The Palm Scribe

Mengubah Pola Pikir Industri Kelapa Sawit yang lebih Bertanggung Jawab

JAKARTA – Bagi Anita Neville, menghadapi tantangan terberat pada sektor kelapa sawit yang berkembang pesat  di Indonesia ini, adalah  bagaimana merubah pola pikir industri kelapa sawit yang sudah lama mengakar.

Pola pikir industri kelapa sawit
Anita Neville

Sebagai Wakil Presiden untuk komunikasi Korporasi dan Hubungan Keberlanjutan bagi Golden Agri-Resources Ltd,  (GAR) Neville mengembangkan serta bertanggung jawab atas komunikasi korporasi maupun komunikasi keberlanjutan bagi perusahaan kelapa sawit kedua terbesar di dunia ini.

Ia membawa serta segudang pengalamannya bekerja dalam bidang keberlanjutan selama bertahun-tahun dengan berbagai pihak, seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat maupun dunia usaha.

“Tantangan terberatnya adalah bagaimana merubah pola pikir industri kelapa sawit serta perilaku orang,” Neville bercerita kepada the Palm Scribe beberapa waktu yang lalu.

Ia mengatakan bahwa bekerja merubah peri laku maupun pola pikir yang seringkali sudah mendarah daging dan menjadi kebiasaan untuk sekian lamanya, tidaklah mudah. “Ini berkaitan dengan mengganti kebiasaan buruk yang lama dan menciptakan kebiasaan yang baru. Ini tidak mudah.”

Merubah pola pikir industri kelapa sawit, menurutnya, melibatkan perubahan secara budaya yang besar dan ini memerlukan dorongan serta edukasi yang terus menerus.

Neville berkata bahwa banyak sekali usaha, waktu serta dana yang diperlukan untuk dapat menanamkan pengertian yang akan bermuara kepada perubahan pola pikir,  menjadikan orang yang biasa bercocok tanam dengan membabat hutan menjadi orang yang melindungi dan menjaga hutan. Atau paling tidak, bisa membiarkan hutan seperti adanya.

“Kalau saya tidak mampu meyakinkan anda bahwa hutan itu layak dijaga sebagai hutan, berapa banyak pagarpun saya dirikan mengelilingi hutan tersebut, anda pasti akan mencari dan mendapatkan jalan untuk masuk dan menanam apa saja yang ingin anda tanam disana.”

Dalam hubungannya dengan sawit, tantangan yang juga tak kalah beratnya adalah mencoba membangun kemampuan para petani serta masyarakat, untuk mengerjakan sesuatu dengan cara  yang berbeda.

“Ini merupakan investasi yang besar, benar-benar merupakan transformasi industri,” ujar Neville, dengan menambahkan bahwa proses menanamkan serangkaian kebiasaaan baru tidak saja membutuhkan kemampuan persuasif, pendidikan dan pelatihan tetapi juga perhatian menerus hingga mereka yang  ditangani tidak dengan cepat kembali kepada kebiasaan lama mereka.

“Kita tidak boleh terlena ketika mencoba merubah kebiasaan yang sudah dilakukan seumur hidup, bahkan selama beberapa generasi,” serunya,

Namun, membawa perubahan dalam pola pikir industri kelapa sawit juga tidak hanya terbatas kepada para petani serta masyarakat umum. Perubahan pola pikir ini juga harus berlangsung didalam perusahaan, pada tiap tingkat yang ada.

Dengan lebih dari 170.000 pekerja, di kantor maupun di berbagai daerah di Indonesia, membuat semua pekerja memiliki pemahaman dan komitmen yang sama dalam hal keberlanjutan juga bukan merupakan hal yang mudah.

“Kami masih mengerjakan proses tersebut, mencoba menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baru,” ujar Neville. Seperti juga perusahaan-perusahaan besar lainnya, GAR juga memiliki “pemimpin, serta mereka yang tertinggal dibelakang,”

Golden Agri Resources, yang didirikan di Singapura tahun 1996 dan bermarkas disana, merupakan perusahaan agribisnis dengan layanandari bibit sampai penjualan bagi industri kelapa sawit. Ia mengelola lebih dari 502.200 hektar kebun kelapa sawit, termasuk yang dioperasikan oleh petani kecil. Mata rantai pasokannya meliputi sekitar 14.400 petani kecil swakarsa yang memasok  44 pabrik yang dimiliki perusahaan.

GAR juga memiliki beberapa anak perusahaan, termasuk PT SMART Tbk, Victory Tropical Oil, dan PT Dami Mas Sejahtera,

Kendala lain yang dihadapi juga termasuk kesulitan dalam berkomunikasi dengan pekerja di perkebunan yang seringkali terletak jauh dipedalaman dan di mana mereka harus bekerja dilapangan, dan bukan dikantoran hampir sepanjang hari. Tingkatan pendidikan para pekerja juga merupakan kendala, seperti halnya tingkat pemahaman dan keterlibatan mereka dalam proses perubahan yang terdjadi.

“Ini merupakan tantangan yang luar biasa, bagaimana saya dapat menggapai semua orang orang ini, bagaimana saya dapat menyampaikan informasi kepada mereka,” ujarnya.

Dan bagi Neville, hambatan-hambatan komunikasi ini jelas memiliki skala prioritas tinggi untuk diselesaikan. Ia mengatakan bahwa, kalau saja ada satu keinginannya yang dapat dipenuhi, ia hanya menginginkan bahwa ke lebih dari 17.000 pegawai ini dapat dihubungkan dalam sebuah jaringan komunikasi yang berbasis telpon genggam.

‘Kami hanya akan dapat mencapai sasaran dan tujuan kebijakan perusahaan dalam bidang sosial dan lingkungan (GSEP) dalam lima tahun mendatang ini, bila semua orang ikut serta dengan kami. Dan hal ini menjadi lebih menantang lagi ketika kami menghadapi komunikasi yang terpenggal-penggal dan terpecah-pecah.”
This is all the more challenging when we have fractured, fragmented communications.”

GSEP, menurut perusahaan, merupakan roadmap, atau hala tuju perusahaan yang juga mengikutsertakan para pegawai, petani kecil, pemasok dan pelanggan dalam bekerja sama untuk merealisasikan visi GAR mengenai industri sawit yang berkelanjutan. GSEP ini di buat di tahun 2015 dan merupakan hala tuju bagi perssahaan hingga tahun 2020.

Menurut Neville, GSEP ini didasari atas empat pilar, yaitu pengelolaan lingkungan, keterlibatan sosial masyarakat, hak-hak buruh dan hak-hak ditempat pekerjaan, serta pengelolaan mata rantain pasokan.

Dengan latar belakan pendidikannya di perguruan tinggi dalam bidang jurnalistik, Neville, mendefinisikan komunikasi keberlanjutan yang kini digelutinya, sebagai cara untuk menerjemahkan berbagai hal yang agak terlalu teknis dan rumit yang dilakukan perusahaan untuk membuat usahanya lebih bertanggung jawab dan terkelola dengan lebih berkelanjutan, sehingga dapat dimengerti oleh semua.

“Sebenarnya, ini adalah tentang bagaimana kita menerjemahkan hal ini bagi orang kita sendiri, para pemangku kepentingan diluar perusahaan, sehingga kita dapat menciptakan cerita yang memikat dan juga asli,” terangnya.

Dan baginya, ciri ciri utama dari komunikasi keberlanjutan yang baik adalah keaslian yang jujur, kerendahan hati serta transparansi.

Share This