The Palm Scribe

Pemerintah Tak Boleh Ragu-ragu Bila  Pro Transparansi, Pro Keberlanjutan Sektor Sawit: RSPO

Ditengah terpaan serangan-serangan terhadap minyak kelapa sawit dan industrinya, Indonesia sebagai produsen terbesar komoditas ini, tidak boleh ragu-ragu dalam mendukung keberlanjutan dan transparansi di sektor ini, termasuk dalam membuka data dan informasi mengenai Hak Guna Usaha  (HGU) perusahaan perkebunan sawit, seorang pakar industri ini mengatakan.

Pemerintah Indonesia, menuruti keputusan Mahkamah Agung di tahun 2019, menetapkan bahwa data dan informasi mengenai HGU konsesi serta data digital yang dikenal sebagai Shapefile tidak termasuk data dan informasi yang terbuka untuk umum, padahal data tersebut penting untuk dapat ikut mengawasi komitmen keberlanjutan perusahaan perkebunan sawit dan dalam membantu masyarakat umum mengklaim hak mereka atas lahan, Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia Tiur Rumondang mengatakan.

“Transparansi ini akan sangat tergantung pada kualitas pemerintahannya sendiri, apakah mereka pro terhadap itu atau masih ragu ragu. Saya yakin tidak ada pemerintah yng tidak pro terhadap transparansi, tapi saya lebih ingin mengatakan ragu-ragu,” Tiur mengatakan dalam  dalam sebuah webinar mengenai transparansi HGU yang diselenggarakan Sawit Watch Rabu 25/11.) 

Ia mengatakan bahwa RSPO sendiri punya kepedulian yang sangat tinggi terhadap praktek transparansi namun di Indonesia lembaga ini juga merupakan salah satu pihak yang mendapatkan kesulitan terkait penerapan transparansi yang diinginkan, karena dibatasi oleh kondisi praktek hukum di indonesia.

Ia menunjuk juga kepada ambiguitas hukum di Indonesia terkait transparansi HGU ini dengan mengatakan bahwa di tahun 2017 Mahkamah Agung menetapkan data HGU dan Shapefile konsesi perkebunan itu merupakan bagian dari ranah publik dan harus terbuka bagi masyarakat namun dua tahun kemudian lembaga yang sama mengubah keputusannya dengan mengatakan kebalikannya.

“Praktek keberlanjutan yang diinginkan oleh seluruh pihak baik perusahan, maupun kami di pihak yang mengelola standar maupun teman-teman dari CSO maupun masyarakat sendiri, tidak akan pernah berhasil kalau negara tidak bisa menetapkan pilihannya, mereka mau sustainable atau tidak,” ujarnya.

Tiur mengatakan bahwa dengan kurangnya transparansi ini, Indonesia juga harus mau melihat isu global palm oil yang diangkat oleh banyak negara di luar Indonesia, secara komprehensif. 

“Di satu sisi kita ingin bilang bahwa we are sustainable, ini adalah trade war, ini adalah ketidakadilan terhadap satu komoditas tetapi di pihak lain kita ingin menunjukkan, this is my authority, ini otoritas saya untuk membuka atau tidak, bukan otoritas kamu,” ujarnya,” tegasnya

Tiur melanjutkan bahwa keadaan ini memperlihatkan ketidak seimbangan dengan upaya Indonesia sendiri untuk memperjuangkan sawit yang baik di negeri ini, sehingga hal ini kemudian dapat dilihat pasar sebagai sesuatu yang tidak saja membingungkan tetapi juga tidak baik.

RSPO sendiri menurutnya memiliki sebagian besar dari data dan informasi HGU anggotanya di Indonesia, namun karena kondisi hukum, dilarang untuk membuka informasi tersebut ke publik. Ia menambahkan bahwa karenanya, khusus untuk Indonesia, data tersebut tidak dapat diakses di laman RSPO seperti untuk konsesi sawit di negara lain,

Ia juga mengatakan bahwa soal transparansi ini tidak akan dapat diperjuangkan sendiri sendiri.

“Transparansi ini memang sesuatu yang harus diperjuangkan bersama sama,” tegasnya.

Agung Ady Setyawan, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia juga menegaskan hal yang sama dengan mengatakan bahwa kelemahannya kini adalah bahwa masing masih pihak masih bergerak sendiri sendiri, belum menjadi gerakan yang konsisten dan menyeluruh.

“Sulit untuk melawan, kalau tidak ada kontrol dari publik dan hanya mereka yang tahu,” Agung mengatakan merujuk kepada kerahasiaan data HGU konsesi.

Baca lebih banyak tulisan oleh Bhimanto Suwastoyo.
Industri perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe. 
Share This