Industri kelapa sawit di Indonesia, yang terus diterpa kampanye hitam dengan berbagai tuduhan terkait kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak, memang harus menapaki jalan keberlanjutan, dan disini diperlukan kerjasama antara semua pemangku kepentingan , demikian menurut seorang pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan (Pustanlinghut) (KLHK) Noer Adi Wardjoyo mengingatkan dalam sebuah diskusi public yang bertemakan Sustainable Palm Oil Updatepada hari Kamis (7/6), bahwa ada Sustainable Development Goal (SDG) yang harus dicapai Indonesia, termasuk di industri kelapa sawit.
Menurutnya, solusi keberlanjutan di bidang kelapa sawit, adalah bahwa seluruh pelaku industri termasuk konsumen harus meningkatkan kesadaran akan pola konsumsi dan produksi yang berlandaskan SDG. “Harus kolaborasi, bukan bertengkar antar stakeholder dalam menemukan sebuah solusi,” ujar Wardjoyo.
Putra Agung, Program Manager Sustainable Palm Oil dari World Wild Life (WWF) Indonesia yang menggagas diskusi ini, mengatakan bahwa terlepas dari ada atau tidaknya tekanan eksternal terhadap kelapa sawit Indonesia, sudah saatnya bagi seluruh pemangku kepentingan di industri ini untuk meningkatkan keberlanjutan baik dalam pasokan maupun permintaan.
“Pelaku Unsustainable palm oil mengakibatkan adanya eksploitasi manusia, kelangkaan fauna, masalah air bersih, perubahan iklim, dan deforestasi,”ujar Agung .
Ia mengatakan bahwa dari segi pasokan, keberlanjutan harus meliputi seluruh mata rantai pasokan, tidak hanya pada segi produksinya saja. “Ada dua sektor yang sampai saat ini belum diawasi dengan baik terkait industri kelapa sawit, yaitu retail dan manufacturer yang rantai pasoknya masih cenderung tidak menerapkan sustainable policy,” katanya.
Agung mengatakan bahwa walaupun diterpa serangan secara menerus, peran minyak kelapa sawit sulit digantian minyak nabati lainnya, baik bagi pemerintah dan sektor swasta Indonesia maupun bagi konsumen.
“Kenapa kelapa sawit begitu terkenal? Karena terbukti tingkat efisiensinya lebih tinggi dibandingkan tanaman lain dan tidak ada oil crops lain yang menandingi sawit,” ujarnya
Agung menambahkan bahwa keunggulan kelapa sawit lainnya adalah dapat menghasilkan banyak variasi produk turunan.
“Banyak sekali produk turunan yang dapat dihasilkan, lebih murah ongkos produksinya, ditambah marketnya juga luas dibandingkan komoditi lain,” tukasnya.
Wardjoyo mengingatkan bahwa peran sertifikasi sawit berkelanjutan seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah penting untuk mengetahui pelaku industri mana saja yang mematuhi praktik produksi berkelanjutan.
Namun penggunaan sertifikasi keberlanjutan oleh produsen kelapa sawit di Indonesia diakui kurang efektif dalam meningkatkan angka penjualan. Rhonald Katili, selaku Head Sales and Marketing PT. Sinar Meadow berpendapat ada tantangan internal maupun eksternal bagi produsen yang menggunakan sertifikasi keberlanjutan, dalam hal ini RSPO.
“Untuk internal biaya produksi kita bertambah dan tentunya harga jual yang ada juga bertambah,” ujarnya sembari menambahkan penambahan biaya produksi itu disebabkan adanya persyaratan yang ditentukan RSPO sebagai prosedur dari produksi yang berkelanjutan.
“Kedua eksternal. Kesadaran sustainable product konsumen di Indonesia belum tinggi dan kalaupun ada perusahaan melanggar persyaratan sertifikasi, hukumannya hanya suspend aja sementara demand-nya masih luas,” ujar Katili dalam kesempatan yang sama.
Intan Wibisono, Associate Edelman menanggapi bahwa kesadaran konsumsi dan produksi berkelanjutan kelapa sawit dapat ditingkatkan selama informasi yang beredar lengkap dan semua pihak menjalankan perannya dengan benar.
“Media bisa membantu penyebarluasan informasi yang lengkap, NGO menjalankan perannya sebagai watchdog, dan pemerintah serta pelaku usaha menjalankan regulasi yang sustain,” ujarnya.