nasional Kelapa Sawit 2018. Suharto sendiri memiliki pengalaman luas dalam usaha pemerintah untuk mengadakan lobi dan memberikan tekanan dalam perundingan internasional.

Suharto, yang juga direktur eksekutif Komisi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), mengatakan bahwa tim negosiasi ini juga tidak saja harus kompak tetapi juga didukung oleh data serta definisi yang benar.

Untuk menjadi negosiator handal tentunya membutuhkan data yang tepat agar dapat menjawab tidak hanya pertanyaan yang diajukan tetapi juga tuduhan terkait kelapa sawit Indonesia.

Walaupun beberapa dari tuduhan tuduhan yang dialamatkan kepada Indonesia ini benar, banyak pula yang sengaja dibuat untuk menargetkan kelapa sawit. Ia mengambil contoh langkah Uni Eropa yang akan secara berangsur angsur menghilangkan penggunaan minyak kelapa sawit dalam program energi dan biofuelnya, serta yang menetapkan persyaratan persyaratan yang jauh lebih rumit bagi impor minyak kelapa sawit, termasuk dari Indonesia. Ia mengatakan banyak dari tuduhan dan argumentasinya salah atau dipersiapkan untuk dapat menerapkan rintangan perdagangan bagi sawit.

”Ini bukan perang dagang, ini adalah distorsi perdagangan, kerusakan perdagangan, Ini adalah seratus persen penerapan trade barrier,” katanya.

Dodik Ridho Nurrochmat, Wakil Rektor IPB yang berbicara pada kesempatan yang sama, mengatakan bahwa rencana Uni Eropa untuk menghentikan impor kelapa sawit mereka merupakan contoh langkah yang tidak semata-mata didasarkan atas kepentingan lingkungan. Ia mengatakan bahwa bila Uni Eropa menghentikan pembelian minyak sawit, itu akan berarti minyak nabati lainnya akan mengisi kekosongan yang ada dan ini berarti perlunya ekspansi perkebunan mereka agar dapat meningkatkan produksi.

“Ekspansi tanaman pengasil minyak lainnya jauh lebih cepat dan lebih luas dari sawit, tetapi yang selalu di permasalahkan selalu sawit saja. Masalah ini bukan hanya masalah lingkungan tetapi jelas merupakan masalah ekonomi politis, Ini Jelas,” ujar Nurrochmat.

Kelapa sawit, ditegaskannya, merupakan tanaman penghasil minyak yang paling efektif dan tanaman penghasil minyak lainnya akan memerlukan ekspansi lahan yang jauh lebih luas untuk dapat menghasilkan jumlah minyak yang sama.

“Kalau kita suplainya dari non-sawit, itu artinya kita membiarkan terjadinya perluasan lahan untuk ekspansi tanaman non sawit, mungkin sepuluh kali lebih luas, karena produksinya sepuluh kali lebih rendah,” ujarnya,.

Ia juga mengatakan bahwa adalah tidak adil untuk membandingkan lahan kelapa sawit dengan hutan seperti yang dilakukan banyak pihak. “Lingkungan kelapa sawit seharusnya dibandingkan dengan lingkungan tanaman penghasil minyak lainnya,” ia menandaskan.

Ahmad Manggabarani , mantan direktur jendral perkebunan yang kini direktur Forum Pengembangan Perkebunan Strategis dan Berkelanjutan, mengatakan bahwa pemerintah tak perlu menggubris serangan serangan yang kebanyakan dari Eropa dan Anmerika dengan mengatakan bahwa Eropa dan Amerika itu baru akan tidak menantang dan menghantam kelapa sawit kalau mereka bisa menanam sawit sendiri.

“Daripada dengerin itu lebih baik kita bekerja terus,“ serunya. Baginya, pemerintah kedepannya perlu memberikan perhatian kepada peremajaan perkebunan petani, dan membuat program untuk menyinergikan para pemangku kepentingan dalam meremajakan perkebunan sawit petani,

Suharto juga menghimbau para akademisi di Indonesia untuk membuat banyak penelitian yang hasilnya akan dapat membantu mempertahankan posisi dan kebijakan sawit Indonesia. Ia mengatakan bahwa seringkali ketika ia maju kedalam suatu perundingan, pihak lawan sudah melakukan berbagai penelitian yang mendukung posisi mereka dan ini membuatnya kesulitan untuk menghadapinya.

“Peneliti kita harusnya mengadakan penelitian, sehingga bisa memberikan dukungan dan kita dapat keluar dari permasalahannya,” ujar Suharto.

Budi Mulyanto, dari Departement Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB mengatakan bahwa selain meneliti, para peneliti juga harus mampu menerbitkan penelitian mereka dalam sebuah jurnal ilmiah yang diakui, agar hasil penelitiannya itu bisa dianggap, atau diterima.

 

Share This