The Palm Scribe

Penelitian Menunjukkan Risiko Deforestasi oleh Komoditas Selain Sawit Meningkat

Sebuah penelitian oleh CDP, sebuah organisasi lingkungan nirlaba dan penyedia penelitian investasi, memperlihatkan bahwa sementara kelapa sawit menjadi komoditas yang paling dihujat sebagai penyebab utama deforestasi, risiko penggundulan hutan yang ditimbulkan beberapa komoditas selain kelapa sawit meningkat, namun hal ini kurang disadari.

“Kelapa sawit telah menjadi fokus usaha deforestasi, tetapi risiko dari komoditas lainnya seperti kedelai, ternak sapi dan kertas meningkat dan luput dari pengamaatan, dengan potensi mengganggu rantai pasok global,” CDP mengatakan dalam ringkasan laporannya mengenai deforestasi oleh Konsumen yang diterbitkan pertengahan November 2019.

Laporan yang menganalisa 22 perusahaan di sektor barang konsumen, mengatakan bahwa menggantikan minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lainnya, dapat tanpa disengaja mengakibatkan deforestasi lebih lanjut. Perusahaan yang dianalisa ini termasuk produsen makanan, barang keperluan pribadi, rumah tangga, serta penyedia makanan cepat saji.

Kelapa sawit sampai sekaranga masih merupakan tanaman penghasil minyak nabati yang paling produktif per hektarnya. Pesaing terdekatnya, termasuk kedelai, membutuhkan hampir sepuluh kali luasan lahan untuk dapat menghasilkan jumlah minyak yang sama. Kelapa sawit juga dapat dipanen sepanjang tahun dan memiliki umur produktivitas sekitar 25-30 tahun

“Perusahaan perlu mencari jalan untuk memberantas deforestasi dari rantai pasok mereka melalui sebuah kombinasi penelusuran, sertifikasi, dan pelibatan semua pemain di rantai pasok untuk menjadikan praktik-praktik budidaya berkelanjutan menjadi umum,” ujar CDP dalam ringkasan tertulis tersebut.

Laporan tersebut juga mengatakan bahwa tingkat sertifikasi dan ketertelusuran yang ada kini masih belum efektif dalam menangani deforestasi, serta aksi yang mendesak oleh para raksasa dibidang barang konsumsi tersebut diperlukan di sektor hulu .

“Walaupun ada target nol deforestasi untuk tahun 2020 yang ditetapkan oleh Badan Forum Barang Konsumsi (BCGF), hanya ada delapan perusahaan yang didapati telah menerapkan praktek pengelolaan hutan dan penggunaan lahan yang komprehensif (termasuk pertanian dan pengelolaan tanah regenatif),” CDP mengatakan, sambil menambahkan bahwa hal ini terjadi ketika kecenderungan konsumen sedang berubah, menghendaki fokus yang lebih besar pada transparansi dalam pengadaan.

Penelitian CDP memperlihatkan bahwa hanya tiga perusahaan yang telah mencapai 100 persen sertifikasi kelapa sawitnya dan hanya satu perusahaan dibidang perkayuan.

Perusahaan Eropa seperti Nestle, Unilever, dan L’Oreal dengan pendapatan terlaporkan yang lebih besar dan juga risiko pasokan yang lebih besar terkait Komoditas Hutan Berisiko (FRCs), memiliki fokus kepada inovasi produksi berkelanjutan dan juga memiliki kebijakan yang lebih kuat dalam hal risiko yang terkait deforestasi.

Namun volume kelapa sawit berkelanjutan baru mencapai 20 persen dari produksi global.

“Ketika kita mendekati batasan yang dapat diterima planet kita, lebih banyak lagi yang perlu dilakukan di hulu. Perusahaan-perusahaan ini terposisi dengan baik dalam mata rantai nilai untuk dapat mengambil aksi, dan secara cepat,” ujar Carole Ferguson, Kepala Penelitian Investor CDP mengatakan. Dikarenakan kedekatan mereka kepada konsumen, perusahaan-perusahaan ini menghadapi risiko reputasional dari komoditas yang terkait dengan deforestasi, dan ini membawa risiko potensial pada pendapatan mereka.

Berbagai seruan untuk saling berbagi tanggung jawab dalam membuat keberlanjutan sebagai norma di sektor kelapa sawit, terutama bagi sektor hilir untuk menyerap lebih banyak kelapa sawit berkelanjutan, menggema selama Roundtable Annual Conference on Sustainable Palm Oil 2019 yang diadakan organisasi multi pemangku kepentingan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di awal bulan ini. Banyak pihak mengatakan diperlukan penyerapan kelapa sawit berkelanjutan yang lebih besar untuk memotivasi produsen, terutama petani kecil yang menyumbangkan sekitar 40 persen dari produksi global, untuk mencapai keberlanjutan atau tetap berada di jalur tersebut.

Ferguson mengatakan bahwa perusahaan barang konsumen juga harus mulai dengan “transparansi yang penuh dan mendalam dari mata rantai pasok mereka agar perusahaan dapat meminta pertanggung jawaban produsen dan menyajikan keterangan mengenai pengadaan barangnya dan visibilitasnya kepada konsumen mereka.”

Share This