Serangan yang terus menghujani sektor kelapa sawit Indonesia beberapa tahun terakhir, hanya ditujukan kepada perusahaan perkebunan besar, sementara petani kecil yang mengelola luasan kebun yang cukup besar tak diperhatikan. Namun, usaha untuk menarik petani kecil ke dalam budidaya yang berkelanjutan banyak menghadapi kesulitan dan karenanya diperlukan peran kuat pemerintah, beberapa pakar mengatakan.
“Memang pemerintah atau negara harus hadir mendorong dan fasilitasi terbentuknya kelembagaan petani,” ujar Ermanto Fahamsyah, Sekretaris Jenderal Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan (FP2SB).
“Mereka (pekebun) harus didorong untuk berkelompok. Siapa yang harus mendorong? Pemerintah, jelas,” imbuh Fahamsyah. Sertifikasi keberlanjutan hanya diberikan kepada kelompok petani, bukan kepada individu.
Petani kecil sawit, terutama yang swadaya, tidak saja tinggal berpencar saling berjauhan, namun juga kurang memiliki pengalaman atau kemampuan berorganisasi. Fahamsyah juga mengatakan banyak kasus dimana petani masih trauma dengan pengalaman buruk dalam berorganisasi.
Berbicara kepada The Palm Scribe, Fahamsyah mengatakan bahwa yang dimaksudnya dengan pemerintah adalah kementerian seperti untuk pertanian dan juga koperasi, tetapi lebih penting lagi dinas-dinas mereka di daerah, pada tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.
Fahamsyah, yang juga dosen di Universitas jember dan aktif dalam usaha memperkuat skema Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun dalam mempersiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Perkebunan, mengatakan bahwa di beberapa daerah, perusahaan juga harus memainkan peran walaupun inisiatornya harus tetap pihak pemerintah.
“Pemerinah harus berperan sebagai inisiator dan dapat didukung oleh perusahaan perkebunan. Motornya tetap harus pemerintah,” ujarnya.
Bagi petani sawit plasma, yang mendukung adalah perusahaan intinya, sementara untuk petani swadaya, seharusnya peran itu diambil oleh perusahaan yang mengoperasikan pabrik kelapa sawit dengan siapa mereka biasanya bermitra.
Ketua Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Agus Pakpahan, percaya bahwa pengembangan kelembagaan petani merupakan tanggung jawab negara, dalam hal ini, pemerintah. “Tugas ini sama saja seperti membangun jembatan atau jalan raya, yang mana hal tersebut tugas negara. Hal yang sama dalam membangun institusi/organisasi petani. Di sinilah tantangan terbesar kita yaitu menunggu kesadaran dan political willPemerintah dalam membangun/investasi institusi petani,” katanya.
Bagi petani sawit, peran pemerintah penting dalam membantu mereka memperoleh sertifikasi, demikian menurut Narno yang mengepalai Forum of Sustainable Palm oil Farmers of Indonesia (FORTASBI). Namun ia menambahkan bahwa peran pemangku kepentingan lainnya, seperti perusahaan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga penting.
” Pemerintah seharusnya hadir dalam bentuk sosialisasi memberikan pelatihan menuju sertifikasi,” demikian Narno mengatakan dalam sebuah emailnya kepada The Palm Scribe. Organisasinya menghimpun kelompok petani kelapa sawit yang sudah menerima sertifikasi dari Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan the International Standard on Certification and Carbon (ISCC).
“Semua perusahaan / pks (pabrik kelapa sawit) yang membeli TBS (tandan buah segar) petani wajib membina dan tidak hanya sebatas jual dan beli,” ujarnya dengan mengambahkan lebih lanjut bahwa LSM adalah pihak yang paling mengenal kebutuhan kapabilitas maupun tantangan yang dihadapi petani karena mereka aktif dilapangan. FORTASBI sendiri, uajarnya, juga memberikan pelatihan bagi petani untuk membantu mereka mendapatakan sertifikasi.
Pakpahan mengatakan bahwa seperti halnya di negara berkembang lainnya, di Indonedsia, kesadaran mengenai pentingnya kelembagaan petani sangat kurang. “kelemahan institusi/organisasi ini jarang disadari sebagaimana dibuktikan oleh kecilnya sumberdaya yang dialokasikan untuk penguatan institusi/organisasi petani,” Pakpahan mengatakan kepada the Palm Scribe dalam sebuah emailnya.
