The Palm Scribe

Pegiat Lingkungan: Lembaga Keuangan Harus Mendorong Keberlanjutan di Sektor Sawit

Sekelompok organisasi lingkungan mengingatkan lembaga keuangan bahwa mereka memiliki tanggung jawab terhadap keberlanjutan di sektor kelapa sawit, dan seharusnya tidak memberikan pinjaman kepada perusahaan minyak sawit yang tidak mengelola usaha mereka secara berkelanjutan, termasuk dalam pengormatan hak asasi individu maupun masyarakat.

Bank dan lembaga keuangan non-bank, menurut pegiat lingkungan yang dinyatakan dalam sebuah rilis bersama mereka untuk media, seharusya mensyaratkan kebijakan No Deforestation, No Peat Development, and No Exploitation (NDPE) bagi pembiayaan mereka kepada perusahaan minyak sawit.

“Bagaimana bank dan Lembaga non-bank turut berperan aktif dalam menerapkan keuangan berkelanjutan di Indonesia, adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip NDPE dalam memberikan pinjaman dana kepada perusahaan minyak kelapa sawit terutama sebagai penyalur biodiesel untuk menciptakan biodiesel yang berkelanjutan di Indonesia,” ujar mereka dalam rilisnya.

Bayu Sediantoro dari Link-AR Borneo mengatakan, bahwa peraturan Otorita Jasa Keuangan (OJK) tahun 2017 mengharuskan bank menerapkan kebijakan berkelanjutan, termasuk dalam aspek sosial dan lingkungan, namun hal ini masih belum banyak dipatuhi.

“OJK harus dapat memastikan bahwa bank-bank besar yang meminjamkan uangnya untuk perusahan perkebunan sawit menjalankan kebijakan berkelanjutan. Selain itu juga OJK harus membuat regulasi khusus yang menyangkut keberlanjutan ini dengan standar dan indikator yang terukur, sehingga kedepan tidak terulang lagi kebakaran hutan dan lahan tersebut,” dikatakan dalam rilis.

Ismail dari Padi Indonesia, mengatakan bahwa  OJK harus serius terhadap komitmen kebijakan NDPE dengan memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan yang selama berbulan-bulan telah membakar ribuan hektar dan mengganggu kesehatan ribuan orang.

Ia juga mengatakan OJK juga harus mampu memastikan adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran hak hak azasi manusia di konsesi perusahaan sawit.

Mereka mengutip data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana  (BNPB) yang menyebutkan kebakaran hutan dan lahan telah menghanguskan 328.722 hektar hutan dan lahan dalam delapan bulan pertama tahun ini dan juga menimbulkan gangguan infeksi saluran pernafasan (ISPA) bagi 919.516 orang selama delapan bulan terakhir hingga September.

“Lembaga keuangan wajib memperhatikan isu lingkungan dan isu sosial ketika memberikan pembiayaan ke perusahaan perkebunan sawit,” rilis tersebut menyatakan, dengan menambahkan bahwa lembaga keuangan yang memberi dana kepada korporasi pembakar hutan dan lahan harus bertanggung jawab atas dana publik yang mereka kelola dan salurkan kepada korporasi tersebut.

Hadi Jatmiko dari LHI (Lingkar Hijau Indonesia) menyebutkan harus ada penegakan hukum yang luar biasa dalam kasus kebakaran hutan dan lahan dan lembaga keuangan perbankan harus terlibat dengan memberikan sanksi terhadap perusahaan pelaku kebakaran hutan dan lahan.

“Jika perbankan tidak memberikan sanksi maka kami mengajak masyarakat memboikot dana pada bank-bank yang diketahui membiayai pelaku kebakaran hutan dan lahan,”ujar Hadi.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch menyampaikan bahwa berdasarkan hasil pantauan organisasinya, terdapat sedikitnya 14 perusahaan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang teridentifikasi wilayah konsesinya terbakar selama periode Januari-Oktober 2019. Bahkan ada perusahaan yang konsesinya mengalami kebakaran hutan dan lahan secara berulang sejak tahun 2015.

“Lembaga sertifikasi RSPO harus menjamin bahwa anggota-anggota RSPO yang lahannya terbakar mendapatkan tindakan tegas. Selain hal diatas, pemerintah, perusahaan sawit, OJK dan serta lembaga finansial yang mendukung industri sawit juga harus turut bertanggung jawab,” tambah Inda.

Muhammad Busyro Fuad dari Elsam menyatakan, kasus terulangnya kebakaran hebat hutan dan lahan tahun ini merupakan indikator penting bahwa upaya yang dilakukan Pemerintah sepertinya tidak mampu mengurangi atau menghentikan pembakaran/ kebakaran hutan dan lahan.

“Selain Pemulihan hak-hak korban, harus ada upaya preventif lain yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menghentikan karhutla, salah satunya melalui sektor Pembiayaan,” ujar Busyro. Perbankan, menurutnya,  harus memiliki komitmen tegas untuk tidak memberikan pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kasus karhutla dan pelanggaran HAM lainnya.

Kelompok pegiat lingkungan ini juga mengatakan bahwa selain  membuat standar kebijakan dalam industri kelapa sawit yang menaati prinsip prinsip keuangan berkelanjutan, OJK harus juga mulai mendorong lembaga keuangan untuk mengintegrasikan uji tuntas HAM sebagai bagian dari mekanisme perizinan dan pengawasan terhadap setiap entitas bisnis.

Share This