Dua tahun setelah diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) nomor 8 tahun 2018 yang dikenal dengan moratorium sawit, berbagai kalangan pada hari Rabu (30/9) mengatakan pelaksanaannya masih banyak mengalami tantangan dan perlu kiranya inpres tersebut diperpanjang.
“Kami dari masyarakat sipil berharap Inpres ini bisa diperpanjang supaya bisa lebih serius kedepan,” ujar Andi Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch dalam sebuah diskusi daring membicarakan dua tahun moratorium sawit.
Inpres yang diterbitkan tanggal 19 September 2018 ini berlaku untuk waktu tiga tahun dari tanggal diterbitkan.
Andi mengatakan dalam diskusi yang dihelat organisasinya itu bahwa pelaksanaan moratorium izin konsesi baru perkebunan kelapa sawit, evaluasi perizinan yang sudah dikeluarkan serta peningkatan produktivitas sawit, masih belum optimal dan masih banyak menemui tantangan, terutama di daerah.
“Kita jangan menutup mata untuk dimensi sosial budaya dan dimensi lingkungan, karena tidak dapat dipungkiri persoalan persoalan besar ada di dua dimensi ini,” tegasnya.
Ia mencontohkan bahwa banyak keluhan dari pemerintah daerah yang menunjuk kepada belum adanya petunjuk teknis pelaksanaan untuk implementasinya serta tidak adanya pencadangan anggaran baik dalam APBN maupun APBD untuk menjalankan inpres ini.
Ia juga mengatakan bahwa masyarakat sipil juga tidak mendapatkan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan moratorium ini di tingkat nasional.
“Di Inpres ini ada mandat beri laporan secara reguler, setiap enam bulan atau saat ketika dibutuhkan presiden, untuk menyampaikan laporan kepada presiden, nah ini laporan ini kami dari masyarakat sipil dan koalisi nasional ini tidak terinformasikan,” ujar Andi.
Sementara itu Abu Meridian dari Kaoem Telapak mengatakan bahwa sama pentingnya adalah merencanakan apa yang perlu dilakukan bila Inpres tersebut diperpanjang.
“Apa sih yang perlu dilakukan kalau Inpres in diperpanjang?” tanyanya.
Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan dalam kesempatan yang sama bahwa salah satu masalah yang masih mengganjal dalam usaha memperbaiki tata kelola sektor perkebunan dan industri kelapa sawit di Indonesia, seperti yang diinginkan dengan dikeluarkannya Inpres nomor 8 tahun 2018 itu, adalah belum adanya rancang tata kelola berkelanjutan yang komprehensif bagi sektor komoditas ini.
“Karena memang sampai saat ini memang belum ada design tata kelola usaha perkebunan dan industri kelapa sawit di Indonesia yang terintegrasi dari hulu ke hilirnya yang memenuhi prinsip keberlanjutan atau keberlanjutan terhadap pembangunan,” ujar Lili.
Keadaan ini pula yang menjadikan sektor ini masih rawan tindak pidana korupsi, imbuhnya. Ia menambahkan bahwa KPK sendiri telah menemukan beberapa persoalan di sektor kelapa sawit Indonesia yang masih membutuhkan penanganan.
Ia menyebutkan sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit yang tidak akuntabel, tidak efektifnya pengendalian pungutan ekspor komoditas kelapa sawit, kemudian tidak optimalnya pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh dirjen pajak.