Pertemuan dengan kawan lama, apalagi dari negeri seberang, biasanya akan meninggalkan perasaan yang hangat dalam diriku, tetapi kali ini, ia juga meninggalkan banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban.

Kawanku ini aktif dalam bidang lingkungan, baik di negeri asalnya sendiri maupun di negara dimana ia kini tinggal. Minatnya tidak hanya terbatas kepada isu-isu lingkungan yang umum seperti asap dan kebakaran hutan, deforestasi dan sebagainya, tetapi juga nasib penduduk asli serta hak-hak petani serta buruh pertanian dan perkebunan beserta keluarga mereka.
Iapun menanyakan mengenai kabarku dan ketika aku beritahu bahwa kini aku bekerja pada Palm Scribe, sebuah reaksi candaan spontan terlontar dari mulutnya: “Ahaa, kamu sekarang bekerja untuk kekuatan jahat?”
Walaupun dimaksudkan sebagai candaan, sudah terlalu sering kutemui reaksi seperti ini. Dan hal ini memicu reaksi otomatis pula dariku, dengan berbekal apa yang kuketahui mengenai sawit dan permasalahannya kucoba menepis deretan salah pengertian mengenai industri ini yang sayangnya sudah jauh mengakar.
Aku juga menegaskan padanya bahwa sebenarnya tak ada yang salah dengan minyak sawit, asalkan memang ia dihasilkan secara berkelanjutan.
Jawabanku ternyata hanya memicu serangan lanjutan dari kawanku ini. Ya, memang, sawit dapat saja dibudidayakan secara berkelanjutan, namun menurutnya, hal ini sangat jarang terjadi. Ia kemudian melanjutkan dengan menyebutkan serangkaian persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat menghasilkan minyak sawit berkelanjutan.
Ia tak boleh ditanam di lahan gambut, tidak boleh membuka untuk itu, harus disertai pengelolaan air dan pupuk yang baik dan pengelolaannya juga harus transparan. Ia juga tak lupa menambahkan bahwa perkebunan sawit berkelanjutan tak boleh mempekerjakan anak-anak, harus menaati ketentuan upah minimum, termasuk bagi buruh hariannya, harus memberikan layanan kesehatan dan pendidikan bagi pekerja dan keluarga mereka serta harus menghormati hak-hak buruh serta masyarakat setempatnya.
Dan ternyata, rentetan pernyataannya tersebut baru pemanasan saja baginya. Kawanku ini kukenal sebagai pribadi yang rasional namun kali ini nampaknya sawit telah menjadikannya sedikit emosional. Karenanya kucoba berdebat dengan sisi rasionalnya, bukan dengan sisi emosionalnya.
Tak boleh ada sawit di lahan gambut? Kalau memang perundangan dan peraturannya mengatakan demikian, ya sudah, Tetapi harus pula diingat banyak contoh kebun sawit di lahan gambut di Indonesia ini yang masih produktif walaupun sudah hampir seabad umurnya. Dan tak ada tanda-tanda lahan gambut tersebut memiliki emisi karbon yang lebih tinggi dari normal.
Ia jelas masih nampak tak percaya dan agar ia tak segera berpikir bahwa aku hanya asal bicara, , kuberikan padanya nama daerah di Sumatra Utara dimana perkebunan yang kumaksud berada.
Ia segera mengambil tabletnya dan, mengikuti tradisi masa kini, mulai mengecek kebenaran pernyataanku kepada Mbah Google. Ditengah kesibukannya mengecek hal ini, kutambahkan bahwa tatakelola air yang baik merupakan kunci budidaya sawit berkelanjutan di lahan gambut, serta perkebunan di Sumatra Utara ini adalah contoh nyata yang membenarkan ini.
Sepertinya ia berhasil menemukan keterangan mengenai perkebunan tersebut karena iapun kemudian terlihat tak setegang sebelumnya. Akupun tak mau kehilangan momentum dan segera menambahkan bahwa kebanyakan konsesi sawit yang baru, kecuali mungkin di Indonesia Timur, seperti di Papua, merupakan konsesi yang sudah lama dikeluarkan. Konsesi-konsesi ini biasanya juga diberikan atas lahan hutan yang sudah ditebang habis oleh perusahaan kayu,kertas dan plywood maupun oleh pembalak liar. Pemerintah sendiri, sambungku, kini juga memprioritaskan pemberian konsesi diatas lahan yang terlantar atau sudah terdegradasi.
Namun kawanku ini rupanya tak mudah diyakinkan. Iapun berganti taktik dan mengemukakan argumentasi bahwa perkebunan sawit merupakan budidaya monokultur yang tidak saja menggundulkan areal yang luas tetapi juga mengancam kelanjutan berbagai spesies flora maupun fauna langka serta sama sekali tidak mengindahkan kesejahteraaan masyarakat setempatnya.
