Tahun 2018 sekarang akan dikenang sebagai tahun dimana harga minyak kelapa sawit dunia lemah hampir sepanjang tahun sehingga menyengsarakan jutaan petani kecil kelapa sawit di Indonesia, negara produsen terbesar komoditi ini, Apakah pelajaran yang dapat ditarik dari keadaan ini?
Turunnya harga minyak sawit dunia mengakibatkan turunya juga harga jual tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di tingkat petani dank arena skala ekonominya, kejatuhan harga tersebut akan jauh lebih terasa bagi petani kecil daripada perusahaan perkebunan besar.
Kerentanan petani kecil terhadap rendahnya harga untuk waktu yang lama, merupakan pelajaran terpenting yang dapat dipetik dari tahun 2018 dan karenanya diperlukan solusi.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit besar besaran yang terjadi di dasawarsa 1980 dan 1990an, pada awalnya dipimpin oleh program kebun plasma pemerintah. Terus meningkatnya permintaan dunia untuk minyak kelapa sawit mendorong lebih jauh lagi perluasan perkebunan sawit. Walaupun awalnya ekspansi ini dilakukan oleh perusahaan besar, namun langkah ini dengan cepat diikuti oleh petani kecil yang tergiur oleh prospek panen sepanjang tahun dari tanaman ini.
Namun, para petani kecil ini, yang dulunya mengusahakan bermacam tanaman, kemudian menjadi rentan secara ekonomis karena mereka kemudian benar benar bergantung kepada satu tanaman saja, yaitu kelapa sawit, sebagai sumber pendapatan mereka.
Jatuhnya harga kelapa sawit yang berkepanjangan akan dapat mengakibatkan kehilangan sumber pendapatan bagi petani kecil ini, yang mengusahakan kebun sampai dengan 50 hektar tetapi kebanyakan dari mereka hanya memiliki lahan dibawah lima hektar.
Presiden Joko Widodo, yang juga tidak berdaya dalam meningkatkan harga sawit, di bulan Januari 2019 bahkan menghimbau petani kecil untuk tidak lagi menanam kelapa sawit di lahan baru mereka, dan lebih baik menanam tanaman keras seperti kopi dan bahkan petai.
Karena merubah tanaman suatu perkebunan merupakan usaha yang tidak saja banyak membutuhkan biaya maupun waktu, mungkin solusi terbaiknya, yang sudah diterapkan di beberapa daerah, adalah dengan sistem budidaya tumpangsari, dengan menanam tanaman lainnya di sela-sela pohon sawit untuk jangka waktu terbatas maupun jangka panjang.
Budidaya tumpangsari memberikan beberapa keuntungan bagi petani kecil, karena sistem ini tidak saja dapat memberikan penghasilan tambahan atau pendapatan pengganti bila harga kelapa sawit rendah, tetapi juga dapat mengurangi biaya perawatan kebun karena sekarang terbagi untuk dua jenis tanaman.
Keuntungan lainnya termasuk pengurangan kemiskinan bagi mereka yang terpinggirkan, terutama perempuan yang tidak memiliki akses kepada lahan, memaksimalkan penggunaan tanah para petani, memastikan derajat keamanan pangan yang lebih tinggi bari rumah tangga petani, serta menjaga kestabilian hasil kebun dan keuntungan dari kebun petani.
“Pemerintah sangat mendorong sistim tumpangsari pada perkebunan rakyat, terutama pada program replanting dengan tumpangsari,” demikian Muhammad Akmals Agustira, seorang peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) mengatakan kepada The Palm Scribe.
Namun, dalam wawancara emailnya, Agustira menekankan bahwa program tumpangsari ini hanya menggunakan tanaman dengan siklus panen singkat seperti jagung, buah semangka, cabai dan sebagainya.
“Tidak untuk tanaman tahunan, karena tumpangsari hanya dianjurkan sampai dengan TBM 2 saja,” ujarnya. TBM2, merupakan masa tanaman belum menghasilkan periode antara 13 sampai dengan 24 bulan.
Ia mengatakan bahwa contoh sistim tumpangsari perkebunan sawit muda yang sukses ada di kabupaten Musi Banyuasin di Sumatra Selatan.
Bagi Rukaiyah Rafik, Direktur Yayasan Setara Jambi yang banyak membantu petani kecil menanam tanaman pendamping di perkebunan mereka di Jambi, keuntungan sistem tumpangsari ini banyak sekali.
“Pendapatan petani menjadi beragam, tanaman lada dapat mengusir hama tikus karena baunya, dan dapat memberdayakan perempuan,” Rafik mengatakan kepada The Palm Scribe.
Ia menambahkan bahwa pilihan jatuh kepada tanaman lada sebagai tanaman tumpangsari di perkebunan rakyat di kabupaten Batanghari karena beberapa alasan.
Petani setempat sudah mengenal tanaman ini dan memahami budidayanya. Lada juga memiliki nilai ekonomis yang baik yang dapat menambah penghasilan dan tanaman rambat ini juga tidak merusak atau membahayakan tanaman induknya, yaitu kelapa sawit. Lada juga sudah memiliki pasaran yang baik.
Ia mengatakan bahwa tanaman lada ini hanya dapat mulai ditanam ketika tanaman sawitnya sudah mencapai tinggi paling sedikit 1,5 meter sehingga ia dapat merambat dengan baik.
Satu batang sawit dapat ditanami antara enam sampai delapan tanaman lada disekelilingnya.
Dalam sistem tumpangsari dengan lada, batang sawitnya harus dijaga tetap bersih, panen harus dilakukan dengan tangga dan ketika membersihkan pohon sawit dari pelepah tuanya, ini harus dilakukan dengan hati hati sehingga tidak merusak tanaman ladanya.
Ketika sawit masih belum produktif, tanaman terbaik untuk sistim tumpangsari dengan sawit adalah tanaman dengan siklus panen pendek, seperti jagung dan cabai, tambahnya.
Untuk perkebunan yang lebih tua, Rafik mengatakan tanaman lainnya selain lada adalah cengkeh, namun disini diperlukan jarak antara pohon sawit yang cukup, paling tidak sembilan meter, agar cengkeh dapat tumbuh dengan baik. Jenis tanaman lainnya termasuk petai, dan pinang.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman giat mendorong tumpangsari sawi-jagung yang diharapakan dapat mencakup sekitar satu juta hektar perkebunan petani kecil.
Namun, program yang dimulai ditahun 2016 ini difokuskan bagi petani kecil plasma karena bantuan diharapkan datang dari perusahaan induknya dan bukan dari pemerintah. Program ini juga hanya untuk masa sebelum kebun hasil replanting berproduksi.
“Dengan integrasi demikian, pendapatan petani akan meningkat drastis,” demikian Sulaiman dikutip oleh Harian Republika ketika mengunjungi kebun tumpangsari di Pasaman Barat, Sumatra Barat.
Sementara itu, Malaysia, negara penghasil kelapa sawit kedua terbesar di dunia setelah Indonesia, sudah mengadakan serangkaian percobaan sistim tumpangsari antara kelapa sawit dan berbagai tanaman.
Salah satu percobaan yang dinilai berhasil dan merupakan sistim tumpangsari yang paling baik adalah penanaman satu baris kelapa sawit diikuti oleh tiga baris kakao. (Nawi Che Yusoff Leong, C.W. Jamaludin Lamin, Felda Agricultural Services Corp., Kuala Lumpur 1986)