
Bangkok – Pendekatan yurisdiksi, yang berupaya menyelaraskan kepentingan dan mengoordinasikan tindakan antara pemerintah, bisnis, masyarakat lokal, dan LSM, tidak hanya akan mendukung keberlanjutan industri minyak sawit di masa depan, tetapi juga dapat mengatasi masalah lingkungan dan sosial yang dihadapi oleh sektor ini, beberapa panelis terhadap pendekatan tersebut mengatakan saat Konferensi Tahunan ke-17 tentang Minyak Sawit Berkelanjutan (RT17).
“Pendekatan yurisdiksi dapat menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan, serta membantu produsen dalam industri kelapa sawit untuk berproduksi secara berkelanjutan,” Yulhaidir, Kepala Kabupaten Indonesia Seruyan di Provinsi Kalimantan Tengah, mengatakan saat diskusi panel di hari kedua konferensi yang diselenggarakan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada Selasa (5/11).
Seruyan, bersama dengan Sabah di Malaysia, dan Ekuador, telah ditunjuk sebagai proyek percontohan untuk pendekatan yurisdiksi terhadap sertifikasi minyak sawit pada 2015 di bawah skema RSPO.
Pendekatan yurisdiksi untuk sertifikasi berarti memastikan bahwa semua pemangku kepentingan di wilayah yurisdiksi tersebut bekerja dengan pijakan yang sama, untuk memastikan bahwa produksi dan pemrosesan komoditas tertentu dalam yurisdiksi dilakukan secara berkelanjutan dan pada akhirnya, untuk memastikan semua produsen dalam yurisdiksi tersebut mematuhi persyaratan sesuai Prinsip & Kriteria RSPO.
“Untuk memastikan bahwa petani kecil dan produsen diwajibkan untuk mengikuti semua pendekatan yang diperlukan dalam budidaya berkelanjutan, Kabupaten Seruyan juga telah meluncurkan sistem pemantauan berbasis web yang sejalan dengan P&C RSPO,” kata Yulhaidar.
Untuk bekerja menuju penerapan pendekatan yurisdiksi terhadap sertifikasi minyak kelapa sawit, kabupaten Seruyan membentuk kelompok kerja untuk mempersiapkan sertifikasi yurisdiksi. Ini terdiri dari delapan lembaga distrik, perwakilan dari delapan perusahaan kelapa sawit besar yang beroperasi di Seruyan, serta delapan perwakilan organisasi sosial atau masyarakat.
Melalui pendekatan yurisdiksi, Kabupaten Seruyan berupaya tidak hanya meningkatkan produktivitas, membuka akses pasar yang lebih luas dan meningkatkan mata pencaharian petani, tetapi juga untuk mengurangi laju deforestasi, memetakan dan melindungi area bernilai konservasi tinggi, mengurangi konflik sosial, memetakan dan membantu petani untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan menginventarisasi tanah dengan situs budaya.
Prosesnya, kata Yulhaidar, masih jauh dari selesai dan dia menambahkan bahwa keterlibatan semua pemangku kepentingan adalah suatu keharusan, karena “Itu tidak mudah, dan tidak murah,” untuk mencapai status pendekatan yurisdiksi.
“Proses yang lama dan tidak mudah ini memerlukan insentif dari waktu ke waktu, oleh karena itu kami membutuhkan jaminan bahwa pembeli akan membeli komoditas dengan harga yang saling menguntungkan bagi keduanya, karena itu akan terus berkelanjutan untuk semua,” katanya.
Hirauan bagi pembeli untuk mengambil bagian dalam mencapai keberlanjutan dengan membeli lebih banyak minyak sawit berkelanjutan telah menggema selama konferensi berlangsung. Produsen melakukan bagian mereka dengan mencoba mematuhi standar keberlanjutan yang ketat dari RSPO, dan sekarang sudah waktunya bagi para pembeli untuk memikul tanggung jawab mereka.
Frederick Kugan, Wakil Kepala Konservator Hutan dari Departemen Kehutanan Sabah mengatakan bahwa pendekatan yurisdiksi menghemat biaya untuk sertifikasi, yang berarti mereka juga dapat menjangkau pasar yang lebih luas karena daya saingnya.
“Memiliki pendekatan yurisdiksi sangat penting, karena semua masalah yang perlu ditangani, sudah ditangani di tingkat negara bagian; tanah, hutan, petani, semuanya ditangani dalam pendekatan yurisdiksi,” katanya dalam panel diskusi.
Kugan juga mengatakan bahwa sejak diperkenalkan awal tahun 2015, pendekatan ini diterapkan sehingga Sabah juga bebas konflik, sehingga memungkinkan menyediakan mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat di Sabah.
“Sangat penting agar pendekatan yurisdiksi dapat diakui secara terus-menerus,” kata Kugan, seraya menambahkan bahwa Sabah bertujuan untuk menjadi 100 persen tersertifikasi RSPO pada tahun 2025.
Direktur Eksekutif konsultan ACD Maria Albán juga berbagi pengalaman tentang praktek yang sama di Ekuador, yang menjelaskan bahwa dorongan awal di negaranya adalah untuk menyelamatkan lembah sungai Amazon bagian Ekuador, dalam menghadapi perluasan berbagai komoditas, termasuk diantaranya minyak kelapa sawit.
“Kami sedang dalam proses menyelesaikan peta jalan di tingkat nasional sehingga dapat mencapai pendekatan sertifikasi ini pada tahun 2022,” katanya kepada panel, sambil menekankan pentingnya komitmen yang kuat untuk keberlanjutan dari semua sektor, termasuk minyak kelapa sawit.
Ekuador adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua di Amerika Latin, dengan produksi sebesar 550.000 ton pada tahun 2015 dan 87 persen bersumber langsung dari petani kecil. Ekuador adalah salah satu pengekspor utama komoditas kelapa sawit di kawasan tersebut.