BOGOR, Indonesia – Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia terus dihadapkan pada serangan dengan dalih penanaman komoditas tersebut merusak lingkungan, melanggar hak asasi dan atau mengancam satwa liar. beasiswa Indonesia, menurut seorang akademisi, seharusnya menjadi alat untuk mendapatkan sekutu, mitra, dan kawan di Eropa dan Amerika Serikat, dua wilayah dari mana kebanyakan serangan terhadap kelapa sawit itu berasal.

“Saya sebenarnya sudah cukup lama mengusulkan, dana sawit kita itu cukup besar, dan untuk dana pendidikannya, mbok ya kasih beasiswa untuk mahasiswa bule, khusus dari Eropa dan Amerika,” ucap Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor Dodik Ridho Nurrochmaf ketika membuka sebuah sarasehan nasional mengenai kelapa sawit disini pada tanggal 14 Maret 2018.
Ia mengatakan bahwa pemberian beasiswa akan memberikan negeri ini teman dan mitra di Eropa dan Amerika Serikat. Kedua wilayah tersebut merupakan pasar penting bagi minyak kelapa sawit Indonesia, namun kini mereka berusaha menghambat import minyak kelapa sawit mereka dari Indonesia dengan memberlakukan persyaratan keberlanjutan yang ketat yang berhubungan dengan lingkungan, pekerja maupun satwa liar, atau menerapkan bea anti-dumping yang tinggi dengan alasan kelapa sawit Indonesia menerima subisidi dari pemerintah
“Coba kalau kita berikan mereka beasiswa, mungkin sepuluh dua puluh tahun lagi mereka akan jadi mitra kita, jadi kawan kita yang akan sama sama berjuang bela kepentingan Indonesia,” ujar Nurrochmat.
Selama ini beasiswa Indonesia yang diberikan kepada orang asing dibawah skema Kemitraan Negara Berkembang tetapi tidak memberikan beasiswa kepada pelajar dari negara negara maju
Ia mengatakan bahwa diperlukan perubahan pola pikir dalam pemberian beasiswa Indonesia dan seharusnya tidak hanya diberikan kepada pelajar dari negara berkembang saja, tetapi juga kepada pelajar pelajar yang berpotensi dari Eropa dan Amerika Serikat.
“Justru investasi kita itu perlu ke orang seperti ini. Investasi yang baik itu yang punya prospek baik,” Nurrochmat mengatakan.
Memang banyak orang asing dari Eropa dan Amerika Serikat yang mengerjakan tesisnya di Indonesia, termasuk di IPB, namun mereka tidak mendapat beasiswa Indonesia, melainkan oleh negera asal mereka. Karenanya, mereka tidak akan memiliki rasa berhutang kepada Indonesia walaupun mereka menerima fasilitas dari negeri ini, ujar Nurrochmat.
“Jangan kita sudah fasilitasi tempat dan sebagainya, tetapi isinya (laporan akhir mereka) malah menyerang kita. Ini kan tidak bagus,” imbuhnya.
Hanya saja, ia menambahkan perlunya besaran beasiswa ini dibuat menarik, dan jangan disamakan dengan besaran beasiswa yang kini diberikan bagi pelajar dari negara berkembang. Tidak ada yang akan tertarik di Eropa atau di Amerika, bila beasiswanya hanya $200 sampai $250, katanya. “Harus paling tidak sama dengan beasiswa bagi yang belajar di luar negeri.”
Nurrochmat mengatakan bahwa melalui pemberian beasiswa, Indonesia dapat mempengaruhi pandangan dan persepsi mahasiswa asing atas Indonesia, seperti halnya negara pemberi beasiswa lainnya dapat mempengaruhi mahasiswa Indonesia yang belajar disana.
“Harus dicuci juga, jangan kita saja yang dicuci disana,” serunya.