The Palm Scribe

Pegiat Lingkungan Mendesak Dasar Hukum Lebih Kuat Bagi Moratorium Hutan dan Gambut

Sekelompok organisasi lingkungan pada hari Selasa (16/7) meminta agar moratorium tentang pengeluaran izin untuk hutan primer dan lahan gambut yang akan habis masa berlakunya pada Rabu, dibuat menjadi permanen dan diikuti dengan dasar hukum yang lebih kuat.

“Kami menganggap instruksi presiden belum cukup efektif sebagai instrumen hukum, karena tidak ada penegakan hukum,” ujar Lola Abbas, Koordinator Nasional Pantau Gambut kepada wartawan dalam sebuah diskusin media di Jakarta. Ia juga menambahkan bahwa “Salah satu solusi untuk menguatkan regulasi adalah dibuat menjadi perpres.”

“Harapannya adalah selain penguatan landasan hukum dengan dijadikan perpres sehingga akan mengikat semua, pengawasannya juga harus ditegakkan,” Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan pada kesempatan yang sama. Teguh mengatakan bahwa moratorium yang sudah berkali-kali diperpanjang ini, pelaksanaan dan pengawasanya tidak berjalan dengan baik.

Walaupun ada moratorium, tetap saja terjadi 19 kasus pelepasan hutan menjadi konsesi, sembilan diantaranya bahkan diberikan untuk perkebunan kelapa sawit. Ia mengatakan bahwa organisasi yang berkumpul pada hari Selasa ini sepenuhnya mendukung usaha pemerintah untuk menjadikan moratorium ini permanen tetapi perlu ada penajaman serta nilai tambah.

Di bulan Mei 2011, pemerintah mengeluarkan inpres nomer 10 tahun 2011 mengenai penangguhan penerbitan izin baru dan perbaikan pengelolan hutan alam primer dan lahan gambut. Usaha yang merupakan bagian dari kerja sama dengan pemerintah Norwegia dan komitmen swakarsa Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya, secara efektif berarti moratorium selama dua tahun atas penerbitan konsesi hutan baru. Moratorium ini sudah diperpanjang lagi tahun 2013, 2015 dan terakhir di tahun 2017.

Namun Teguh mengatakan bahwa inpres hanya berlaku bagi sejumlah terbatas kementrian dan lembaga negara lainnya dan sebagai dokumen non-legislatif, tidak ada sanksi hukum bila instruksi tersebut tidak diikuti.

Inpres semula ditujukan kepada tiga menteri – kehutanan, dalam negeri dan lingkungan — kepala lima lembaga, yaitu Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan Pembangunan, Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Nasional Tata Ruang, Badan koordinasi Nasional untuk Survei dan Pemetaan dan lembaga pengelola REDD+ serta juga para gubernur, bupati dan walikota. Dua kementerian lainnya yang memiliki peran penting dalam deforestasi dan emisi terkait tidak termasuk, yaitu pertanian dan energi dan sumber daya mineral.

Zenzi Suhadi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan bahwa semenjak tahun 2011 terdapat lebih dari 18 juta hektar hutan yang telah dilepaskan untuk konsesi, dengan demikian memperlihatkan betapa lemahnya implementasi moratorium tersebut.

“Tak cukup dengan inpress kalau kita memang mau selamatkan hutan dari izin baru dan mencegah izin baru. Dia harus bersifat regulasi, berkekuatan hukum, tidak saja mengikat bagi pemerintah tetapi juga menjadi payung hukum,” ujar Zensi.

Teguh mengatakan bahwa moratorium yang permanen seharusnya juga menangani permasalahan yang mendera moratorium yang ada kini. Ia menunjuk kepada pengecualian bagi hutan sekunder dan hutan yang sudah dibalak habis, dengan demikian terjadi kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan sebagian dari hutan yang kaya karbon dan keaneka ragaman hayati. Ia juga menyebutkan pengecualian bagi kegiatan yang tersangkut dengan pangan dan energi, sesuatu yang menurutnya menimbulkan celah yang dapat merongrong pembekuan ijin baru.

Abimanyu Sasongko Aji, project manager Kemitraan-Partnership mengatakan bahwa moratorium yang sudah diperpanjang beberapa kali sampai sembilan tahun lamanya, seharusnya sudah memiliki dasar hukum yang permanen. “Bahkan lima tahun saja, seharusnya sudah jadi permanen,” demikian ujar Aji, seraya menambahkan ”Kami menunggu inisiatif yang lebih solid dari mereka (pemerintah) jika memang benar benar ingin melindungi hutan yang masih ada.”

Aji mengatakan bahwa bentuk moratorium yang permanen juga harus menjami akses bagi masyarakat ke hutan, melalui hutan sosial.

Bagi Lola, salah satu masalah yang dihadapi dalam penerapan moratorium adalah walaupun ada banyak regulasi, banyak pula yang saling tumpang tindih. “Regulasi yang tumpang tindih kelihatan seperti saling memberi celah bagi pembukaan lahan gambut, jika lahan gambut sebaiknya tidak diutak atik lagi.”

Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan bahwa bila dijadikan permanen, moratorium harus menjadikan keharusan bagi perusahaan untuk merestorasi ekosistim gambut di konsesi mereka yang terdegradasi, dan usaha ini juga harus transparan. Juga harus disyaratkan peninjauan kembali semua konsesi hutan seperti halnya dengan moratorium kelapa sawit, hingga dapat dilihat yang menaati peraturan dan yang tidak.

Teguh juga mengingatkan bahwa dengan berakhirnya moratorium yang ada, juga masa peralihan antara pemilihan umum dan pengangkatan presiden, pihak yang berwenang harus lebih hati-hati karena di masa masa vakum ini terbuka kesempatan bagi pengeluaran izin yang bermotivasi politik maupun kepentingan perorangan atau korporasi.

 

 

Share This