Kujawab bahwa memang ada perusahaan sawit yang serakah tetapi kesalahan sebenarnya juga tidak hanya berada di pihak perusahaan seperti itu. Adalah pemerintah sendiri yang memberikan izin konsesi dan dikarenakan landasan data dan informasi yang lemah, konsesi-konsesi sering mencakup daerah dengan nilai konservasi tinggi maupun nilai stok karbon tinggi.
Daerah-daerah seperti itu seharusnya dikonservasi dan dilindungi, bukan diolah, namun perundangan mengharuskan para pemegang konsesi untuk mengolah keseluruhan konsesi mereka dan serentetan hukuman menanti mereka yang lalai.
Kawanku ini sepertinya tetap tak bergeming dan terlihat siap untuk melanjutkan serangannya. Aku mendahuluinya dengan memberikan beberapa contoh praktik berkelanjutan oleh perusahaan perkebunan.
Kuceritakan mengenai perkebunan yang bekerja sama dengan pemegang konsesi tetangganya, berhasil memperoleh dukungan seorang gubernur untuk menjadikan sebuah daerah dengan nilai konservasi tinggi sebagai Kawasan Ekonomi Esensial (KEE), sebuah ekosistim yang dilindungi dan di kelola sebagaimana hutan konservasi tetapi juga memberdayakan masyarakat setempatnya.
Kawasan tersebut, lanjutku, juga meliputi sebuah koridor hayati yang memungkinkan pergerakan populasi orang hutan antara sebuah taman nasional serta sebuah hutan gambut, keduanya habitat utama bagi hewan dilindungi tersebut.
Walaupun jelas keyakinannya sudah mulai melemah, kawanku ini nampak tidak ingin percaya begitu saja dan ia segera kembali berpaling kepada Mbah Google untuk meminta petunjuk.
Setelah jelas bahwa apa yang kukatakan tadi bukanlah omong kosong, sikapnya mulai berubah lebih ramah. “Hal seperti ini seharusnya di terapkan dimana-mana,” sergahnya sembari terus membaca mengenai apa yang dilakukan perusahaan perkebunan ini.
Semenjak itu, pembicaraan kami kembali menjadi ramah dan bersahabat dan kamipun terus membicarakan berbagai isu dan perkembangan yang berkaitan dengan minyak sawit.
Ketika kami akhirnya berjabat tangan sebelum berpisah, ia mengutarakan harapannya bahwa aku akan terus mengabarinya mengenai perkembangan-perkembangan baru dan menarik di industri sawit.
Ketika kuberanjak pergi, perasaanku melambung tinggi. Perasaan senang karena telah bertemu dengan seorang kawan yang sudah lama tak kujumpai, tetapi juga karena keberhasilan menepis beberapa mitos dan salah pengertian mengenai sawit, sebuah komoditi yang telah menimbulkan begitu banyak salah persepsi maupun emosi.
Namun dalam perasaan hangat yang menjalari tubuhku ini, terselip juga banyak tanda tanya yang tertinggal dari pembicaraan dengan kawanku ini.
Bagaimana mungkin informasi sedemikian penting mengenai komoditi yang juga tak kalah penting ini, sampai tak terdengar olehnya? Mengapa contoh-contoh praktik baik dalam bidang sawit ini tidak mendapatkan perhatian yang seharusnya mereka peroleh? Mengapa hanya hal-hal buruk dan negatif saja yang terdengar bila minyak sawit dibicarakan?
Jawabannya mungkin terletak ditangan industri sawit itu sendiri. Selama ini industri sawit sepertinya masih terperangkap oleh trauma setelah bertahun-tahun terus menjadi sasaran perundungan, serangan dan kritik. Selalu disalahkan sebagai biang keladi banyak bencana seperti perusakan lingkungan, deforestasi, musnahnya beberapa species hewan, perbudakan serta pelanggaran hak-hak manusia lainnya, sampai kepada tuduhan dikuasai oleh nafsu serakah dan keuntungan ekonomi belaka hingga mengorbankan sisi keberlanjutan.
Sebuah trauma yang telah menjadikan industri ini tidak saja alergi terhadap pertanyaan, darimanapun datangnya, tetapi juga telah mengungkunnya dibalik cangkang tebal yang mencegahnya berlaku lebih terbuka serta mampu berekspresi.
Akibatnya, apa yang kita dengar mengenai industri ini hanyalah tuduhan tuduhan dan keributan negatif lainnya sementara industri sawit tetap terdiam seribu Bahasa. Kebisingan yang dihadapi industri ini dengan kesenyapan dan juga sikap pembelaan diri saja.
Mungkin sudah waktunya bagi industri kelapa sawit untuk menyadari pentingnya komunikasi yang baik. Pentingnya dapat menceritakan narasinya sendiri. Narasi yang benar, yang didasarkan atas fakta fakta yang kuat serta mencakup baik cerita keberhasilan maupun pahitnya kegagalan.
Mungkin ini terdengar sulit, namun tanpa adanya narasi dari industri ini sendiri, kebisingan yang akan terdengar hanyalah yang berupa hembusan bernada negatif saja.
Mungkin sudah saatnya industri sawit keluar dari cangkangnya dan menanggalkan kebisuan yang telah lama mengungkungnya,