The Palm Scribe

Pemerintah Indonesia Ancam Balik Uni Eropa Terkait Kelapa Sawit


Beberapa pejabat senior Indonesia bereaksi keras dan mengancam balik Uni Eropa menyusul rencana organisasi regional itu untuk melarang penggunaan biodiesel dari minyak sawit di wilayahnya karena dianggap telah bertanggung jawab terhadap deforestasi.

Menteri Koordinator untuk Kemaritiman Indonesia, Luhut B Pandjaitan dalam sebuah acara seminar di Jakarta pada Rabu (27/3), memperingatkan Uni Eropa agar tidak meremehkan Indonesia, sekaligus menekankan bahwa pemerintah siap untuk membela kepentingan nasionalnya.

Dalam kesempatan yang sama, Luhut bahkan mengancam bisa saja Indonesia menyatakan keluar dari kesepakatan perjanjian Paris tentang perubahan iklim, seperti yang juga telah dilakukan oleh Amerika Serikat.

Sehari sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla secara terbuka juga menyatakan kekecewaannya terhadap Uni Eropa yang dikatakannya telah mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia. Ia pun mengancam akan melakukan pembalasan yang sepadan pada organisasi regional di benua biru tersebut.

“Ini hal yang serius karena menyangkut setidaknya 15 juta rakyat Indonesia yang bekerja langsung atau tidak langsung di bisnis ini,” kata Jusuf Kalla di Kantor Wapres pada Selasa (26/3).

Jusuf Kalla mencontohkan bisa saja Indonesia menghentikan pembelian produk Eropa, termasuk diantaranya pesawat Airbus yang terdaftar di Belanda dan pusat pabrikannya berada di Perancis. Dikatakannya, jika Eropa bisa membuat aturan tersendiri, maka Indonesia juga bisa melakukan hal yang sama.

“Kalau seperti itu, kita tidak beli Airbus lagi, itu juga hak kita. Kalau Uni Eropa memiliki hak membuat aturan, kita juga punya hak bikin aturan.”

“Pokoknya retaliasi, kita tidak mengatakan perang dagang, retaliasi saja. Artinya, kalau you larang 10, kita lawan 10 juga,” ujar Jusuf Kalla seperti dikutip oleh beberapa media nasional.

Bagi Luhut Pandjaitan sendiri, bukan pertama kalinya ia garang membela kepentingan Indonesia. Pada saat mengikuti World Economic Forum di Davos Januari lalu, dalam sambutannya di sebuah seminar dengan tema Accelerating Partnerships and Actions for Forests Ia juga menyatakan bahwa Indonesia menolak untuk didikte.

“Kami sangat terbuka, tapi jangan mendikte kami,” ujarnya dihadapan puluhan peserta internasional seperti Albert Gore Jr, Presiden Kolombia Ivan Duque Marquez, dan Satya Tripathi selaku Asisten Sekjen PBB untuk program lingkungan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa (UE) pada 2018 mencapai US$17,09 miliar atau memiliki porsi 10,47 persen dari keseluruhan ekspor. Angka ini menjadi yang terbesar keempat setelah Asean, China, dan Amerika Serikat (AS).

Namun tidak semua pihak setuju dengan langkah retaliasi, terutama pihak pengusaha yang berhubungan langsung dengan Eropa dan mengganggap bahwa keputusan untuk memboikot produk Eropa bisa jadi justru akan kontra-produktif.

Shinta W. Kamdani, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), seperti dikutip oleh HarianJogja.com menyatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebelum memutuskan untuk melakukan boikot.

Pertama, aksi boikot berisiko membuat sektor lain yang juga mengekspor produknya ke Uni Eropa dirugikan. Dia mencontohkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki turut berkontribusi besar terhadap nilai ekspor ke Uni Eropa. Menurut Shinta, total nilai ekspor keduanya dapat menyaingi nilai ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya ke kawasan Uni Eropa.

“Kondisi itu belum menghitung dampak kerapuhan ekonomi Indonesia terhadap potensi berkurangnya lapangan kerja di sektor tersebut akibat konflik Indonesia dan UE,” Kata Shinta Kamdani.

Indonesia juga menyatakan sedang bersiap untuk membawa Petunjuk Energi Terbarukan (RED II)  Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) segera setelah diterapkan.

Share This