The Palm Scribe

Pakar: Pengelolaan Air Yang Baik Kunci Restorasi Lahan Gambut

Pengelolaan air yang baik di lahan gambut merupakan kunci utama dalam mengolah lahan gambut secara berkelanjutan, demikian beberapa pakar pengolahan lahan gambut berpendapat.

Faizal Parish, Global Environment Centre & Co-Chair dari Peatland Working Group Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mengatakan lahan gambut merupakan ekosistem yang rapuh dan harus dijaga dengan baik, termasuk dengan memperkuat sistem pengelolaan airnya.

“Menurut saya, sangat penting untuk mengenali lahan gambut merupakan ekosistem yang sangat rapuh, dan kita perlu memperlakukannya dengan baik. Selain itu, pengelolaan air adalah tindakan jangka panjang yang sangat baik untuk menjaga lahan gambut,” Faizal mengatakan dalam sebuah webinar yang diadakan oleh Sawit Watch pada Rabu (2/12). 

Suryanta Sapta Atmaja, dari Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengamini pendapat Faizal, dengan mengatakan bahwa pengelolaan air merupakan proses paling penting dalam proses rehabilitasi gambut. 

Pengelolaan air yang efektif di lahan gambut adalah untuk menjaga ketinggian air yang optimal agar gambut tidak mengering pada musim kering dan mengalirkan air berlebih ketika musim hujan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat kanal-kanal dengan pintu air yang dapat dibuka dan ditutup sesuai dengan kebutuhan.

Ia menambahkan lahan gambut memiliki fungsi sebagai pengikat air, menjaga agar air yang telah ada di lahan tersebut untuk tetap berada disitu. Bila air tersebut hilang, bencana mungkin akan terjadi.

“Kita harus menjaga ekologis gambut secara baik, fungsi gambut itu sendiri kan mengikat air, menjaga air untuk tetap ada disitu, kalau air itu sampai hilang mungkin itu adalah bencana buat kita semua,” ungkap Suryanta. 

Dermawati Sihite, Kepala Sub Kelompok Kerja Supervisi Pengelolaan Lahan Konsesi, Badan Restorasi Gambut (BRG) yang juga berpendapat sama, bahwa pengelolaan air merupakan tantangan dalam menjaga keberlanjutan lahan gambut, mengatakan tantangan lain yang dihadapinya dalam restorasi gambut adalah banyaknya pihak yang terlibat.

“Pada restorasi gambut itu tidak hanya ada konsesi dan unit-unit yang lain, ada juga LSM, masyarakat daerah, pemerintah, swasta, jadi terkadang terlalu banyak kepala jadi sulit untuk mengerucutkan solusi. Sehingga harus terdapat kesatuan satu sama lain antara pihak untuk membuat restorasi gambut ini bekerja dengan baik,” ujar Dermawati. 

Dermawati menambahkan bahwa kolaborasi antara seluruh pihak ini merupakan hal yang mudah untuk dirancang namun sulit dilakukan. Telah banyak skema yang dirancang oleh RSPO maupun pemerintah namun masih belum dikerjakan bersama-sama.

“Kuncinya adalah bagaimana ada kebersamaan dari berbagai pihak, untuk sama-sama melakukan pengelolaan gambut yang lestari dan ini jadi pr kita bersama. Karena mudah diucapkan tapi sulit untuk dilakukan. Sudah banyak skema dari RSPO, pemerintah, nah kita tinggal sama2 mengerjakan hal ini,” tambah Dermawati. 

Bagi I Nyoman Suryadiputra, Ketua Dewan Eksekutif Yayasan Lahan Basah mengatakan salah satu permasalahan yang juga sering dialaminya dalam usaha restorasi gambut adalah ketidakharmonisan antara pemetaan yang dirancang oleh pemerintah dan lembaga gambut.

“Ada semacam ketidakharmonisan antara kebijakan yang di dalam negeri kita sendiri, baik tingginya air tanah gambut, data pemetaannya itu sering berbeda-beda,” ujar Nyoman. 

Ia juga menambahkan bahwa gambut itu berbeda dengan tanah mineral, gambut dinilai lebih dinamis dan dapat berubah-ubah luas lahannya. 

“Apa yang kita petakan hari ini, belum tentu hasilnya sama dengan minggu depan atau bulan depan. Kuncinya yang harus dipahami kita bersama, lahan gambut itu lahan yang sangat fragile dan dinamis tidak seperti tanah mineral,” tambah Nyoman.

Sofyan Ritung dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian juga menyarankan agar memonitor lahan gambut secara teratur dan menggunakan teknik pemetaan yang sama, agar dapat diperoleh data yang pasti.

“Perlu kita lakukan secara berkelanjutan, karena terus ada perubahan-perubahan bisa jadi karena teknik pemetaan atau bisa jadi memang berubah, monitoring itu penting sekali untuk dilakukan, diperbaharui minimal sepuluh tahun sekali kalau bisa lima tahun karena gambut itu sangat dinamis,” tutup Sofyan.

Baca lebih banyak tulisan oleh Didiet Nugraha.
Industri perhutanan? Kunjungi The Forest Scribe.
Share This