The Palm Scribe

Peningkatan daya saing mutlak bagi industri kelapa sawit Indonesia

MEDAN – Dengan semakin tingginya persaingan dan proteksionisme di pasaran global, industri kepala sawit Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing atau binasa, kata Ketua Umum Gabungan pengusahan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono.

Seorang pekerja di perkebunan kelapa sawit PT Kayung Agro Lestari, Kalimantan Barat. "Industri kelapa sawit Indonesia harus meningkatkan daya saing, atau selesai," kata Ketua Umum Gabungan pengusahan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono di Medan (28/09/2017). (Foto: Wicaksono/The Palm Scribe)
Seorang pekerja di perkebunan kelapa sawit PT Kayung Agro Lestari, Kalimantan Barat. “Industri kelapa sawit Indonesia harus meningkatkan daya saing, atau selesai,” kata Ketua Umum Gabungan pengusahan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono di Medan (28/09/2017). (Foto: Wicaksono/The Palm Scribe)

Berbicara ketika menutup forum Indonesia Palm Oil Stakeholders yang kedua di Medan, Sumatra Utara, pada 28 September 2017, Supriyono mengatakan bahwa industri kelapa sawit Indonesia memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada pasaran ekspor.

“Tujuh puluh persen produksi kelapa sawit ini, mau atau tidak, lari ke pasar ekspor. Nasib kita bergantung kepada pasaran ekspor dan kita tidak dapat mengingkari,” ujar Supriyono. Namun, pasar ekspor ini kini semakin kompetitif dan protektif, sehingga perlu kerja keras untuk dapat menjaga ekspor kelapa sawit atau meningkatkannya.

“Pasar ekspor sudah semakin protektif. Kita berhadapan dengan negara yang semakin proteksionis, kita berhadapan dengan persaingan yang semakin tinggi,” katanya.

Ia merujuk kepada India, pasar terbesar bagi kelapa sawit Indonesia. Negara ini menaikkan bea impor kelapa sawit menjadi dua kali lipat, dari 7.5 persen menjadi 15 persen. Hal ini kemudian membuat kelapa sawit Indonesia tidak mampu lagi bersaing dengan minyak dari kedelai dan bunga matahari.

Amerika Serikat, pasar utama kelapa sawit Indonesia, juga berencana menetapkan bea anti-dumping pada biodisel dari Indonesia. Sementara itu, Uni Eropa, juga pasar utama bagi kelapa sawit Indonesia,  telah mengeluarkan kriteria impor yang semakin ketat. Kriteria tersebut di antaranya mencakup persyaratan keberlanjutan yang lebih tinggi, serta pelarangan penggunaan minyak kelapa sawit dalam pembuatan biofuel.

“Kita memiliki kebergantungan yang tinggi pada pasar ekspor. Mau atau tidak kita harus mempelajari dan menegosiasikannya, sebenarnya seperti apa persyaratan dari pasaran global ini,” ujar Supriyono.

Supriyono juga menekankan bahwa daya saing yang tinggi merupakan sebuah keharusan bila industri kelapa sawit Indonesia mau terus ada.

“Faktor yang penting adalah daya saing. Tanpa ini, kita tidak dapat maju. Kalau kita tidak menangani masalah daya saing ini ke depan, kita akan selesai,” kata Supriyono.

Sektor kelapa sawit tidak saja harus berhadapan dengan masalah yang berhubungan dengan pasar ekspor tetapi jugafaktor internal, seperti peraturan dan perundangan yang tidak ramah kepada bisins dan industri.

Supriyono mengatakan bahwa Gapki sudah menjadikan isu tersebut sebagai perhatian utama, dan telah membentuk tim advokasi regulasi untuk menangani peraturan peraturan yang dianggap menghambat industri kelapa sawit.

Permasalahan lainnya yang harus ditangani oleh industri kelapa sawit Indonesia adalah bagaimana meningkatkan produktivias dan efisiensi. Satu hal lagi, menurut Supriyono, adalah bahwa tidak semua pemangku kepentingan di industri sawit ini memiliki “bahasa” yang sama.

Ia mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo sangat mengetahui keadaan serta tantangan yang dihadapi sektor kelapa sawit dan sangat mendukung pengembangan industri kelapa sawit. “Mari kita punya rasa optimisme yang besar untuk membangun industri ini ke depan. Yakinlah bahwa industri ini akan berkembang, tetapi ini juga tergantung pada kita sendiri,” ujar Supriyono.

Share This