Di Indonesia, produsen, eksportir dan juga konsumen kelapa sawit terbesar di dunia yang memasok sekitar setengah kebutuhan global, petani kecil mengelola sekitar 40 persen dari luasan perkebunan kelapa sawit yan sekitar 14,7 juta hektar. Dengan terus meningkatnya permintaan atas minyak kelapa sawit, peran petani kecil ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mengelola sekitar 60 persen luasan perkebunan sawit di Indonesia pada tahun 2030 menurut Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Initiative (PASPI).
Tetapi, banyak dari petani ini, terutama yang swadaya, menanam kelapa sawit tanpa bantuan dari pemerintah maupun perusahaan dan biasanay tersisihkan dari usaha untuk menjadikan industri sawit berkelanjutan.
RSPO, mengutip data pasar Oktober 2018, mengatakan bahwa jumlah petani keil yang tersertifikasi adalah 110.691 orang dan dari jumlah tersebut, hanya 5,901 adalah petani swadaya. Petani ini mengusahakan 354.220 hektar perkebunan sawit dengan petani swadaya mengelola 26.659 hektar. Luas perkebunan tersertifikasi sekitar 7,5 persen sekitar 4,7 juta hektar perkebunan yang diusahakan petani kecil di Indonesia.
ISPO tidak memiliki data serupa dan hanya melaporkan bahwa pada penghujung 2017, organisasi ini telah menerbitkan sertifikat kepada satu asosiasi petani kelapa sawit swadaya, dua koperasi petani swadaya, dan empat koperasi petani plasma. Sejumlah 450 sertifikat lainnya diberikan kepada perusahan. Sampai pertengahan Desember, data ISPO memperlihatkan sertifikasinya mencakup 3,099 juta hektar perkebunan keil dan besar, atau sekitar 21 persen dari luasan perkebunan totalnya.
Fahamsyah mengatakan bahwa dengan mengorganisir diri mereka, yang paling penting akan didapatkan para petani adalah posisi tawar yang lebih besar.
Bagi Pakpahan, berorganisasi akan menciptakan berbagai insentif bagi para petani untuk melaksanakan proses budidaya berkelanjutan. Selain memperoleh akses lebih luas ke pasaran, berbagai fasilitas, pelatihan dan pembiayaan, mereka juga akan memperoleh pendapatan yang lebih baik, masa depan yang lebih baik, keamanan yang lebih tinggi dan dapat mengembangkan usaha mereka lebih lanjut. Hal-hal yang tak mungkin dapat mereka peroleh bila tidak bergabung dalam organisasi.
Menurutnya, membangun institusi atau asosiasi petani itu tidak mudah dan tidak murah. Apalagi karena skala usaha mereka biasanya kecil dan lokasi mereka berpencar. Mereka juga tidak memiliki akses kepada informasi maupun kemampuan untuk berorganisasi. Karenanya, Pakpahan mengatakan membangun kelembagaan petani harus menjadi bagian tugas pemerintah.
Karena organisasi juga memerlukan tenaga profesional dan kepemimpinan maka “Tentu Pemerintah perlu mendorong atau memfasilitasi lahirnya pemimpin-pemimpin petani dimana para pemimpin petani ini yang nantinya akan menjadi pemimpin yang mengajak para petani untuk mendirikan, membesarkan dan menjaga institusi milik mereka sendiri, bukan milik orang lain.”
Perusahaan juga dapat membantu, mengingat bahwa petani yang lebih baik dan lebih progresif merupakan asset tak benda bagi mereka dan karenanya membantu mengembangkan dan menguatkan organsiasi petani seharusnya tidak dilihat sebagai beban.
Fahamsyah mengatakan bahwa membawa petani ke jalan keberlanjutan merupakan kepentingan pemerintah dan perusahaan juga, terutama ketika pasar meminta ketertelusuran minyak sawit dan bahan mentahnya. Karena intu mereka juga perlu berinvestasi, termasuk untuk menguatkan kemampuan organisasi petani sawitnya.